Tautan-tautan Akses

Seorang Pria Dihukum 2 Tahun Penjara karena Jual Kalender yang Ejek Raja Thailand


Raja Thailand Maha Vajiralongkorn menyapa kaum royalis di luar Grand Palace di Bangkok, Thailand, 5 Desember 2020. (Foto: Reuters)
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn menyapa kaum royalis di luar Grand Palace di Bangkok, Thailand, 5 Desember 2020. (Foto: Reuters)

Seorang pria Thailand dijatuhi hukuman dua tahun penjara, Selasa (7/3), karena menjual kalender yang menampilkan kartun satire bebek kuning yang menurut pengadilan mengejek raja negara itu, kata sebuah kelompok bantuan hukum.

Pengadilan Pidana Bangkok memutuskan bahwa kalender untuk tahun 2021 yang berisi gambar bebek kuning dalam pose yang mirip Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, merusak reputasinya, kata kelompok Pengacara HAM Thailand.

Bebek karet kuning sendiri pernah menjadi simbol gerakan protes prodemokrasi Thailand.

Narathorn Chotmankongsin didakwa berdasarkan undang-undang lese majeste Thailand, yang menjatuhkan hukuman penjara tiga hingga 15 tahun bagi siapa saja yang mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam raja, ratu, keturunan atau wali mereka.

Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, dan istrinya Ratu Suthida di Bangkok, Thailand Minggu, 5 Desember 2021. (Foto: via AP )
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, dan istrinya Ratu Suthida di Bangkok, Thailand Minggu, 5 Desember 2021. (Foto: via AP )

Pengadilan menyatakan bahwa enam ilustrasi dalam kalender itu sengaja dibuat untuk mengejek raja.

Kelompok bantuan hukum mengatakan terdakwa berusia 26 tahun, yang diidentifikasi dengan nama panggilan Ton Mai itu, hukumannya dikurangi menjadi dua tahun karena ia bekerja sama dengan pengadilan.

Human Rights Watch mengeluarkan pernyataan Rabu (8/3) yang meminta pihak berwenang Thailand untuk membatalkan hukuman itu dan segera membebaskan Narathorn Chotmankongsin.

“Penuntutan dan hukuman tiga tahun terhadap seorang pria karena menjual kalender satire menunjukkan bahwa pihak berwenang Thailand sekarang berusaha untuk menghukum aktivitas apa pun yang mereka anggap menghina monarki,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Kasus ini mengirim pesan ke semua warga Thailand, dan ke seluruh dunia, bahwa Thailand tidak bergerak menuju demokrasi yang menghargai HAM.”

Undang-undang lese majeste telah lama menuai kritik karena ancaman hukuman kerasnya dan ketentuannya yang memungkinkan siapa pun mengajukan keluhan, sehingga memungkinkan penggunaannya untuk tujuan politik partisan.

Dalam beberapa tahun terakhir, undang-undang itu telah menjadi fokus aktivis prodemokrasi, yang menyerukan agar undang-undang tersebut diubah atau dihapuskan.

Dua aktivis perempuan muda yang menuntut pencabutan dan reformasi peradilan lainnya dilaporkan dalam kondisi kritis setelah melakukan aksi mogok makan selama lebih dari enam minggu.

Setidaknya 233 orang telah didakwa dengan lese majeste sejak November 2020 menurut kelompok Pengacara HAM Thailand.

Tuntutan untuk mereformasi monarki telah menjadi kontroversi karena menurut tradisi, institusi tersebut dianggap tidak tersentuh dan salah satu fondasi utama nasionalisme Thailand. [ab/uh]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG