Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta lembaga keuangan melebarkan pemantauan mereka terhadap rekening yang terkait dengan aktivitas politik. Undang-Undang memang telah mewajibkan kandidat dan partai politik menempatkan dana kampanye mereka di Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK). Namun, menurut analis di grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK Rifki Arif Budianto, rekening khusus kampanye kini menjadi semacam kamuflase saja.
“Karena dana-dana yang mau diselewengkan, tentunya dilakukan transaksinya tidak di RKDK, tetapi dilakukan melalui rekening pribadi kandidat yang bersangkutan. Di mana kalau orang sudah jadi kandidat, tentunya dia masuk ke dalam kategori Politically Exposed Person (PEP),” kata Rifki dalam diskusi yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, Kamis (9/2).
Karena itulah, selain mengawasi Rekening Khusus Dana Kampanye, lembaga keuangan juga harus mengawasi dua kelompok rekening lain. Keduanya adalah rekening pribadi politisi yang menjadi kandidat dan rekening-rekening pihak lain yang terhubung dengan dia. Rekening pihak lain yang terhubung ini, terutama adalah keluarga dan orang terdekat politisi. Langkah ini sesuai dengan rekomendasi dari Financial Action Task Force, khususnya di bidang pencucian uang.
“Tindakan yang lebih ketat, yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan itu tak hanya dilakukan terhadap si kandidatnya saja. Tetapi juga harus dilakukan kepada keluarga dan juga pihak-pihak yang terkait, ini kami atur dalam peraturan OJK Pasal 34,” tambahnya.
Rifki mengatakan yang dimaksud sebagai anggota keluarga dalam pasal 34 adalah mereka yang berada hingga derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal. Sedangkan pihak terkait adalah orang-orang terdekat kandidat, mulai sopir, asisten atau sekretaris pribadi.
Yang juga tidak boleh dilupakan, katanya, adalah pengawasan untuk rekening perusahaan yang dikelola atau dimiliki oleh PEP atau orang yang terekspos secara politik.
OJK meminta pemantauan transaksi keuangan dilakukan terkait siapa yang mengirim dana, siapa yang menerima, apa penggunaannya dan berapa nominalnya.
Perubahan Pola Transaksi
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) selalu mencatat perubahan pola traksaksi peserta pemilu dan pilkada pada tahun pemilihan. Riset yang dilakukan sejak 2013 mengambarkan pola itu. Beren Rukur Ginting, pejabat di PPATK membagi pola kecenderungan, baik di sisi pola transaksi lingkungan eksekutif maupun legislatif.
“Kita lihat, bahwa transaksi keuangan sebelum pilkada, saat pilkada dan setelah masa menjabat itu meningkat drastis,” kata Beren.
Dalam grafis yang ditampilkan Beren untuk periode Pilkada 2010 misalnya, setahun sebelumnya catatan traksaksi kelompok eksekutif atau calon kepala daerah, relatif kecil. Saat pilkada transasi mulai terlihat, tetapi masih wajar. Transaksi menggelembung pada tahun pertama kepala daerah terpilih bertugas, dan semakin besar hingga tahun keempat.
Sementara di kelompok legislatif, transaksi mulai terlihat sepanjang proses pilkada, dan semakin tinggi seusai kepala daerah terpilih.
“Ini juga memperlihatkan, apakah ini mengembalikan uang yang sudah habis di depan atau bagaimana,” tambah Beren sambil menekankan bahwa pola ini akan terulang di 2024.
Politik uang juga terjadi pada setiap proses politik. Beren memaparkan pada tahap pendaftaran dan penetapan calon, ada yang disebut sebagai mahar politik. Dilanjut pada saat kampanye, di mana partai politik dan kandidat harus membuat Rekening Khusus Dana Kampanye. Pada praktiknya, dana kampanye mengalir tidak melalui rekening itu.
PPATK juga mencatat adanya indikasi dana kampanye dari tindak pidana, seperti korupsi dan bahkan perdagangan narkotika.
Lalu, pada masa pemungutan suara, politik uang diwarnai dengan apa yang umum disebut sebagai serangan fajar.
“Untuk serangan fajar ini, kami di 2019 sebenarnya sudah melakukan pemantauan. Serangan fajar ini kita bicara tentang transaksi tunai. Nah, kalau transaksi tunai, kita akan melihat seluruh pergerakan uang, penarikan tunai, yang dilakuan oleh nasabah, baik oleh perorangan maupun korporasi,” tegasnya.
Seluruh industri keuangan di Indonesia berada di bawah radar PPATK.
Pada proses perhitungan suara, suap juga dimungkinkan terutama pada penyelenggara pemilu atau pilkada dan saksi. PPATK menggandeng Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam proses pengawasan tahap ini. Terakhir, politik uang juga masih mungkin jika terjadi perselisihan hasil pemilu atau pilkada yang dibawa ke pengadilan. Hakim menjadi rawan menerima suap dalam tahap ini.
Beragam Modus Digunakan
Bawaslu selama ini telah menangani banyak kasus terkait praktik politik uang dalam pemilu atau pilkada. Salah satu modus paling umum, kata Yusti Erlina dari Bawaslu, adalah pemberian uang tunai.
“Adanya uang yang diberikan secara tunai. Biasanya disertai dengan amplop dan bahan kampanye dengan mencantumkan nomor atribut atau foto calon dari partai tertentu,” ucapnya.
Bentuk lain adalah paket sembako, berisi kebutuhan pokok seperti beras dan minyak. Penerima diminta memilih calon yang memberikan paket sambako itu.
Modus lain adalah penyediaan kupon, di mana pemilih bisa menukarkan kupon tersebut di warung-warung tertentu yang ditentukan oleh politisi terkait.
“Jadi kupon ini juga menjadi modus untuk menjanjikan kepada masyarakat, jika memilih calon tertentu maka akan dibagikan kupon yang kemudian dapat ditukarkan dalam bentuk-bentuk beras dan lainnya,” jelasnya.
Politisi juga kerap memberikan uang dalam skema sedekah, terutama yang dilakukan di dalam tempat ibadah. Tidak jarang mereka juga memberikan hadiah untuk sebuah kegiatan seperti olahraga hingga menyumbang pembangunan fasilitas umum. Praktik politik uang bisa juga disamarkan sebagai uang pengganti.
“Uang ini diberikan sebagai pengganti waktu kerja, misalnya petani yang seharusnya ke sawah atau ladang, diberikan uang agar pergi ke Tempat Pemungutan Suara,” kata Yusti.
Bahkan, token atau pulsa listrik rumah saat ini juga marak dipakai sebagai pemberian dari politisi kepada pemilih agar menjatuhkan dukungan mereka ke nama tertentu di surat suara. [ns/ab]
Forum