Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers pada Minggu (22/5) menjelaskan jika semua pihak menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa maka cara penanganannya pun harus luar biasa, termasuk tuntutan dari penegak hukum dan vonis dari majelis hakim.
ICW mengatakan majelis hakim kerap memilih Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menguntungkan terdakwa. Padahal penuntut umum lebih banyak menggunakan Pasal 2.
"Ini membuktikan tujuan majelis hakim mengubah vonis tersebut untuk menghukum ringan pelaku korupsi. Karena kalau dia (terdakwa kasus korupsi) divonis dengan pasal 2 minimal hukumannya empat tahun (penjara). Kalau diubah menjadi pasal 3, minimal hukumannya bisa satu tahun (penjara)," kata Kurnia.
Jika menggunakan Pasal 2, denda minimalnya adalah Rp200 juta, tetapi bila menggunakan Pasal 3 maka denda minimalnya Rp50 juta.
Sementara itu dari segi tuntutan, rata-rata tuntutan yang diajukan oleh KPK dan Kejaksaan Agung terhadap para terdakwa kasus korupsi adalah 4,5 tahun penjara. Dia mengaku memang terjadi kenaikan masa hukuman, tetapi tidak menimbulkan efek jera. Mestinya kalau pembuktian telah mengakomodir surat dakwaan, dampak kejahatannya luar biasa besar dan latar belakang pekerjaan terdakwa adalah pejabat publik, maka tuntutannya harus maksimal di atas sepuluh tahun penjara.
Kurnia mengatakan lembaganya juga mencatat kerugian negara akibat kasus korupsi sepanjang 2021 mencapai Rp62,9 trilliun. Jumlah tersebut melampaui tahun sebelumnya yang mencapai Rp56,7 trilliun. Dari jumlah tersebut KPK hanya menangani perkara yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp802 milliar atau satu persen dari total kerugian negara yang timbul sepanjang tahun 2021.
Dia merasa miris karena uang pengganti kerugian negara dari kasus korupsi sangat tidak sebanding dengan jumlah kerugian dihasilkan tahun lalu.
"Salah satu penyebabnya yang bisa diindentifikasi contoh kasus Nurhadi, hakim kala itu tidak mengenakan kewajiban pembayaran uang pengganti , alasannya uang diperoleh Nurhadi bukan uang negara tapi gratifikasi dan juga suap padahal ada UU Tipikor yang mengaskan uang pengganti tidah hanya berkaitan dengan pasal 2 dan 3 melainkan seluruh pasal di UU Tipikor karena itu pertimbangan itu bermasalah,” ungkap Kurnia.
Dari latar belakang pekerjaan terdakwa, ICW menemukan sepanjang 2021 perangkat desa adalah terdakwa korupsi yang paling banyak diadili, yakni 363 orang. Disusul oleh aparatur sipil negara (346 orang), swasta (275 orang), anggota legislatif (35 orang), dan kepala daerah (17 orang).
Banding, Kasasi & PK Dapat Ubah Hukuman
Juru bicara Mahkah Agung Andi Samsan Nganro mengakui memang ada perkara korupsi yang ditingkat banding, kasasi atau peninjau kembali, hukuman bagi terdakwanya menjadi berkurang.
"Tapi tidak sedikit juga perkara dimana penuntut umum mengajukan kasasi, malah ditambah hukumannya (bagi terdakwa). Karena suatu perara mempunyai karakteristik masing-masing, dengan melihat bagaimana tindak pidana itu dilakukan," tutur Andi.
Andi menegaskan ada hak asasi terdakwa yang juga perlu dipertimbangkan. Dia menambahkan semua hal harus dipertimbangkan sebelum menjatuhkan vnis, termasuk kepentingan negara, kepentingan terdakwa. Dia membantah penilaian soal Mahkamah Agung kerap meringankan hukuman bagi terdakwa kasus korupsi dalam putusan kasasinya. [fw/em]