Di Asahan, Sumatera Utara, pada pertengahan April lalu, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani bisa mencapai Rp3.650 perkilo. Empat hari berselang setelah presiden menetapkan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, harga turun menjadi Rp2.600 per kilonya. Kini, kondisi terus memburuk dengan harga yang jatuh pada kisaran Rp1.500 per kilo.
Wagimin, petani sawit di Asahan kepada VOA mengaku tak bisa berbuah banyak menghadapi kondisi yang saat ini terjadi.
“Kalau petani di daerah, kita dari kondisi yang ada, ya bisanya pasrah. Karena semua dikendalikan pengusaha, kita tidak punya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sendiri. Kita hanya bisa mengikuti keadaan yang ada, berjalan begitu saja. Ya, mengeluh saja,” kata Wagimin dalam wawancara pada Rabu (18/5).
Di wilayah sekitar kebun sawitnya, pabrik telah menutup pintu operasi. Wagimin menggambarkan banyak truk-truk dan kendaraan pengangkut sawit yang harus mengantre panjang akibat penghentian operasi. Pabrik beralasan, karena larangan ekspor, stok CPO mereka telah memenuhi tempat penyimpanan yang ada.
“Padahal selama Lebaran panen kan tertunda. Buah banyak di kebun. Sekarang PKS tidak menerima buah,” tambah Wagimin yang juga Ketua Majelis Wilayah, Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara ini.
Dia menyebut, harga ideal untuk petani harus berada di kisaran Rp3.000 per kilo. Harga itu sempat dinikmati hingga satu bulan yang lalu. Parahnya, sewaktu harga sawit bagus, barang-barang kebutuhan petani ikut melonjak.
“Ketika harga sawit naik, semua barang naik, bahan sembako, pupuk, racun, spare part alat, angkutan truk, macam-macam semuanya. Dengan harga sawit seperti sekarang, tidak tertutupi kebutuhan. Harga barang lain tidak ikut turun,” tambah Wagimin.
Pabrik Menetapkan Grade Sawit
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Riau. Harga pembelian sawit yang ditetapkan pemerintah daerah tidak dipatuhi oleh pihak industri. Pabrik juga menerapkan model pembelian berbeda untuk mengakali harga yang ditetapkan pemerintah.
Ketua SPI Riau, Misngadi kepada VOA bercerita bahwa harga pembelian ditetapkan pemerintah berdasarkan usia pohon sawit. Namun pabrik membeli sawit dengan membuat kategori sendiri di mana hanya sawit yang masuk kelompok tertentu yang harganya sesuai dengan ketetapan pemerintah. Sisanya, pabrik dapat menentukan sendiri harganya semau mereka.
“Pabrik Kelapa Sawit biasanya akan mematok harga di grade A bisa jadi sama dengan yang ditetapkan pemerintah. Pada dasarnya, harga yang ditetapkan pemerintah lebih sering tidak dipatuhi daripada dipatuhi, saya melihat begitu,” kata Misngadi.
Menurut Misngadi, terdapat tiga jenis petani sawit yang nasibnya berbeda-beda. Ketiga jenis tersebut adalah petani plasma, yang dianggap paling nyaman karena bermitra langsung dengan pabrik. Kelompok kedua adalah petani mitra yang sebagian besar sudah memiliki kerja sama dengan pabrik. Dan yang terakhir adalah petani sawit mandiri yang harus berjuang sendiri memasarkan produknya.
Benahi Iklim Bisnis Sawit
Misngadi mengusulkan dua langkah untuk mengatasi persoalan yang saat ini membelit, yang mencakup pembukaan keran ekspor dan perlunya inisiatif pemerintah untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri.
Desakan agar pemerintah memanfaatkan kekisruhan sektor sawit untuk membenahi iklim bisnisnya, juga disuarakan sejumlah organisasi petani. Mereka di antaranya adalah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Apkasindo Perjuangan, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Japsbi).
“Kami mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo melarang sementara ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng, sebagai momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sektor hulu dan hilir industri sawit nasional, serta memastikan ketersedian minyak goreng murah dan terjangkau bagi rakyat di seluruh tanah air,” kata Sekjen SPKS, Mansuetus Darto.
Organisasi dan asosiasi petani sawit di Indonesia ini telah melakukan rembug bersama dan mengevaluasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022. Seperti diketahui, Menteri Perdagangan melalui peraturan tersebut telah melarang sementara ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Acara rembuk bersama itu diselenggarakan pada Senin (16/5).
Darto juga mengatakan, pihaknya sudah mendengar informasi bahwa saat ini pemerintah tengah mengevaluasi dan menentukan berlanjut atau tidaknya kebijakan larangan sementara ekspor CPO tersebut.
“Kami, asosiasi petani kelapa sawit dan serikat petani, telah bekerjasama dengan dinas-dinas kabupaten/kota untuk melindungi petani sawit di daerah akibat gejolak harga yang permainkan oleh pelaku usaha besar,” tambah Darto. [ns/rs]