Angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi, yaitu 24,4 persen dari jumlah balita di Indonesia. Jika dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 27,7 persen, maka angka stunting itu lebih rendah. Namun masih jauh dari target RPJMN 2020-2024, bahwa angka stunting tahun 2024 sedianya menjadi 14 persen.
Dhian Probhoyekti, Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, mengatakan Hari Gizi Nasional merupakan momentum untuk membangkitkan dan membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya penerapan gizi seimbang. Penurunan angka stunting pada balita sangat penting karena menjadi parameter pembangunan model manusia, yang secara tidak langsung berdampak pada laju obesitas balita dan dewasa.
"Kita berfokus pada remaja dan seribu hari pertama kehidupan, dengan tujuan adalah memperkuat intervensi yang ada, sehingga anak yang dihasilkan atau masalah gizi yang berikutnya muncul dapat ditekan sedemikian rupa sehingga dapat tercapai target yang ditetapkan," katanya.
Plt. Direktur Bina Keluarga, Balita, dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Irma Ardiana, mengatakan perlu usaha bersama untuk menurunkan angka balita stunting di Indonesia. Irma mangatakan, salah satu upaya memutus mata rantai stunting adalah lewat intervensi pemerintah pada pasangan yang akan menikah.
“Kita bisa memutus mata rantai ini sebenarnya sejak pada tahapan pre-konsepsi ini. Oleh karenanya, kita melihat bahwa untuk melakukan percepatan penurunan stunting sangat perlu investasi kita sejak pada pre-konsepsi, sejak pada calon-calon pengantin sebelum menikah," paparnya.
Ketua Umum DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Rudatin, mengaskan pentingnya asupan makanan bergizi pada anak, khususnya pada seribu hari kelahiran pertama. Asupan gizi yang seimbang sangat diperlukan, untuk menghindarkan anak dari risiko penurunan kemampuan berpikir dan belajar.
“Ketika seseorang stunting, maka dapat menurunkan IQ dari orang atau anak tersebut yang stunting, itu 5-11 poin. Nah, ini mengakibatkan nilai-nilai akademis, atau dia sulit untuk mengikuti pendidikan, katakanlah tingkat kepandaiannya itu akan menurun," katanya.
Sampai saat ini ada sekitar 1.700 anak balita di Surabaya yang menderita stunting. Pemerintah Kota Surabaya melakukan upaya penanganan untuk menekan angka stunting dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, mulai kesehatan, BKKBN, pendidikan, serta kader dan relawan.
Selain itu dibagikan paket makanan kepada 1.061 masyarakat berpenghasilan rendah, sebagai dukungan asupan makanan sehat bagi masyarakat. [pr/em]