Sejak kehadirannya diumumkan oleh WHO pada November 2021, varian omicron COVID-19 menyebar secara cepat. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Omicron sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menyebabkan jumlah kasus sangat besar di banyak tempat di dunia, tetapi kemudian menurun drastis.
Saat ini, beberapa tempat sudah mulai melonggarkan pembatasan ke tingkat yang belum pernah kita saksikan sejak perebakan pandemi. Namun, lockdown terkait COVID-19 masih diberlakukan di beberapa tempat termasuk Shanghai, China, dan juga Hong Kong. Sementara, varian COVID-19 yang terakhir adalah omicron BA.2.
Di tempat lain pada umumnya, meskipun kasus COVID 19 masih ada, grafiknya melandai atau kasusnya tidak bergejolak.
VOA menghubungi Dr. LJ Tan, kepala eksekutif strategi di immunize.org, sebuah badan advokasi imunisasi. Dia mengungkapkan harapan dan optimismenya bahwa pandemi ini akan mereda.
"Saya kira kita semua tahu bahwa kita masih rentan terhadap gejolak kedua yang berpotensi dari jenis omicron BA.2, kita akan menyaksikan kenaikan kasus tetapi peningkatannya tidak besar. Yang kita saksikan adalah kurva yang mendatar, menandakan bahwa kasusnya naik secara lambat. Menurut saya sebagian alasan kita menyaksikan hal itu adalah karena ada kekebalan kelompok di dalam banyak bagian populasi kita," jelasnya.
Menanggapi prospek virus COVID-19, Dr. LJ Tan menekankan bahwa masa depan itu tidak menentu dan tidak bisa diramalkan. Tetapi dia memberi penilaian berikut.
"Antisipasi saya, kita akan terus melihat evolusi berkelanjutan dari virus SARS COVID-2 ini, dia tidak akan hilang tetapi berevolusi. Caranya adalah dia ingin bertahan dan pada dasarnya yang terjadi dia akan lebih menular tetapi penyakitnya tidak parah. Jadi seperti flu, dia akan tetap hadir dan menjadi endemi, serta orang akan diberi vaksin sebagai perlindungan. Dan apakah vaksin itu dibutuhkan setiap tahun atau dua tahun sekali, saat ini kita tidak tahu," tambahnya.
Untuk memahami situasi pandemi COVID-19 di Indonesia, VOA menghubungi Dr. Budiono Santoso mantan pemimpin unit Essential Medicines and Health Technologies (Obat-Obatan dan Kesehatan Esensial) di WHO untuk kawasan Pasifik. Dia juga mengungkapkan nada positif.
"Kasus harian terus menurun, Indonesia pada waktu vaksinasi primer, seri yang dua suntikan itu, kira-kira mencapai 60% jadi sudah hampir mencapai batas minimal imunitas kelompok."
Mirip dengan pendapat Dr. LJ Tan, Dr. Santoso juga mengantisipasi bahwa pandemi ini akan menjadi endemi, dan kesehatan publik akan memberlakukan kebijakan yang mirip dengan influenza.
"Saya kira ke depan virus ini tidak akan musnah 100%, akan menjadi seperti flu musiman di mana tiap tahun akan kembali lagi terjadi outbreak di beberapa lokalitas yang menjadi endemis. Namun saya kira kita sudah punya amunisinya, vaksin sudah ada, dan protokol kesehatan ada. Kesiapan sistem layanan kesehatan akan lebih baik," tukasnya.
Namun, DR. Santoso mengingatkan bahwa pascapandemi ini layanan kesehatan publik Indonesia harus melakukan penilaian kembali.
"Program-program kesehatan prioritas yang terganggu atau terdampak oleh COVID-19 harus dilakukan penilaian sampai seberapa jauh dampak terhadap program-program ini dan menutup gap, gap tersebut harus ditutup selekas mungkin," imbuhnya.
DR. Santoso secara spesifik mencontohkan programnya, tuberkulosis, HIV-AIDS, malaria, stunting, angka kematian ibu dan anak, serta berbagai penyakit tidak menular. Dia menyebutnya sebagai “Reformasi Pelayanan Kesehatan Dasar.” [jm/uh]