Malam itu adalah Seder Paskah, malam yang panjang bagi Austen Hufford, seorang Yahudi di Washington D.C. Ia menjamu sekitar 40 tamu di rumahnya, Abrahamic House. Empat meja disiapkan, lengkap dengan makanan vegetarian serta jus anggur dan jus buah delima sebagai opsi minuman non-alkohol. Khidmatnya acara terpenting bagi umat Yahudi itu berlangsung selama beberapa jam. Namun, ada yang tidak biasa malam itu. Pembacaan Haggadah itu dihadiri pemeluk dua agama Ibrahim lain, Kristen dan Islam.
Perjamuan Seder bukan jadi satu-satunya hari yang membuat Austen sibuk. Selama sepekan, Austen maraton “mencicipi” rasanya menjadi seorang muslim serta Kristen. “Dalam sepekan terakhir, teman serumah saya, Daud dan Alex dan saya telah melakukan semua tradisi yang berbeda ini. Kami pergi ke perayaan Iftar dan berpuasa bersama. Kami pergi ke kebaktian Paskah di sebuah gereja Katolik lokal di D.C. dan kemudian kami merayakan Seder Paskah bersama di komunitas kami,” cerita pria yang juga berprofesi sebagai seorang penulis tersebut.
Daud dan Alex adalah teman-teman satu rumah Austen sejak November 2022. Ketiganya terpilih menjadi fellows Abrahamic House, sebuah tempat tinggal sekaligus inkubator lintas agama di Washington D.C.
Bagi Austen, pertemuan Ramadan, Paskah, dan Paskah Yahudi di bulan yang sama tahun ini adalah momen untuk saling mengenal kemiripan serta perbedaan satu kepercayaan dengan yang lain. “Saya pikir, salah satu tantangan terbesar adalah bahwa orang-orang tidak tahu tentang agama lain. Jika Anda tumbuh dalam satu tradisi, Anda mungkin takkan mengerti berbagai tradisi lain.”
“Ini adalah kesempatan yang menyenangkan, meluangkan waktu yang sakral untuk merenungkan bagaimana kita bisa menjadi orang-orang yang lebih baik, juga menjadi lebih baik dalam tradisi iman kita,” tambahnya.
Musim semi tahun ini di Amerika Serikat jadi saksi persinggungan tiga hari raya agama Abrahamik. Idulfitri yang dirayakan oleh umat Islam, Paskah yang diperingati oleh umat Kristen, dan Pesakh atau Paskah Yahudi berkumpul pada waktu berdekatan. Bulan Ramadan dimulai pada 22 Maret 2023, Paskah Yahudi dari 5 hingga 13 April, serta hari Paskah yang jatuh pada 9 April.
Ada juga cerita seorang pemuda muslim yang menjalani ibadah puasa keduanya di Amerika Serikat tahun ini. Namanya, Farisreyhan Zachary Pohan. Pengalamannya serupa dengan Austen. Harinya diisi dengan diskusi dua arah antara dirinya dan temannya soal kepercayaan mereka masing-masing. “Momen ini pas. Saya punya teman yang Katolik taat, orang El Savador. Dia menceritakan tentang Paskah, seberapa pentingnya kebangkitan Yesus. Saya lebih mengerti juga tentang agama mereka. Saya juga jelasin tentang bulan Ramadan.”
“Ini bulan gimana saya bisa memperkenalkan agama Islam. Karena banyak orang yang tanya. [...] Ada yang [bilang], ‘Aduh, susah banget.’ Ada yang bahkan pengin coba, seperti manajer saya. Dia coba berpuasa. Dia bahkan tertarik mencari tahu Islam itu bagaimana,” ungkap pemuda yang juga menjabat Direktur Youth dan Young Adult IMAAM Center, sebuah masjid yang didirikan oleh komunitas muslim Indonesia di Amerika. “Alhamdulillah, respons mereka salut kita bisa puasa di tengah pekerjaan.”
Selain itu, persinggungan ini menjadi saat yang tepat untuk memupuk pengenalan satu sama lain. “IMAAM Center kebetulan lokasinya di lokasi orang Yahudi. Satu blok dari sinagoga. Pas di depan kosan saya, ada gereja Advent. Jadi sempat ramai ada bazaar, sebagainya. [...] Kemarin kita juga undang tetangga kita untuk iftar bareng,” ujar Faris. “IMAAM Center sangat beruntung tahun ini. Selain tahunnya dekat, tempatnya dapat.”
