Presiden Joko Widodo bertemu sejumlah menteri untuk membahas hasil dan rekomendasi Tim PPHAM di Istana Merdeka, Jakarta pada Senin (16/1). Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan, presiden nantinya akan mengeluarkan inpres terkait rekomendasi Tim PPM. Inpres tersebut akan memberikan tugas kepada 17 kementerian dan lembaga negara, serta lembaga independen untuk menyelesaikan rekomendasi Tim PPHAM.
"Mungkin dalam waktu dekat Presiden akan berkunjung ke beberapa daerah. Misalnya Aceh dan Talangsari, dan di luar negeri, kami akan kumpulkan korban-korban pelanggaran HAM berat di masa lalu," kata Mahfud di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Mahfud menambahkan dirinya bersama Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri telah mendapat tugas dari presiden untuk mengurusi korban pelanggaran HAM yang tinggal di luar negeri. Menurut Mahfud, para korban sebagian besar tinggal di Eropa Timur. Karena itu, pemerintah nantinya akan bertemu dengan mereka di Eropa seperti Belanda atau Jenewa.
"Untuk memberi jaminan kepada mereka (baca: korban pelanggaran HAM yang tinggal di luar negeri) bahwa mereka adalah WNI dan punya hak-hak yang sama," tambah Mahfud.
Mahfud menuturkan pemerintah juga akan membentuk Satuan Tugas untuk mengevaluasi pelaksanaan dari masig-masing rekomendasi Tim PPHAM. Adapun untuk proses hukum atau yudisial, kata dia, presiden meminta Kejaksaan dan Komnas HAM untuk bekerja sama menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Amnesty: Pengakuan Pelanggaran HAM Tidak Tuntas dan Menyeluruh
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usmad Hamid menghargai pengakuan dan penyesalan presiden terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, kata dia, pengakuan tersebut tidak dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM karena tidak dibarengi dengan pertangungjawaban hukum terhadap pelaku.
Selain itu, ia mengkritik pernyataan pemerintah yang khawatir para terdakwa kasus-kasus pelanggaran HAM akan bebas seperti kasus HAM lainnya. Menurutnya, bebasnya para pelaku karena ketiadaan komitmen pemerintah dalam menuntaskan kasus, bukan karena ketiadaan bukti. Semisal tidak ada perlindungan saksi dan keamanan korban sehingga mereka takut memberikan keterangan di pengadilan.
"Kebuntuan dalam penyelesaian yudisial lebih karena tidak seriusnya negara di dalam melakukan penanganan yang bersifat khusus. Baik itu dalam perlindungn saksi, korban, hakim, dan jaksa. Itu tidak ada," ujar Usman kepada VOA, Senin (16/1/2023).
Usman juga mengkritik 12 peristiwa yang dipilih pemerintah sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, masih ada sejumlah pelanggaran HAM lainnya seperti saat operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, atau kasus pembunuhan Munir 2004. [sm/em]
Forum