Yalda Moaiery telah melakukan perjalanan ke beberapa negara paling berbahaya di dunia dalam 23 tahun karirnya. Dia memotret perang di Afghanistan dan Irak dan meliput konflik dan bencana alam dari Pakistan hingga Somalia.
Tetapi ketika memotret protes di negara asalnya, Iran, pada September tahun lalu, ia ditangkap, dipukuli dan dijebloskan ke penjara.
Wartawati berusia 41 tahun itu dibebaskan dengan jaminan pada Desember. Ia kini sedang menunggu panggilan untuk mulai menjalani hukumannya: penjara enam tahun atas tuduhan antinegara, ditambah larangan dua tahun menggunakan media sosial dan keluar dari Iran, serta larangan tiga tahun melakukan praktik jurnalisme.
Namun di tengah semua hal tersebut, Moaiery terus bekerja. Keberanian dan keuletannya diakui. Ia mendapat penghargaan International Women's Media Foundation atau IWMF, Wallis Annenberg Justice for Women Journalists tahun ini.
Dibentuk pada 2021, penghargaan tersebut mengakui jurnalis perempuan yang dipenjara karena menunjukkan keberanian di bawah ancaman ekstrem. Sesuatu yang dicontohkan Moaiery, kata direktur eksekutif IWMF, Elisa Lees Muñoz.
"Dia adalah contoh perempuan jurnalis yang sangat berani," kata Muñoz kepada VOA. "Dan betapa ironis, di negara sendiri, meliput komunitasnya, dia tidak hanya dijebloskan ke penjara, tetapi juga dipukuli. Dan selagi diangkut ke penjara, ia terus melaporkan apa yang terjadi padanya."
Moaiery adalah satu dari setidaknya 95 jurnalis yang dipenjara di Iran sejak September lalu, menurut organisasi hak media. Banyak dari mereka ditangkap karena meliput protes yang meletus setelah kematian Mahsa Amini, perempuan muda Kurdi yang meninggal dalam tahanan polisi moral Iran.
Setidaknya, 24 di antaranya merupakan jurnalis perempuan. Kondisi tersebut membuat Iran menjadi negara di dunia yang paling banyak menahan jurnalis, termasuk jurnalis perempuan.
Dalam pernyataan tertulis yang ia bagikan kepada VOA, Moaiery mengatakan, "Saya menerima penghargaan ini di saat pekerjaan jurnalis telah menghilang di negara saya." [ka/jm]
Forum