Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada mencatat jumlah kekerasan meningkat pada 2016-2022 terus meningkat. Pada 2016 terjadi 11 aksi kekerasan, kemudian menjadi 29 pada tahun berikutnya, lalu bertambah lagi berturut-turut menjadi 23 kasus, 40 kasus, 65 kasus, 83 kasus dan 64 kasus tercatat pada 2022 ini. Jumlah korbannya juga relatif meningkat, dimulai dengan 11 orang pada 2016, menjadi 24, 49, 200, 28, 54, dan 89 pada 2022.
Peneliti Gugus Tugas Papua UGM, Dr Arie Ruhyanto juga mencatat, ada 261 aksi kekerasan atau 66 persen dilakukan oleh kelompok separatis, 75 kasus dilakukan warga sipil, dan 29 kasus kekerasan dengan pelaku dari TNI
“Peningkatan jumlah kasus kekerasan maupun korban jiwa ini, secara bersamaan atau ternyata juga bersamaan dengan intensitas pembangunan yang dilakukan di Papua,” kata Arie dalam Papua Strategic Policy Forum yang diselenggerakan Gugus Tugas Papua UGM, Kamis (22/12).
Arie mengingatkan, sejak tahun 2014 hingga sekarang, ada begitu banyak Inpres percepatan pembangunan, program-program pembangunan infrastruktur, terutama jalur Trans Papua, pembangunan jembatan, bandara, hingga pasar yang dilakukan.
“Dan kita tahu, bagaimana seringnya presiden mengunjungi Papua. Mungkin sudah 13 atau 14 kali sejak 2014. Tapi, pada saat yang sama, juga kita lihat kasus-kasus kekerasan justru cenderung meningkat,” tambah Arie.
Resistensi Pembangunan
Gugus Tugas Papua juga mencatat, konsentrasi kasus kekerasan umumnya terjadi di wilayah Pegunungan Tengah. Namun, secara umum kasus kekerasan terjadi hampir di seluruh wilayah Papua. Sedangkan dari sisi tingkat intensitas, konsentrasinya ada di wilayah Kabupaten Pegunungan Tengah, Mimika, Nduga, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, Yakuhimo, dan Pegunungan Bintang.
Data Gugus Tugas Papua juga menunjukkan, kasus-kasus kekerasan lebih banyak terjadi di lingkungan dimana tingkat konsentrasi aparat keamanan tinggi. Sekurangnya ada 93 kasus kekerasan antara kelompok bersenjata dengan aparat keamanan. Selain itu, lokasi kekerasan yang menonjol adalah bandara, pasar, ibukota distrik, perkampungan, ibukota kabupaten, dan jalan-jalan terbuka.
“Bagi kami, ini menunjukkan bahwa geliat pembangunan ini ternyata memperoleh resistensi,” tambahnya.
Salah satu penyebab kekerasan, adalah pemekaran. Data mencatat, pemekaran distrik dan kabupaten berlangsung sejak tahun 2000-an yang memunculkan sekitar 30 kabupaten baru. Pada saat sama, kehadiran kabupaten baru diikuti kehadiran instalasi keamanan, seperti Kodim dan Polres.
Resistensi terhadap pembangunan juga tergambar, dari seringnya perusakan fasilitas publik, seperti pembakaran sekolah, pasar atau gedung-gedung perkantoran.
“Ini menunjukkan upaya pembangunan fisik yang direncanakan pemerintah, memperoleh sejumlah resistensi. Resistensinya bukan pada simbol-simbol keamanan saja, tetapi juga pada kehadiran negara lebih dalam ke Papua,” tambah Arie.
Ini adalah salah satu paradoks. Ketika masyarakat Papua menuntut pemerintah memperbaiki layanan melalui fasilitas yang disediakan, disaat berbeda fasilitas tersebut dihancurkan sendiri oleh kelompok masyarakat lain.
Korupsi Menjadi Faktor
Diplomat senior, Prof Imron Cotan juga menguraikan berbagai persoalan yang dihadapi Papua yang menyulitkan daerah itu berkembang. Salah satunya adalah korupsi, yang dinilai Imron menyebabkan tujuan pembangunan di Papua terhambat.
