Sebanyak 1.200 warga sipil Israel, termasuk perempuan dan anak-anak balita, dilaporkan tewas dibantai dalam serangan Hamas di Israel Selatan akhir pekan lalu. Jumlah korban diperkirakan terus bertambah.
Sebagai pembalasan, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant memerintahkan “pengepungan total” Jalur Gaza. “Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada bahan bakar” yang akan diberikan kepada lebih dari dua juta warga Palestina yang tinggal di sana, di bawah kekuasaan Hamas, ujarnya.
Video berita dari Gaza telah berseliweran di media sosial yang menampilkan adegan nyata warga Palestina yang menelusuri puing-puing berdarah setelah serangan udara Israel.
Pihak berwenang Palestina melaporkan, 900 orang tewas dan angka tersebut terus bertambah di Gaza sejak hari Sabtu (7/10) lalu – di mana hampir 500 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Untuk memahami kekacauan yang terjadi di Gaza, diperlukan pengetahuan tentang sejarahnya.
Pemerintahan kolonial dan berdirinya negara Israel
Gaza dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah hingga tahun 1917. Pada tahun 1922, Palestina berada di bawah kekuasaan penjajah Inggris selama hampir 30 tahun. Selama masa itu, orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan agama, bermigrasi ke Palestina secara massal, sebagian besar dari Eropa Timur di mana Nazisme sedang berkembang.
Para pendukung Zionisme berusaha menciptakan negara bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dengan alasan adanya hubungan historis dengan Tanah Israel yang disebutkan dalam Alkitab. Pemerintah Inggris mengakui Zionisme dan menjanjikan bahwa negara Yahudi akan didirikan di Palestina.
Setelah Nazi ditaklukkan, Inggris menyerahkan wewenang kepada PBB untuk membagi-bagi Palestina. Pada tahun 1948, PBB menyetujui rencana dua negara, namun ditolak secara bulat oleh para pemimpin Arab. Meski demikian, Israel mengumumkan pendiriannya.
Selama Perang Dunia II, pihak sekutu menjanjikan kemerdekaan dari pemerintah kolonial kepada para pemimpin Arab dengan imbalan dukungan masa perang. Banyak warga Arab Palestina memandang pembentukan Israel sebagai kebalikan dari janji tersebut.
Pada Mei 1948, perang antara Israel dan lima negara Arab tetangganya pecah. Israel menang dan memperluas wilayahnya secara besar-besaran, termasuk di Yerusalem – kota suci bagi umat Islam dan Yahudi.
Puluhan ribu warga Palestina, banyak di antaranya terusir dari desa mereka, melarikan diri ke wilayah Gaza, wilayah pantai sepanjang 25 mil yang baru saja direbut oleh tentara Mesir. Penduduk Gaza meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar 200.000 seiring dengan banyaknya pengungsi yang masuk.
Mesir disingkirkan dari Gaza
Mesir menguasai Jalur Gaza selama dua dekade di bawah pemerintahan seorang gubernur militer. Pada periode tersebut, warga Palestina bebas untuk bekerja dan memperoleh pendidikan di Mesir.
Selama bertahun-tahun, fedayeen, sebuah kelompok yang disebut pejuang kemerdekaan Palestina, berulang kali melancarkan serangan militer terhadap Israel. Pihak Israel membalas serangan-serangan tersebut.
Israel mengambil alih Jalur Gaza pada perang Timur Tengah pada 1967 dan menyingkirkan pemerintah Mesir dari wilayah tersebut. Pihak militer Israel mengawasi wilayah itu dan warga Gaza mulai bekerja sebagai buruh kasar di dalam dan sekitar wilayah pendudukan Israel yang dibangun di luar Gaza.
Lahirnya Hamas
Kerusuhan sipil memuncak pada tahun 1987, setelah truk Pasukan Pertahanan Israel, atau IDF, menabrak sebuah mobil warga sipil, menewaskan empat pekerja Palestina. Warga Gaza menganggap kecelakaan itu sebagai serangan berencana, sebuah klaim yang dibantah oleh pemerintah Israel. Aksi pemogokan dan demonstrasi yang disertai pelemparan batu pun terjadi.
Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Islam Sunni yang berpusat di Mesir, memanfaatkan kerusuhan itu, lalu membentuk kelompok militan tambahan di Gaza yang disebut Hamas. Dalam waktu singkat, Hamas menjadi penantang tangguh Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, atau PLO.
Misi Hamas adalah menghancurkan Israel dan mendirikan pemerintahan Islam sebagai penggantinya. Pernyataan dalam piagam aslinya, menyerukan kekerasan terhadap orang Yahudi di mana pun, telah dikecam secara luas.
Perjanjian Oslo
Pada 1993, Israel dan PLO menyepakati Perjanjian Oslo, sebuah kesepakatan damai yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kesepakatan tersebut berisi keputusan pembangunan Otoritas Palestina dan memberikannya kendali atas Gaza dan Jericho, sebuah kota di Tepi Barat. Arafat bahkan diperbolehkan untuk kembali ke Gaza setelah diasingkan selama satu dekade.
Perjanjian Oslo menjanjikan satus kenegaraan, namun di tahun-tahun berikutnya, rencana tersebut gagal terlaksana di saat warga Palestina diduga tidak menyepakati sejumlah situasi yang disyaratkan. Di saat Israel melanjutkan pembangunan wilayah pendudukannya, Hamas mendapatkan dukungan lebih dari warga Gaza yang kecewa.
Apa yang terjadi hari ini?
Serangan yang dilancarkan Hamas pada 7 Oktober lalu, yang merupakan hari libur peringatan Shemini Atzeret bagi umat Yahudi, telah menjadi buah bibir di seluruh dunia.
Setelah Hamas menyerang sejumlah kota di Israel, menyerbu sebuah festival musik dan menyandera warga sipil, Israel menyerang Gaza dengan serangan udara, menghancurkan wilayah tersebut.
Ira dikabarkan mendukung Hamas dengan pemberian latihan taktis, instruksi dalam memasang misil yang dilengkapi dengan sistem pengarahan canggih dan sokongan dana mencapai $100 juta per tahun — semua hal tersebut berkontribusi dalam serangan besar yang terjadi pada akhir pekan lalu, ungkap sejumlah pejabat AS.
Analis mengatakan Israel menyiapkan invasi militer skala penuh ke wilayah Gaza. Jonathan Conricus, juru bicara IDF, mengatakan pada 7 Oktober bahwa " sejauh ini, [ini] adalah hari terburuk dalam sejarah Israel ... tragedi 9/11 dan Peral Harbor digabungkan menjadi satu." [ps/lt/rs]
Forum