Gending langgam Jawa Jenang Gulo mengalun merdu dengan suara emas Dr. Peni Candrarini dari Institut Seni Indonesia Surakarta. Juga Rebong, gending gender wayang yang mengiringi adegan romantis yang dipentaskan oleh dalang terkenal I Gusti Putu Sudarta dari Institut Seni Indonesia Denpasar. Keduanya merupakan cuplikan dari pagelaran seni Jawa dan Bali dengan iringan grup kroncong dan pengrawit gamelan yang semuanya warga Amerika di luar kota Amerika, Washington, D.C.
Para mahasiswa, dosen dan staf Howard Community College (HCC) dan masyarakat sekitar kampus di Kota Columbia, Maryland pada 27 Oktober lalu mendapat suguhan acara budaya langka bertajuk “Musik dan Tari dari Indonesia.” Pagelaran istimewa yang digelar di pusat seni visual dan pertunjukan Horowitz Center di kampus HCC itu terselenggara berkat kerja sama dengan Asian Arts & Culture Center (AA&CC), Towson University di Towson, Maryland bersama University of Richmond dari Virginia.
Dr. Hsien-Ann Meng, guru besar musik di HCC dan direktur konser di Horowitz Center mengatakan lembaganya memiliki tradisi menyajikan serangkaian konser berbagai genre musik dan pentas beragam seni pertunjukan lainnya dengan menampilkan artis tamu, termasuk dari dalam dan luar negeri. Selain itu, HCC juga secara rutin mengundang seniman dan pakar seni untuk memberikan lokakarya dan ceramah.
Mengenai kehadiran dua artis kondang dari Indonesia kali ini, Hsien-Ann mengaku sangat beruntung. Dia menambahkan, “Jadi kami sangat, sangat beruntung bahwa kami bisa mengundang banyak artis tamu yang luar biasa, dan inklusi serta keberagaman adalah bagian yang sangat penting dari misi Howard Community College. Dan, kebetulan semuanya berjalan lancar tahun ini sehingga kami mampu menghubungi Andy McGraw dari University of Richmond, dan dia dapat membawa seniman ulung yang luar biasa, Peni dan Gusti ke kampus untuk memberikan lokakarya dan mengadakan konser. Jadi sangat beruntung bagi kami.”
Hsien-Ann yang juga seorang profesor musik dan pianis profesional menegaskan tujuan acara itu – termasuk lokakarya, pentas musik dan tari Jawa dan Bali kali ini – adalah untuk memperluas wawasan mahasiswa, memperkenalkan mereka pada suara-suara yang mungkin belum pernah mereka dengar sebelumnya. Dia memberikan contoh tentang bagaimana para peserta lokakarya bersama seniman dari Indonesia juga memberikan pengalaman pembelajaran yang berbeda dan berharga.
“Dan, tahukah Anda? Hari ini di workshop Gusti mengajari kami lagu dan bahkan gerakan-gerakan tari, hanya dengan mengajak mahasiswa, peserta, mengulang-ulang, seperti melakukannya berulang-ulang, yang merupakan cara belajar yang sangat berbeda dari sekedar membaca musik, yang merupakan fokus utama kami di sini. Jadi, kami benar-benar ingin memperkenalkan mahasiswa pada musik dari seluruh dunia. Dan, ada banyak, banyak sekali komposer dari budaya Barat yang juga sangat terkesan dengan suara gamelan. Jadi, menurut saya ini benar-benar merupakan kesempatan untuk membawa mahasiswa ke sumber langsung dari inspirasi-inspirasi tersebut,” ujar Dr. Meng.
Masyarakat sekitar yang ingin memperluas cakrawala budaya sekaligus memperdalam pengalaman dan pemahaman mereka akan berbagai seni, termasuk dari mancanegara, juga dapat mengikutinya. “Jadi kami benar-benar melayani perguruan tinggi, kami melayani mahasiswa. Jadi banyak dosen, staf, dan anggota komunitas di Howard County menghadiri konser kami. Jadi ini adalah kelompok penonton yang sangat luas dan beragam,” ungkapnya.
Promotor dan pemimpin malam budaya Bali dan Jawa ini adalah etnomusikolog Andy McGraw, Ph.D., guru besar di University of Richmond, Virginia.
Pendiri dan pemimpin ensembel Kroncong Rumput dan grup gamelan Raga Kusuma yang telah banyak menerbitkan buku tentang musik Asia Tenggara – utamanya Indonesia – ini mengatakan ingin mempersembahkan bunga rampai, sebuah variety show dalam satu kemasan.