“Sekarang KPK sudah menetapkan seseorang tokoh di sana sebagai tersangka, tapi sampai sekarang, kita masih melihat tidak ada kemajuan,” ujarnya.
Korupsi juga menggerogoti skema dana otonomi khusus (Otsus). Konsentrasi penggunaan dana ini tidak mencapai sasaran, yaitu kesejahteraan orang asli Papua. “Tapi dialirkan untuk, pertama, menjaga keamanan dia, agar tidak menjadi target dari kelompok separatis teroris Papua. Atau membeli suara,” ujar Imron terkait pemakaian dan Otsus oleh pejabat di Papua.
“Apalagi kemudian, dokter, suster, guru, diteror. Sehingga mereka tidak berani datang mengajar atau memberikan jasa kesehatan kepada penduduk Papua yang membutuhkannya,” tambah Imron lagi.
Alternatif Tawaran Solusi
Sejumlah pihak menawarkan berbagai jalan keluar yang bisa dilakukan untuk menghentikan rantai kekerasan di Papua. Kooordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti misalnya, meminta peta jalan yang sudah dibuat LIPI atau BRIN, harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
“Lalu, tarik pasukan militer dari Papua, untuk menguji, sebetulnya apakah memang kelompok separatis itu menjadi akar persoalan dari Papua. Karena tidak pernah juga ada peradilan bagi kelompok separatis tersebut, yang dianggap sebagai separatis,” tegasnya.
Selain itu, untuk menguji akuntabilitas negara terkait Daerah Operasi Militer, Kontras juga mendesak pembukaan akses bagi jurnalis asing, sebagai pemenuhan janji dari Presiden Jokowi yang diucapkan pada 2015.
“Dan juga jalankan rekomendasi pada sidang universal periodic review, yang terjadi pada 9 November kemarin, dimana banyak sekali negara-negara yang meng-highlight situasi di Papua. Dan juga akses bagi Palang Merah Internasional, tentunya untuk menguji akuntabilitas atas Daerah Operasi Militer yang terjadi di Papua,” tambahnya.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Prof Melkias Hetharia mengingatkan, bahwa UU Otsus yang baru juga telah memuat strategi penyelesaian persoalan papua. Di dalam pasal 45 UU tersebut, disebutkan tiga langkah yang harus dilakukan.
“Untuk penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, maka perlu dibentuk Komnas HAM perwakilan Papua, dan itu sudah terbentuk. Lalu pengadilan HAM Papua yang sampai saat ini belum terbentuk, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),” ujar Hetharia.
Aturan hukum itu, membuktikan bahwa negara memandang penyelesaian pelanggaran HAM di Papua dapat dilakukan melalui dua jalur. Keduanya adalah jalur pro yustisia lewat pengadilan HAM, dan lewat proses non yustisia, melalui KKR.
Sayangnya, pengadilan HAM yang berjalan, misalnya dalam kasus Abepura berdarah dan kasus Pania, terdakwa dalam dua kasus itu divonis bebas.
“Dengan adanya putusan pengadilan HAM seperti itu, justru membuat kekecewaan bagi masyarakat Papua. Bagaimana keadilan ditegakkan dalam rangka penyelesaian masalah-masalah HAM itu,” tambah Hetharia.
Hetharia sendiri saat ini sedang mendorong pembentukan KKR, agar ada jalan keluar terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Sementara Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Amiruddin Al Rahab meminta, persoalan Papua diselesaikan sejak akarnya. “Kekerasan yang terjadi di Papua ini ada inang dan hulunya. Kita sibuk menjernihkan di muara. Enggak akan selesai. Jadi hulunya harus kita jernihkan, agar muaranya juga jernih,” kata Amiruddin.
Dia juga percaya, bahwa langkah penyelesaian di luar pengadilan perlu dirancang secara dialogis.
“Ya, kita perlu di luar pengadilan. Itu bukan hanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi hal-hal lain, yang dibicarakan secara dialogis dengan semua aktor, bukan hanya di Papua tapi juga di Jakarta. Karena sebagian besar problem di Papua itu kan juga ada di Jakarta,” tegasnya. [ns/em]
Forum