Iklim kering di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sudah diakrabi oleh petani seperti Yosep Atan Hera. Gagal panen, baik itu padi maupun jagung, rutin terjadi karena hujan yang sangat langka. Karena itu lah, dia menyambut baik ketika Keuskupan NTT memperkenalkan tanaman sorgum pada 2014 lalu.
“Kita tanam padi atau jagung kerjanya rumit, hasilnya itu kita was-was karena sangat tergantung hujan. Kalau tanam sorgum itu pasti, kerjanya tidak rumit. Begitu kita tanam, penyiangan satu kali, pasca panen, rontok, bersihkan, langsung jadi uang,” kata Yosep kepada VOA.
Bukan jalan mudah beralih dari jagung dan padi ke sorgum. Kelompok tani sorgum Likotuden Herin Lela, yang dibentuk Yosep, awalnya hanya beranggotakan 11 orang. Namun setidaknya sejak lima tahun terakhir, hampir seluruh warga di kampung Yosep menanam Sorgum.
“Hasilnya terus bagus, selalu bagus. Kebetulan sekali untuk lahan di Flores Timur khususnya di kampung saya, itu memang sangat cocok karena curah hujan itu kurang dan sangat tidak menentu,” lanjut Yosep.
Tanaman di Iklim Kering
Indonesia diperkirakan akan menghadapi kemarau cukup panjang hingga tahun depan karena pengaruh El Nino. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Sektor pertanian diperkirakan akan terdampak karena iklim kering mengurangi produksi beras. Sorgum, menurut penuturan Yosep, justru bagus jika tanpa hujan.
“Sorgum luar biasa di lahan panas. Hujan semakin kurang, dia semakin bagus, semakin subur,” kata dia.
Sorgum hanya butuh sekitar tiga bulan untuk bisa dipanen. Yosep pun sudah mengubah konsumsi di rumah dengan menjadikan sorgum dan beras berbanding separuh untuk makanan pokok. Di samping itu, aneka makanan sampingan juga dibuat dengan sorgum. Pasar komoditas ini juga telah ada karena itu panen sorgum selalu terserap.
Pakar pertanian dari Universitas Gadjah Mada Profesor Dwidjono Hadi Darwanto setuju sorgum dijadikan pilihan dalam menghadapi El Nino.
“Itu salah satu alternatif pangan selain beras, sorgum bisa. Jangan sampai alternatifnya itu ke terigu,” kata Dwidjono.
Nilai impor Indonesia untuk terigu lebih dari Rp100 triliun per tahun. Angka ini dijadikan alasan Dwidjono untuk menekankan bahwa produk berbahan terigu sebaiknya tidak menjadi alternatif pangan bagi Indonesia.
El Nino akan menurunkan produksi pangan karena sektor pertanian akan terdampak langsung atas fenomena alam tersebut. Pada musim kering, otomatis suplai air berkurang. Padahal padi, sebagai bahan pangan pokok, membutuhkan ketersediaan air dalam jumlah cukup. Kekurangan air otomatis akan mengurangi produksi padi. Pada situasi ini lah, sorgum yang jelas mampu bertahan di iklim kering menunjukkan peran.
Dwidjono mengingatkan, El Nino adalah kondisi yang terus terulang dengan periodisasi yang bisa diperkirakan. Indonesia seharusnya mampu memprediksi kehadirannya. Karena itu, lembaga-lembaga terkait pangan, seperti Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional dan Bulog, harus memiliki perhitungan terkait produksi, stok, dan kebutuhan pangan nasional.
“Kalau sudah mendesak begini, kan negara-negara lain itu kan juga membatasi ekspornya, sehingga kita kesulitan juga untuk mendapatkan beras, misalnya,” lanjut Dwidjono.
Pemerintah sendiri mewacanakan impor beras dari India sebanyak 1 juta ton untuk mengatasi kekurangan pasokan akibat El Nino. Rencana itu diungkapkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada pekan lalu. Sedangkan Presiden Jokowi sendiri sudah menyebut rencana impor beras sejak April 2023 sebagai langkah antisipasi jika dampak El Nino cukup mengganggu pasokan pangan nasional.
Dwidjojo mengingatkan, diversifikasi produksi bahan pangan harus diikuti dengan diversifikasi konsumsi masyarakat. Tantangan ke depan adalah menjadikan produksi sorgum stabil, jika konsumsi di tingkat masyarakat sudah lebih baik. Jika sorgum akan dijadikan bahan pangan alternatif maka sebagai konsekuensi, volume produksinya harus ditingkatkan.
Kementan Dorong Budidaya
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berulangkali menekankan pentingnya pengembangan sorgum untuk ketahanan pangan. Dorongan itu kembali dia sampaikan dalam kunjungan ke Pangkep, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 2023 lalu.
“Sorgum itu tumbuhan klasik Indonesia, dan ini bagus sebagai tanaman substitusi pengganti gandum. Batangnya juga bisa untuk makan ternak, bahkan bisa diolah juga menjadi gula,” kata Syahrul dalam rilis resmi kementerian.
Ia juga menegaskan bahwa sorgum adalah kelompok tanaman serealia sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai penunjang program ketahanan pangan dan agribisnis.
“Ini mengingat daya adaptasinya serta kebutuhan airnya rendah, sehingga tahan cuaca panas, musim kemarau panjang atau El Nino,” lanjut Syahrul.
Di Kabupatan Pangkep sendiri, Kementerian Pertanian berkomitmen melakukan perluasan penanaman sorgum hingga 500 hektare pada tahap awal. Selain itu, Syahrul juga menjanjikan pengembangan sorgum di sejumlah daerah lain yang dianggap potensial. [ns/ab]
Forum