“Mudah-mudahan penontonnya bisa merasakan sedikit variasinya, kekayaannya budaya Indonesia, dari Bali sampai Jawa, perbedaan-perbedaannya. Dua budaya saja sudah sangat berbeda, dan (penonton) bisa lihat dari musik, tari, wayang, tiga jenis seni petunjukan dalam satu pentas. Empat sebenarnya: gamelan Bali, tari Bali, wayang Bali, musik Jawa kroncong juga. Jadi ini seperti variety show Indonesia,” kata Andy.
Dr. Peni Candrarini adalah komposer yang juga sering membawakan musik tradisional, neotradisional, dan eksperimental Jawa. Dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta ini telah menerima banyak penghargaan dan sponsorship dari berbagai lembaga nasional dan internasional, termasuk dari pemerintah Indonesia, Aga Khan Foundation, Asian Cultural Council (New York), Asia Society (New York), Departemen Luar Negeri AS, Program Fulbright-Hays (Washington DC), dan banyak lagi program lainnya. Ia telah menggubah lagu dan tampil bersama musisi dan ansambel ternama di dunia, termasuk bersama Kronos Quartet di Carnegie Hall, hingga berkeliling dunia sebagai bagian dari proyek I La Galigo karya Robert Wilson.
Peni, yang seakan menjadi primadona dalam pentas budaya di HCC ini membawakan lagu-lagu yang akrab di telinga orang Jawa, tetapi pasti asing bagi sebagian besar penonton pada Jumat malam lalu.
“Kami menampilkan reportoar tradisi. Ada Wilujeng dalam laras slendro, kemudian Ketawang Puspo Warno, laras slendro, dan Sri Karongron dalam laras slendro pathet songo. Dan, juga memainkan keroncong dengan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang dan langgam Jenang Gulo,” kata Peni.
I Gusti Putu Sudarta adalah seorang musisi, komposer, penari dan dalang terkenal dari Bali. Dosen tetap di Jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Denpasar yang mulai mempelajari seni pertunjukan Bali sejak usia enam tahun ini telah berpartisipasi dalam berbagai tur internasional untuk pementasan musik dan tari tradisional dan eksperimental Bali. Pada malam pagelaran “Musik dan Tari dari Indonesia” dia sibuk dengan multiperan, baik sebagai musisi, dalang maupun penari.
“Dari Bali ditampilkan reportoar tradisi juga. Ada Sekar Gadung, nah itu tradisi sekali, di mana lagu yang aslinya dari selonding dibawa ke asmarandana, Liar Samas, itu juga reportoar tradisi. Juga ada tari, topeng keras dan topeng tua itu kan menampilkan satu bentuk tarian topeng dance drama di Bali. Itu ada karakter keras, ada karakter tua gitu. Nah di wayangnya ditampilkan gending Rebong, itu bagian petikan dari scene wayang kulit Bali. Itu yang bagian adegan sweet, romantis. Jadi, ditampilkan gending Rebong di gender wayang dan bahkan didemonstrasikan dengan sedikit adegan wayang,” ujar Gusti.
Baik Peni maupun Gusti merasa sangat gembira bisa pentas di berbagai lembaga pendidikan tinggi dan berkesempatan mempromosikan seni dan budaya Indonesia di banyak arena selama mereka mengikuti program kunjungan seniman di University of Richmond kali ini. Walapun program ini disponsori oleh universitas itu, acara pertunjukan juga diadakan di berbagai tempat di luar kampus, baik di kota Richmond sendiri, misalnya di Virginia Commonwealth University dan Gallery Five, maupun pertunjukan di Kota New York dan di Kampus HCC di Maryland kali ini. Peni menambahkan, “Semuanya sangat menyenangkan karena kami membawa kebudayaan Indonesia.”
Selain menjadi ajang promosi seni dan budaya Indonesia, Peni berpendapat bahwa pentas di luar negeri diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi anak-anak dari Gen-Z di tanah air.
Dia menambahkan, “Ya, ini tentu menjadi magnet yang menarik sekali untuk anak-anak muda yang ada di Indonesia karena mereka melihat bahwa seni tradisi diminati, di luar sana, di sini, di Amerika dan mempunyai ruang yang spesial bagi para pecinta musik, terutama musik-musik tradisi Indonesia. Dan itu saya rasa menjadi inspirasi pula bagi para pembelajar, mahasiswa, siswa-siswa yang sekolah di sekolah seni di Indonesia untuk melihat masa depan mereka, bahwa mereka sekolah seni itu tidak sekedar untuk pentas di acara-acara kawinan, tapi memiliki ruang yang memang khusus. Gamelan, karawitan, seni-seni Indonesia memiliki ruang yang didatangi dengan penuh kehormatan.”
