Partai berkuasa di Kamboja, pimpinan Perdana Menteri Hun Sen yang telah berkuasa sejak lama, hari Minggu (23/7) mengklaim menang telak dalam pemilu. Hal ini sudah hampir dapat dipastikan mengingat tekanan dan intimidasi terhadap kelompok oposisi dalam pemungutan suara, yang menurut para kritikus merupakan lelucon demokrasi.
Hun Sen, mantan pejuang gerilya yang merupakan pemimpin terlama di Asia, mengatakan kepemimpinannya kali ini mungkin merupakan yang terakhir.
Hun Sen, yang kini berusia 70 tahun, adalah otokrat tangguh yang telah memimpin Kamboja selama hampir empat dekade. Hun Sen menunjukkan gerakan politik yang cekatan, dengan tetap berada beberapa langkah di depan mereka-mereka yang berupaya menggulingkannya, di tengah negara yang rentan pergolakan.
Penulis biografinya, Sebastian Strangio mengatakan “karakteristik yang membedakan Hun Sen dengan lainnya adalah fleksibilitas ideologi dan politiknya. Ia adalah seorang pemimpin yang memerintah sebagai kepala pemerintahan komunis pada tahun 1980an, lalu dengan sangat cepat membuat transisi ke sistem demokrasi pada awal tahun 1990an, dan sejak itu menunjukkan kemampuan luar biasa untuk tahu kapan saatnya mengalah, menang, dan melawan guna mengkonsolidasikan kekuasaannya."
Belajar dari Lapangan
Ketika perang saudara berkecamuk di Kamboja tahun 1970, Hun Sen bergabung dengan pimpinan Khmer Merah, Pol Pot. Ia kehilangan mata kirinya dalam pertempuran itu. Ia menjadi komandan tingkat menengah di negara ultra-komunis di mana sekitar 1,7 juta orang tewas karena kebijakan genosidanya. Ketika terjadi serangkaian pembersihan, Hun Sen melarikan diri ke Vietnam, tetapi kemudian kembali untuk membantu tentara Vietnam yang menyerang Kamboja, menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979. Menyadari bakatnya, pasukan pendudukan Vietnam menjadikan Hun Sen, yang baru berusia 20an, sebagai menteri luar negeri.
Dunia pun mulai menaruh perhatian pada pemuda berhati baja yang kemudian mendominasi Kamboja.
Pada tahun 1985 ia menjadi perdana menteri, yang termuda di dunia saat itu. Bertahun-tahun kemudian ia menghancurkan lawan-lawannya satu per satu, termasuk lewat kudeta tahun 1997 dan lewat keputusan pengadilan, yang memenjarakan banyak pembangkang, membubarkan partai politik atau melarang mereka mencalonkan diri dalam pemilu.
Strangio mengatakan, “Hun Sen adalah seorang pemimpin yang tumbuh dewasa dalam konteks konflik di Kamboja tahun 1950an dan 1960an, dan pengalaman di medan perang telah menanamkan pendekatan berbeda tentang politik pada Hun Sen. Ia selalu melihat politik sebagai permainan menang kalah, dan tidak lalai menggunakan kekuatan penuh untuk mengkonsolidasikan cengkeraman kekuasaannya, dengan menghilangkan potensi sumber oposisi.”
Hun Sen juga membantu membawa perdamaian ke negara yang dilanda perang, dan menghantarkan ekonomi pasar bebas. Ia kemudian mendekat ke China, yang memberinya dukungan kuat agar lebih percaya diri menolak seruan Barat untuk melakukan reformasi politik dan mengakhiri penindasan.
Temui Junta Militer Myanmar, Hun Sen Dikecam Luas ASEAN
Perjalanan hidupnya tidak selamanya mulus. Tahun lalu Hun Sen tersandung di panggung internasional ketika dalam posisi sebagai ketua ASEAN tahun lalu, ia terbang ke Myanmar guna meredam konflik berdarah di negara itu. Namun langkah sepihak itu tidak menghasilkan apapun kecuali kemarahan beberapa pemimpin ASEAN, yang mengkritiknya karena telah memberi legitimasi pada pemerintah junta militer Myanmar yang brutal.
Pemerintahan panjang Hun Sen mungkin akan segera berakhir. Baru-baru ini ia mengatakan siap menyerahkan kekuasaan kepada putra sulungnya, Hun Manet, yang berusia 45 tahun. Tetapi para pengamat menilai kemungkinan besar ia akan tetap menjadi kekuatan di Kamboja, dengan berdiiri di belakang putranya guna memberikan pengarahan dan mempertahankan Kamboja di jalur yang telah dipetakannya. [em/jm]
Forum