Tautan-tautan Akses

Myanmar Akan Peringati Satu Tahun Kudeta Berdarah di Bawah Kekuasaan Militer


Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, 27 Maret 2021. (REUTERS/Stringer).
Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, 27 Maret 2021. (REUTERS/Stringer).

Myanmar, Selasa (31/1) akan memperingati satu tahun kudeta militer 1 Februari 2021 di tengah-tengah meningkatnya korban tewas dan pengungsi akibat pertempuran antara pasukan junta dan gerakan perlawanan bersenjata yang menentang kontrol negara sepenuhnya oleh rezim itu.

Para pengamat menyatakan tahun lalu telah membuat Myanmar mundur satu dekade atau lebih dan bahwa mereka tidak melihat negara itu keluar dari krisis dalam waktu dekat sementara kedua pihak bertahan sikap.

“Hanya satu hal yang lebih buruk daripada kediktatoran militer yang brutal, dan itu adalah kediktatoran militer yang brutal yang tidak sepenuhnya berkuasa, dan itulah yang pada dasarnya ada di Myanmar,” kata Hervé Lemahieu, direktur riset dan analis mengenai Myanmar di Lowy Institute, Australia.

Dengan pandemi COVID-19, PBB menyatakan gejolak di negara itu akan mendorong hampir setengah dari 55 juta warga Myanmar ke dalam kemiskinan pada awal tahun ini, keadaan yang tidak pernah terlihat sejak 2005. “Ini adalah pembangunan yang hilang selama sedikitnya satu dekade, mungkin satu generasi yang hilang,” kata Lemahieu.

Setelah puluhan tahun pemerintahan milter, para jenderal Myanmar mulai melakukan serangkaian reformasi demokrasi pada tahun 2011, tetapi kemudian mengambil alih negara sepenuhnya dari pemerintahan sipil yang populer dan terpilih secara demokratis pada tahun lalu. Para jenderal mengklaim, tanpa bukti, bahwa pemilu 2020, di mana partai yang mewakilinya kalah telak dari Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa, penuh dengan kecurangan.

Protes massal menyusul, dengan tentara dan polisi menembak mati ratusan warga sipil serta menangkap ribuan orang. Ini memicu perlawanan bersenjata dari milisi lokal di berbagai penjuru negeri, sebagian kini bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak etnis minoritas yang telah lebih dulu ada dan bersenjata lengkap yang menguasai wilayah di daerah perbatasan.

Selama satu tahun protes dan pertempuran, pasukan junta telah menewaskan sekitar 1.500 warga sipil, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi HAM yang berbasis di negara tetangga, Thailand. Organisasi itu mengatakan junta juga telah menangkap lebih dari 11.800 politisi, tenaga layanan kesehatan, wartawan, aktivis dan lain-lainnya, sebagian dikabarkan dianiaya dan dibunuh dalam tahanan.

Junta mengklaim angka korban yang disebut AAPP itu berlebihan dan bahwa penangkapan dan serangan junta ditujukan terhadap teroris.

PBB dan pihak lain menyatakan militer terus melakukan serangan darat, serangan roket dan serangan udara secara membabi buta terhadap daerah-daerah kekuasaan oposisi. Serangan tersebut telah menyingkirkan lebih dari 400 ribu orang dari kediaman mereka sejak kudeta.

Tom Andrews, pelapor khusus PBB mengenai HAM di Myanmar, mengatakan, junta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ia mengatakan ia baru-baru ini berbicara dengan seorang ayah yang dua anak perempuan remajanya tewas dalam serangan militer sepekan sebelumnya.
“Mereka tewas oleh bom yang dijatuhkan pasukan militer junta; mereka sedang tidur. Ini terjadi di berbagai penjuru negeri. Orang-orang tak berdosa meninggal karena mereka diidentifikasi junta sebagai musuh,” kata Andrews.

Min Zin, direktur eksekutif lembaga kajian Institute for Strategy and Policy Myanmar, mengatakan, militer sebagian besar telah mengonsolidasikan kontrol atas wilayah tengah Myanmar serta banyak kota, tetapi masih berupaya keras untuk menguasai dan mengendalikan sebagian besar wilayah perdesaan di bagian barat laut, di mana milisi-milisi baru melancarkan sejumlah perlawanan paling keras.

Di kota-kota, orang-orang menentang junta dengan meninggalkan pekerjaan mereka di pemerintahan, mengabaikan pajak dan memboikot jaringan bisnis militer yang luas, mulai dari pabrik bir hingga jaringan ponsel, kata Andrews. Dalam beberapa pekan dan bulan setelah kudeta, puluhan ribu dokter, perawat dan guru meninggalkan pekerjaan mereka di berbagai rumah sakit dan sekolah yang dikelola pemerintah untuk bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil yang luas yang dimaksudkan untuk melumpuhkan rezim. [uh/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG