Sebagai petani sawit di Sekadau, Kalimantan Barat, Albertus Wawan turut merasakan betapa berat kondisi selama beberapa pekan terakhir. Harga beli Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari petani turun drastis. Pabrik tidak mau membeli, karena produk CPO yang tertahan akibat larangan ekspor. Karena itulah, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Sekadau ini begitu bersyukur ketika Jokowi berubah sikap.
“Terima kasih kepada Bapak Presiden atas dibukanya ekspor minyak sawit sehingga roda perekonomian petani sawit kembali normal,” ujarnya.
Apa yang disebut normal oleh Wawan memang belum sepenuhnya kembali seperti situasi sebelum larangan ekspor diberlakukan. Harga TBS belum juga beranjak dari angka yang begitu rendah.
“Pabrik terima TBS, cuma harganya belum stabil,” tambahnya kepada VOA, Sabtu (21/5).
Ucapan terima kasih juga meluncur dari Vincentius Haryono, fasilitator SPKS di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Ucapan syukur dia berikan meski mengaku keputusan Presiden sebelumnya berdampak sangat besar bagi petani kelapa sawit di sana. Harapannya kini harga TBS sawit kembali seperti semula.
“Memang kalau boleh menilai, kebijakan penutupan ekspor ini dilakukan karena sama-sama mengedepankan ego. Perusahaan mengedepankan egonya, pemerintah juga mengedepankan egonya. Jadi malah seolah-olah saling menyandera,” kata Haryono.
Haryono berharap semua pihak terkait dapat berkomunikasi dengan baik jika terdapat persoalan dalam industri kelapa sawit.
“Saya rasa ada titik temunya. Perusahaan dipanggil, diajak bicara untuk carikan solusi. Demikian juga pemerintah ini, melihat betapa penting dan strategisnya peran perusahaan,” tambah Haryono kepada VOA.
Perbaiki Tata Kelola
SPKS bersama sejumlah organisasi petani sawit mengeluarkan pernyataan bersama terkait pembukaan keran ekspor CPO dan produk turunannya ini. Mereka adalah Apkasindo Perjuangan, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Japsbi).
Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, juga menyatakan organisasi petani sawit berharap ada perubahan tata kelola industri kepala sawit.
“Kami berharap ada konsistensi dari kementerian terkait, seperti Kemenko Perekonomian, Kemenkeu serta Kementan untuk mengubah tata kelola sawit Indonesia. Penting juga untuk memperbaiki tata kelola BPDPKS yang selama ini hanya berpihak kepada segolongan orang tertentu,” kata Darto.
Tata kelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS) ini, kata Darto, juga menjadi bahan diskusi ketika mereka bertemu presiden di Istana Negara, pada 23 Maret 2022.
Ketua Umum POPSI, Pahala Sibuea, juga meminta presiden melakukan pembenahan regulasi di lembaga BPDPKS.
“Karena kami melihat, BPDPKS menjadi salah satu kunci untuk perbaikan pada tata kelola sawit. Misalnya ke depan BPDPKS itu harus fokus mendukung kelembagaan petani sawit di seluruh Indonesia,” kata dia.
Pahala Sibuea mengkritisi selama ini dana BPDPKS lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konglomerat biodiesel. Kondisi ini bisa dilihat dari alokasi dana BPDPKS sebesar Rp137 triliun lebih, yang dipungut sejak tahun 2015 – 2021. Mayoritas dari dana itu, yaitu lebih dari 80 persen, digunakan hanya untuk subsidi biodiesel, padahal perusahaan biodisel itu dimiliki oleh konglomerat sawit.
“Sementara petani sawit hanya menerima sebesar 4,8 persen melalui program Peremajaan Sawit Rakyat,” tambah Pahala.
Ketua Umum APKASINDO Perjuangan, Alpian Arahman, berharap dibukanya kembali ekspor CPO akan menormalkan tata niaga TBS sawit di tingkat petani di Tanah Air.
“Petani sempat mengalami masalah, baik dari sisi harga yang turun drastis di bawah rata-rata Rp2 ribu per kilogram dan juga pembatasan pembelian TBS yang di lakukan oleh beberapa perusahaan di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi,” kata Alpian.
Di sisi lain, Ketua Umum FORTASBI H. Narno, berharap pencabutan ekspor CPO diikuti dengan perbaikan tata kelola sawit. Salah satu yang penting dan strategis adalah dukungan agar petani memiliki pabrik sendiri.
“Yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah adanya dukungan kepada kelembagaan petani sawit untuk memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit sampai minyak goreng dengan memanfaatkan dana sawit yang dikelola BPDPKS,” tegas Narno. [ns/ah]