Hennie Wattimena, anggota National Capital Presbytery, musyawarah pelayanan gereja-gereja presbiterian di wilayah Washington D.C., Maryland, dan Virginia, menilai ini jadi saat yang tepat untuk melihat persinggungan ketiganya melalui lensa persatuan. “Ini bukan waktunya melihat perbedaan. Kebersamaan dengan satu yang lain.” “It’s not time for us to see the difference, tapi kebersamaan di tengah keberagaman yang ada,” kata pendeta yang juga kandidat doktor Practical Theology di Vreij University Amsterdam.
Arti Ramadan, Paskah Yahudi, dan Paskah bagi Umat Islam, Yahudi, dan Kristen
Bagi Faris, Ramadan adalah bulan yang penting bagi kondisi spiritual juga mentalnya. Ramadan memberinya kesempatan untuk mengambil jeda dari kesibukan duniawi, sambil mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Ini bulan di mana kita diperintahkan Allah SWT untuk selama satu bulan mundur dulu dari dunia yang fana. [...] Menurut saya, ini bulan kita memprioritaskan ibadah. Kita terlalu sibuk dengan hal-hal tadi,” katanya.
“Saya juga kerja di restoran, paruh waktu. Makanan di mana-mana. Iman saya diuji. Tiap salat, saya selalu minta sama Allah untuk memberikan saya kekuatan,” tambahnya.
Paskah Yahudi, hari peringatan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, dimaknai Austen Hufford dengan menjalankan arti kebebasan dalam kehidupannya sehari-hari. “Saya pikir ide besarnya adalah ketika Anda bebas, bagaimana Anda menggunakannya.”
“Cara tiga agama Ibrahim memandang kebebasan adalah kebebasan untuk memilih untuk menjalani kehidupan yang baik dan mengikuti aturan dan tradisi keyakinan kita sendiri. Kebebasan untuk menjalani kehidupan yang diilhami oleh Tuhan,” tambahnya.
Dirayakan pada waktu yang hampir bersamaan dengan Paskah Yahudi, Paskah jadi hari terpenting bagi umat Kristen. Hari raya yang tanggal penetapannya bergantung pada bulan purnama ini memperingati kebangkitan Yesus Kristus usai wafat menebus dosa manusia. Hennie menyambut kemenangan Yesus atas maut sebagai kemenangan manusia atas dosa.
“Ada sukacita tersendiri bahwa kita memiliki kehidupan yang baru. Yang lama sudah berlalu. Kita mengacu ke depan dengan kebangkitan Kristus yang memberikan sukacita, ada pengharapan baru. Jadi hal-hal lama yang membuat kita tidak maju, membuat kita dalam keputusasaan, kita harus let it go. [...] Maju menjadi manusia yang baru, lebih dekat dengan Tuhan dan melayani sesama,” ujar Hennie.
Pesan Perdamaian dari Mereka
Di tengah dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Sekjen PBB Antonio Guterres memanfaatkan momen ini untuk mengajak doa bersama bagi perdamaian.
Austen, Hennie, dan Faris juga punya pesan versi mereka.
“Tampaknya di masa sekarang, orang-orang kesepian, tidak punya teman, tidak punya komunitas. Sering kali komunitas religius itu indah, menawarkan persahabatan. Saya pikir agama dapat membantu kita menuju apa yang kita harapkan, kebahagian, komunitas. Iya, ada sejarah panjang agama melakukan kekerasan atau menyakiti satu sama lain. Bisakah kita meraup kebaikan dari komunitas agama tanpa menjadi terisolasi atau menyebarkan kebencian satu sama lain?” ungkap Austen Hufford.
Sementara Farisreyhan Zachary menuturkan, “Bisa mengembalikan semangat persatuan yang Rasulullah contohkan, sih. [...] Rasulullah kasih contoh, dia bahkan ditimpuk kotoran unta, dia enggak ada tuh ajak teman-temannya [untuk] serbu. Rasul selalu mencontohkan, kalau ada yang berpotensi melakukan perpecahan, selalu cari jalan damai.”
“Damai itu bukannya tak ada perang atau masalah. Di mana saja kita berada, selalu ada masalah yang membawa perpecahan. Bagaimana kita melihat semua itu dalam perspektif kasih. Bahwa kita bisa menjadi alat damai sejahtera di tengah pertikaian. Hal yang kecil yang dapat kita lakukan, dengan kita berdoa, atau lewat media, kita bisa mewartakan tentang perdamaian. [...] Kita bisa menghadirkan damai dengan perkataan dan perbuatan kita,” pungkas Hennie Wattimena.
(ss/dw)
Forum