Semakin banyak orang Asia mengalami kekurangan makanan akibatnya melonjaknya kerawanan pangan menyusul kenaikan harga dan kondisi kemiskinan yang memburuk, menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan badan-badan PBB lainnya yang dirilis pada Selasa (24/1).
Hampir setengah miliar orang, lebih dari delapan di antara 10 orang di Asia Selatan, mengalami kekurangan gizi pada 2021 dan lebih dari 1 miliar orang menghadapi kerawanan pangan dengan kondisi sedang hingga parah, menurut laporan itu. Bagi dunia, prevalensi kerawanan pangan meningkat menjadi lebih dari 29 persen pada 2021, meningkat delapan persen dari 21 persen pada 2014.
Pandemi COVID-19 menjadi kemunduran besar, menyebabkan raibnya pekerjaan dan gangguan secara massal. Perang di Ukraina juga telah mendorong harga makanan, komoditas energi, dan pupuk, yang membuat jutaan orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan yang memadai, katanya.
Laporan tersebut adalah inventarisasi tahunan kelima tentang kerawanan pangan dan kelaparan yang digarap oleh badan-badan PBB termasuk FAO, UNICEF, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Program Pangan Dunia (WFP).
Selama tahun-tahun tersebut, kemajuan dalam pengentasan kelaparan dan malnutrisi telah terhenti dan kemudian mundur karena semakin banyak orang kehilangan sumber daya untuk mendapatkan cukup makanan. Prevalensi kekurangan gizi yang diukur oleh badan-badanPBB adalah 9,1 persen pada 2021, lebih baik dari angka 14,3 persen yang tercatat pada 2000, tetapi hanya naik sedikit dibandingkan capaian pada 2020.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa “perlambatan dalam perang melawan kelaparan terus berlanjut,” menurut laporan tersebut. Kajian itu juga menyoroti meningkatnya kerawanan pangan yang dihadapi orang-orang yang pindah ke kota, di mana mereka memiliki akses yang kurang lancar untuk mendapatkan makanan yang terjangkau.
“Mereformasi sistem pangan pertanian kita untuk menghasilkan makanan bergizi dan memastikan akses yang adil ke makanan sehat sangatlah penting,” menurut laporan itu.
Indeks Harga Pangan FAO telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, mencapai rekor pada Maret 2022. Indeks tersebut turun kembali karena harga komoditas agak menurun di akhir tahun, tetapi masih berada di angka 28 persen di atas level yang tercatat pada 2020.
Wilayah Asia-Pasifik mengimpor hampir $2 triliun makanan dalam setahun. Naiknya harga kebutuhan pokok, seperti beras, gandum, dan minyak, telah berdampak besar pada orang-orang miskin.
Kondisi itu adalah bagian dari apa yang disebut oleh badan-badan PBB sebagai krisis "5F" karena tidak cukup pangan (food), pakan (feed), pupuk (fertilizer), bahan bakar (fuel), dan pembiayaan (financing). Konflik di Ukraina telah memberikan pukulan berat pada banyak negara yang bergantung pada wilayah tersebut untuk mendapatkan pasokan gandum, minyak nabati dan pupuk.
Hampir 2 miliar orang, atau sekitar 45 persen dari jumlah penduduk yang tinggal di Asia, tidak mampu membeli makanan sehat, sehingga membawa dampak terhadap masalah anemia dan obesitas serta kelaparan.
Menggarisbawahi dampak pandemi, yang sangat memukul pekerja yang rentan di industri pariwisata dan manufaktur, hampir satu dari 10 orang Thailand mengalami kekurangan gizi pada 2019-2021, menurut laporan tersebut. Angka tersebut lebih tinggi dari beberapa tahun sebelumnya dan juga di banyak negara Asia Tenggara lainnya di mana pendapatan rata-rata jauh lebih rendah. Kemiskinan telah meningkat sebesar 2,6 persen antara 2015-2018, menurut data Bank Dunia.
“Peningkatan kemiskinan dan kekurangan gizi akan terjadi bersamaan,” Sridhar Dharmapuri, penulis laporan FAO yang dirilis pada Selasa (24/1), menjelaskan situasinya.
Pola makan yang tidak sehat dan makanan yang tidak memadai juga membahayakan kesehatan dan produktivitas di masa depan, karena menyebabkan anak-anak menderita stunting atau kurus dan membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit. Laporan tersebut mengatakan hampir seperempat anak-anak di Asia-Pasifik mengalami stunting, atau tinggi badan yang kecil untuk usia mereka. [ah/rs]
Forum