Pada satu dekade pertama kasus HIV/AIDS di Indonesia, periode 1987-1999, kasus memang mayoritas terjadi pada komunitas homoseksual yang kini lebih dikenal dengan istilah LSL (Lelaki Seks Lelaki). Satu dekade setelah itu, hingga 2007, mayoritas kasus ditemukan pada pengguna narkotika suntik. Namun, sejak 2007 hingga saat ini, komunitas heteroseksual menjadi mayoritas.
Sayangnya, seperti disampaikan Laurensia Ana Yuliastanti, pengelola program HIV, di Komisi Penanggulangan AIDS DIY, justru kelompok ini tidak menerima intervensi.
“Kita lupa dengan komunitas lain, adalah heteroseksual. Laki-laki yang membeli seks dan menularkan ke pasangannya, kemudian ibu yang menularkan ke bayinya. Gelombang ini, yang sampai hari ini masih menjadi persoalan utama, tidak hanya di Yogya, tetapi secara nasional, ada lebih banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV, daripada pekerja seks,” kata Ana.
Jaringan Advokasi HIV & AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta (JAVA) menggelar pertemuan peningkatan kapasitas jurnalis terkait HIV/AIDS, Kamis (1/9). Selain pemaparan data-data terakhir terkait HIV/AIDS di provinsi tersebut, pertemuan juga membahas isu penanggulangan, yang dalam sejumlah sisi masih menemui hambatan. Salah satunya, seperti disampaikan Ana tadi, adalah belum adanya intervensi bagi laki-laki pembeli seks.
“Belajar dari Vietnam, sekarang sudah menahan angka prevalensi HIV sampai 0,1 persen. Sangat-sangat luar biasa, karena di setiap prostitusi ada klinik. Kalau orang masuk prostitusi, mereka harus tes, kalau ketahuan kena sifilis atau penyakit kelamin, mereka tidak boleh beli seks disitu,” papar Ana lagi.
Intervensi terhadap kelompok heteroseksual penting, karena justru kesadaran di kelompok LSL atau waria kini sudah lebih baik. Fakta bahwa 54 persen penderita HIV/AIDS di Yogyakarta adalah heteroseksual, dan hanya 19 persen homoseksual, bisa menjadi bukti.
Sejumlah kondisi berdampak terhadap penularan AIDS saat ini, Di Indonesia, papar Ana, ada 6,7 laki-laki membeli seks, 1,13 juta LSL dan waria, dan 75 ribu pengguna narkoba suntik. Sedang di kelompok perempuan, ada 4,9 istri yang menikah dengan laki-laki berisiko tinggi dan 230 ribu wanita pekerja seks.
Karena tidak ada intervensi, laki-laki yang membeli seks memiliki kemungkinan besar menularkan HIV/AIDS pada istrinya. Di Yogyakarta, ada 655 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS karena tertular dari suaminya.
“Kalau itu notabene ibu rumah tangga yang baik-baik di rumah, yang seks dengan satu pasangan suami, berarti yang menjadi persoalan suaminya. Berarti harus ada intervensi juga ke laki-laki, ke pasangan seksnya, yang dia punya istri di rumah,” tambah Ana.
Namun, tidak ada dinas apapun di daerah yang melakukan intervensi ini, sesuai catatan KPA Yogyakarta.
“Siapa yang intervensi disini? Tidak ada. Ini yang menjadi persoalan, mereka menularkan ke istrinya. Istrinya ke anaknya. Sebagian besar laki-laki ini tidak pernah ngomong ke istrinya kalau dia HIV, tahu-tahu dia sakit, kemudian meninggal, dites positif. Istrinya akhirnya dites juga, dan positif,”lanjutnya.
Intervensi Diakui Sulit
Lusiani, dari Dinas Kesehatan DI Yogyakarta kepada VOA mengakui intervensi terhadap laki-laki pembeli seks memang belum dilakukan.
“Kalau pembelinya kan kita tidak tahu siapa saja. Nah, jadi kita fokusnya ke tempat pembeliannya, di situ nanti disediakan kondom. Kita ada penjangkau. Jadi misalnya di komunitas wanita pekerja seks di Bong Suwung, di Pasar Kembang, di Parangkusumo, itu ada. Ada semacam paguyubannya, kita masuknya lewat situ,” kata Lusi.
Di Yogyakarta sendiri tidak terdapat lokalisasi resmi. Bong Suwung, Pasar Kembang, dan Parangkusumo, yang disebut Lusi, adalah sejumlah tempat yang secara umum diketahui menjadi lokasi berkumpulnya WPS. Untuk memantau kondisi kesehatan, WPS didorong membentuk paguyuban. Melalui paguyuban inilah, kampanye aman berhubungan seks dilakukan. Lusi menyebut, berdasar pertemuan terakhir dengan pengurus paguyuban, Dinas Kesehatan Yogyakarta meyakini upaya itu tetap dijalankan.
“Di sana ada paguyuban, kita sediakan stok kondom. Sehingga laki-laki pembeli seks yang di situ, wajib pakai, kalau enggak mau enggak dilayani. Kemarin, sewaktu kita wawancara dengan ketua paguyuban, mereka tetap mewajibkan hal itu,” kata Lusi meyakinkan.
Selain itu, paguyuban juga memudahkan pelaksanaan tes VCT bagi WPS, sehingga diharapkan status mereka terkait HIV lebih terkontrol.
Justru yang sulit untuk dipantau, adalah WPS mandiri yang menjual seks melalui pola daring, terutama aplikasi kencan. Siapa pelaku dan lokasi jual belinya juga tidak dapat dipantau dengan baik. Untuk itulah, dinas hanya bisa menyarankan agar mereka yang membeli seks dalam pola semacam ini, melakukan pencegahan secara mandiri.
“Karena kita belum bisa menjangkau yang seperti itu,” kata Lusi beralasan.
Apakah membeli seks kepada WPS secara daring lebih berisiko? Ditanya demikian, Lusi mengatakan bahwa penentunya ada di pembeli.
“Kalau yang melakukan eksekusi tidak memahami informasi pencegahan dan penanggulangan HIV, bisa dikatakan lebih berisiko. Informasi itu penting. Kalau di situ, dia harus yakin bahwa itu aman,” tambahnya.
Dinas Kesehatan Yogyakarta memperkirakan ada 9.255 kasus HIV/AIDS hingga Juni 2022. Dari jumlah estimasi itu, telah ditemukan kasus HIV sebanyak 6.214 dan AIDS 1.966 kasus. Dari dua kategori itu mayoritas adalah laki-laki, yaitu 5.560 kasus. Sedangkan menurut pekerjaan yang diketahui, tertinggi adalah wiraswasta, diikuti ibu rumah tangga, profesional non-medis, dan mahasiswa atau siswa.
Selain upaya standar, seperti penghapusan stigma, peningkatan kapasitas pekerja medis, dan membangun kesadaran, Pemda Yogyakarta juga membuka layanan tambahan jam kerja di Puskesmas. Layanan ini dikhususnya untuk mereka yang ingin memeriksakan diri dalam kaitan HIV/AIDS, dan membutuhkan kenyamanan agar tidak bertemu pasien lain. [ns/ab]
Forum