Beberapa hari sebelum Indonesia menerapkan larangan ekspor bauksit yang belum diolah, para penambang kembali memohon kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena fasilitas dalam negeri tidak memadai untuk memproses semua produksi mereka.
Indonesia, produsen bauksit terbesar keenam di dunia, akan menghentikan ekspor bahan baku aluminium itu mulai Sabtu mendatang berdasarkan undang-undang tahun 2020 yang melarang semua ekspor bijih logam untuk mendorong investasi dalam industri pengolahan.
Pemerintah bulan lalu memberi para penambang bijih lain, termasuk tembaga dan besi, kelonggaran waktu selama satu tahun untuk memberi mereka kesempatan menyelesaikan pembangunan smelter, tetapi tetap melarang ekspor bauksit.
Data resmi pemerintah menunjukkan, Indonesia memiliki tiga pabrik smelter-grade alumina (SGA) dan satu pabrik chemical grade alumina (CGA), dengan kapasitas input gabungan hampir 14 juta ton. Menteri Pertambangan Arifin Tasrif bulan lalu mengatakan, keempat pabrik itu cukup untuk menyerap produksi bauksit yang belum diolah.
Namun Ronald Sulistyanto, ketua Asosiasi Perusahaan Bauksit dan Bijih Besi Indonesia, mengatakan kepada Reuters pada hari Senin bahwa produksi bauksit telah mencapai sekitar 30 juta ton per tahun, sehingga akan memaksa para penambang untuk menghentikan aktivitas mereka jika tidak ada pasar untuk kelebihan produksi mereka.
Larangan ekspor bauksit dimaksudkan untuk mereplikasi keberhasilan Indonesia dalam menarik investor asing ke dalam pengolahan nikel setelah larangan pengiriman keluar bijih yang belum diolah itu pada tahun 2020.
Namun, pembangunan fasilitas pemrosesan bauksit dapat menelan biaya tiga kali lipat daripada pabrik peleburan besi nikel. Para penambang telah berjuang untuk mendapatkan pembiayaan bank sejak 2009, ketika Indonesia pertama kali mengumumkan rencana pelarangan ekspor bauksit, kata Sulistyanto, yang organisasinya mewakili 28 penambang.
“Anggota kami berharap ada evaluasi ulang dari pemerintah jika ingin industri pertambangan ini maju,” ujarnya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral belum menanggapi permintaan asosiasi itu.
"Para penambang ingin mengembangkan smelter ini, tetapi mereka membutuhkan dukungan, bukan hukuman," tambahnya, sambil menyerukan agar pihak berwenang menjamin pinjaman bank untuk pembangunan smelter alumina.
Namun, Irwandy Arif, staf khusus menteri pertambangan, mengatakan kepada Reuters bahwa perusahaan-perusahaan itu telah diberi cukup waktu untuk mematuhinya dan larangan tersebut akan dilaksanakan sesuai rencana.
Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk membebaskan beberapa penambang dari larangan tersebut jika smelter mereka setidaknya setengah jadi, tetapi belum ada kemajuan dalam pembangunan tujuh dari delapan proyek alumina yang sedang berlangsung, kata Irwandy kepada Reuters.
Pemerintah telah berusaha memfasilitasi pertemuan antara perusahaan tambang dan bank, tetapi tidak dapat memberikan jaminan, kata Irwandy.
"Salah satu kriterianya adalah progres pembangunan smelter, dan untuk bauksit sangat sedikit progress-nya sehingga sulit bagi pemerintah untuk mempertimbangkan pengecualian," katanya.
Larangan ekspor bauksi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pasar global karena China, produsen aluminium terbesar di dunia, dapat memperoleh bauksit dari produsen seperti Guinea dan Australia, yang keduanya dapat meningkatkan produksi, menurut Fitch Solutions.
Pakar industri berpendapat bahwa karena alternatif-alternatif yang tersedia, larangan bauksit di Indonesia tidak mungkin menarik investasi asing, tidak seperti nikel. [ab/uh]
Forum