Sejumlah kelompok Katolik, pada Selasa (15/2), menuduh pihak gereja di Italia telah gagal secara “institusional” dalam menangani kasus pelecehan seksual yang melibatkan para pendeta, dan menuntut penyelidikan nasional yang independen, mengikuti langkah yang diambil oleh Prancis dan Jerman.
Gerakan kolektif yang digagas sembilan kelompok itu – di mana tujuh di antaranya dipimpin perempuan – menyampaikan tuntutan tersebut dalam acara peluncuran kampanye “Beyond the Great Silence”, yang apabila diterjemahkan menjadi “Melampaui Keheningan Agung”, dengan tagar #ItalyChurchToo – terinspirasi gerakan global #MeToo untuk memerangi pelecehan seksual.
Dalam konferensi pers daring, Paola Lazzarini, ketua kelompok Women for the Church, menyerukan dibukanya arsip-asip seluruh keuskupan dan biara, ganti rugi bagi para korban, juga pengungkapan kebenaran “betapapun menyakitkan.”
Secara global, pengungkapan kasus pelecehan seksual oleh pendeta sejauh ini telah membuat gereja membayar ganti rugi hingga ratusan juta dolar.
Kampanye di Italia itu bertujuan untuk meningkatkan tekanan masyarakat terhadap gereja dan pemerintah agar melangsungkan penyelidikan nasional untuk menelisik kasus hingga puluhan tahun yang lalu, serta untuk menolak pernyataan dari beberapa pemimpin Katolik bahwa gereja punya sumber daya sendiri untuk melakukan semua upaya tersebut.
“Hanya penyelidikan independen (di tempat lain) yang telah mengatasi keengganan gereja untuk mengakui kegagalan institusionalnya sendiri,” kata advokat anti-pelecehan, Ludovica Eugenio.
Semua investigasi yang dilakukan di Italia "tidak boleh memihak salah satu kubu," tambah Francesco Zanardi, kepala organisasi The Abuse Network.
Paus Fransiskus telah menyatakan rasa malu atas ketidakmampuan gereja untuk menangani kasus-kasus pelecehan seksual dan mengatakan bahwa gereja harus menjadikan dirinya “rumah yang aman bagi semua orang.”
Vatikan tidak memberi tanggapan apapun pada Selasa (15/2).
Para uskup Italia akan menentukan pada bulan Mei penyelidikan terhadap kasus pelecehan seperti apa yang dilakukan negara itu – jika memang jadi dilakukan.
Antonio Messina, 28 tahun, salah satu korban yang turut hadir dalam konferensi pers mengatakan, ia berulang kali dilecehkan saat masih di berusia bawah umur oleh seorang seminaris dewasa yang pada akhirnya menjadi seorang pendeta.
Tanpa memberikan rincian, ia mengatakan bahwa otoritas gereja setempat di kota asalnya mencoba memberinya uang tutup mulut. “Gereja tidak mampu menangani penyelidikan ini,” ujarnya.
Sebuah penelitian di Jerman, yang dirilis tahun 2018, menunjukkan bahwa 1.670 pendeta telah melecehkan 3.677 anak di bawah umur selama periode tahun 1946 hingga 2014. Penyelidikan Prancis, yang dirilis tahun lalu dan mencakup data selama tujuh dasawarsa, menyatakan bahwa lebih dari 200.000 anak dilecehkan di institusi-institusi Katolik.
Zanardi mengatakan bahwa angka akan lebih tinggi di Italia yang mayoritas beragama Katolik, karena secara tradisional negara itu memiliki jauh lebih banyak pendeta. [rd/em]