China adalah salah satu negara yang paling dulu menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden Vladimir Putin atas kemenangan telaknya dalam pemilu presiden, dan memuluskan jalan untuk memimpin kembali negara Beruang Merah itu untuk enam tahun ke depan.
"China mengucapkan selamat atas kemenangan Putin. China dan Rusia adalah negara bertetangga terbesar satu dan mitra strategis komprehensif pada era baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin, kami yakin bahwa hubungan China-Rusia akan terus berlanjut,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konperensi pers pada Senin (18/3) pagi.
Selang beberapa jam Presiden Xi Jinping menegaskan kembali ucapan selamat itu dengan mengatakan “terpilihnya kembali Putin sebagai presiden Rusia sepenuhnya mencerminkan dukungan rakyat Rusia untuknya.” Ditambahkannya, “Rusia pasti akan membuat pencapaian yang lebih besar dalam pembangunan dan konstruksi nasional di bawah kepemimpinan Putin.”
Presiden Belarus Alexander Lukashenko juga menyampaikan ucapan selamat serupa dan memuji penyelenggaraan pemilu yang menurutnya “sesuatu yang patut dipelajari” menjelang pemilu presiden di Belarus tahun depan. Lukashenko juga menyebut hasil pemilu di Rusia ini sebagai sinyal pada negara-negara Barat.
“Pemilu ini juga merupakan sinyal serius pada Barat, yang bertaruh untuk menggoyahkan Rusia dari dalam. Upaya dari luar tidak berhasil, mereka berupaya menggoyahkan dari dalam, yang ternyata juga tidak berhasil.”
Raih Lebih dari 87% Suara
Saat hampir 80% daerah pemilihan telah dihitung pada Senin (18/3), para pejabat pemilu mengatakan Putin telah meraih kemenangan telak, yaitu 87% suara. Ini merupakan perkembangan yang tidak mengejutkan, yang menggarisbawahi kontrol penuh pemimpin Rusia itu terhadap sistem politik negara tersebut.
Putin telah memimpin Rusia sebagai presiden atau perdana menteri sejak Desember 1999, sebuah masa jabatan yang ditandai dengan agresi militer internasional dan meningkatnya intoleransi terhadap perbedaan pendapat. Pada akhir masa jabatan kelimanya nanti, Putin akan menjadi pemimpin Rusia terlama sejak Yekaterina Agung, yang memerintah pada abad ke-18.
Berbicara di panggung kemenangannya bersama sejumlah relawan, Minggu malam, Putin menegaskan tidak ada yang bisa mengintimidasi rakyat Rusia, menekan kehendak dan kesadaran mereka.
"Tidak peduli siapapun dan bagaimanapun mereka ingin mengintimidasi kita, untuk menekan kehendak dan kesadaran kita, tidak ada yang pernah berhasil melakukannya. Seperti yang telah saya katakan, mereka tidak berhasil sekarang dan mereka tidak akan pernah berhasil pada masa depan.”
Tampik Kritik Negara-Negara Barat
Dalam kesempatan terpisah juru bicara Putin, Dmitry Peskov, menampik kritik Amerika terhadap pemilu presiden itu, dengan mengatakan “secara de facto Amerika sedang berperang dengan Rusia.”
"Mengingat secara de facto Amerika adalah negara yang terlibat, (ulangi) sangat terlibat dalam perang di Ukraina, dan negara yang, pada kenyataannya, secara de facto sedang berperang dengan kami. Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan penilaian lain dari Amerika. Meskipun, saya ulangi sekali lagi, kami sangat tidak setuju dengan mereka,” katanya.
Amerika bukan satu-satunya negara yang mengkritisi pemilu presiden Rusia ini. Berbicara di Tbilisi, Georgia, Sekjen NATO Jens Stoltenberg secara blak-blakan menyebut pemilu yang juga dilangsungkan di sebagian wilayah Georgia dan Ukraina
"Penyelenggaraan pemilu oleh Rusia di sebagian wilayah Georgia dan Ukraina yang didudukinya, sepenuhnya ilegal. Dan pemilihan presiden Rusia jelas tidak bebas dan tidak adil. Georgia menghadapi tantangan keamanan yang kompleks. Rusia terus mengejar ambisi kekaisarannya, sementara situasi di medan perang Ukraina tetap sulit. Jadi, sangat penting bagi kami untuk terus meningkatkan dukungan kami (pada Ukraina),” ujar Stoltenberg.
Stoltenberg berada di Tbilisi sebagai bagian dari lawatannya ke Kaukasus Selatan. Di Georgia, ia bertemu dengan Perdana Menteri Georgia, Irakli Kobakhidze, dan membahas masalah keamanan Laut Hitam serta penguatan kerja sama NATO dengan Georgia. Kobakhidze berterima kasih kepada Stoltenberg karena telah mendukung kedaulatan dan integritas teritorial Georgia. Sekjen NATO itu dijadwalkan melawat ke Armenia pada Selasa (19/3).
Hal senada disampaikan juru bicara Kanselir Jerman Olaf Scholz, Christina Hoffman.
"Kami menganggap apa yang disebut sebagai pemilu di Rusia akhir pekan lalu tidak bebas dan tidak adil... Rusia, seperti yang telah dikatakan oleh Kanselir Scholz, sekarang menjadi negara diktator yang diperintah oleh Vladimir Putin secara otoriter."
Pengamat: Tetap Ada Anti-Putin, Tapi Jumlahnya Tak Besar
Pengamat politik Rusia, Abbas Gallyamov, mengatakan hasil pemilu ini tidak menunjukkan bahwa semua warga Rusia mendukung Putin karena tetap ada mereka yang anti-Putin di TPS-TPS. Namun jumlahnya sangat kurang.
"… Kerumunan orang di TPS dan surat suara anti-Putin ini memang ada, tapi jumlahnya masih kurang dari setengahnya. Ketika mereka mencoba meniadakannya, seolah-olah tidak ada sama sekali, dan hasilnya digambarkan seolah-olah tidak ada surat suara (anti-Putin) atau kerumunan orang, maka hasil ini tidak ada artinya.”
Putin mengklaim selisih kemenangannya yang sangat besar itu merupakan bukti bahwa rakyat Rusia telah menaruh "kepercayaan" dan "harapan" kepadanya. [em/lt]
Forum