Pendapat senada disampaikan oleh Gusti, yang menilai kehidupan kesenian tradisi di Bali sebenarnya sangat baik, tetapi hasilnya akan lebih baik lagi jika para seniman berprestasi bisa dimanfaatkan dalam diplomasi kebudayaan.
Dia menambahkan, “Kadang-kadang bagaimana mensinergikan ini bahwa pemerintah melakukan diplomasi kebudayaan lewat kesenian dan seni pertunjukan itu, sehingga seniman-seniman muda di seluruh Indonesia itu bisa tampil juga di luar. Satu, untuk memperkenalkan (budaya Indonesia), dua, untuk memberi mereka ruang untuk lebih berkreativitas… Kalau memang mau perkenalkan budaya Indonesia itu di luar. Nah, kami seniman ndak tahu itu. Yang tahu adalah pemerintah bagaimana caranya menggunakan ini.”
Peni setuju dengan pendapat itu, dan berharap pemerintah Indonesia mengadakan festival Indonesia di luar negeri yang menurutnya akan menjadi daya tarik bagi para peminat yang ingin tahu lebih dalam tentang seni Indonesia.
Sementara itu Andy memberikan contoh bagaimana Festival of Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1990-1991 berdampak begitu luas dan dalam bagi warga Amerika.
Dia mengungkapkan, “Kira-kira 30 tahun yang lalu ada Festival of Indonesia, dan dampaknya luar biasa. Guru saya terlibat dalam kegiatan itu, dan efeknya lama sekali. Tapi, karena ini hampir 30 tahun, pengetahuan atau consciousness (kesadaran) tentang budaya Indonesia sudah agak down (turun) sekarang, dan ironisnya ini mau anniversary (peringatan) 75 tahun hubungan diplomasi Indonesia-Amerika. Seharusnya ada festival baru lagi, dan itu menurut saya jalan yang paling irit, paling efektif untuk bikin jembatan di antara Amerika dan Indonesia.”
Mengakhiri pembicaraan dengan VOA, para seniman yang terlibat dalam pentas “Musik dan Tari dari Indonesia” di Horowitz Center di kampus Howard Community College merasa puas bahwa mereka dapat mempersembahkan contoh-contoh terbaik seni pertunjukan dari Indonesia meski dalam acara yang padat dan waktu yang singkat. Berdasarkan antusiasme yang ditunjukkan sepanjang pertunjukan, para penonton tentunya puas dan terhibur, dan diharapkan bahwa mereka pulang dengan apresiasi dan pemahaman lebih baik tentang Indonesia dengan beragam seni budayanya.
Kesuksesan pagelaran seni Indonesia ini berkat uluran tangan Joanna Pecore, Ph.D., Direktur Pusat Seni dan Budaya Asia (Asian Arts & Culture Center/AA&CC), sebuah lembaga yang berbasis di Towson University, di Towson, Maryland. Pusat ini sering menyelenggarakan segala jenis program dan pameran untuk mempromosikan seni dan budaya Asia untuk menciptakan pemahaman antar budaya yang berbeda.
Guru besar etnomusikologi yang juga musisi itu menjelaskan, “Ketika Dr. Meng dari Howard Community College memutuskan ingin melakukan sesuatu yang berbau Indonesia, dia menghubungi saya, dan dia menelepon saya, saya sangat gembira karena saya pikir ini saat yang tepat untuk bermitra di luar kampus Towson dan melakukan sesuatu di Howard County. Jadi, saya menawarkan diri untuk mencari grup tersebut, dan akhirnya saya menemukan kelompok Andy McGraw di Richmond. Jadi, pada dasarnya saya, organisasi kami, bermitra dengan Howard Community College untuk memproduksinya bersama.”
Joanna merasa gembira bahwa pentas itu diselenggarakan di HCC yang katanya memiliki segalanya dengan gedung konser indah. “Jadi itu adalah kemitraan. Kami melakukan semuanya bersama-sama, tapi pada dasarnya kami adalah sumber pencarian grup dan presentasi grup karena menurut saya ini adalah kesempatan spesial untuk rangkaian seri konser mereka,” katanya, seraya menambahkan kesempatan itu merupakan “cara yang sempurna untuk memenuhi misi kami.”
Sebagai seorang musisi dan ahli etnomusikologi, Joanna mengatakan selalu senang untuk berbagi musik Asia dan musik Indonesia dengan penonton
“Ketika kami melihat siapa yang datang dan betapa bersemangatnya orang-orang (penonton), itu merupakan kesuksesan besar dan bekerja sama dengan Howard Community College juga merupakan nilai tambah yang luar biasa. Itu merupakan pengalaman yang luar biasa. Jadi kami harap kami dapat melakukan hal seperti ini lagi,” tukas Joanna. [lt/em]
Forum