Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

Panas Ekstrem: Pembunuh Diam-diam akibat Perubahan Iklim

Para buruh tidur di pinggir jalan pada pagi hari musim panas yang terik di Karachi, Pakistan (29/5). Gelombang udara panas sedang melanda India dan Pakistan.
Para buruh tidur di pinggir jalan pada pagi hari musim panas yang terik di Karachi, Pakistan (29/5). Gelombang udara panas sedang melanda India dan Pakistan.

Hampir 62.000 orang meninggal karena stres yang berhubungan dengan panas pada musim panas 2022 di Eropa saja, dan, menurut sebuah studi baru oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, atau IPCC, "Dengan pemanasan global lebih jauh, kita bisa memperkirakan peningkatan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas."

Laporan yang diluncurkan menjelang Hari Aksi Panas pada hari Minggu, 2 Juni ini, mengkaji peran perubahan iklim dalam meningkatkan jumlah hari dengan suhu panas yang ekstrem di seluruh dunia selama 12 bulan terakhir.

"Apa yang sedang kita alami sekarang ini adalah pembunuh diam-diam namun makin sering terjadi, yaitu panas, terutama tahun lalu," ujar ahli iklim Friederike Otto, salah seorang pemimpin World Weather Attribution di Imperial College London dan salah seorang penulis laporan tersebut.

Berbicara dari London pada hari Selasa lalu, ia mengatakan kepada para jurnalis di Jenewa bahwa bulan Mei 2024 lebih panas daripada bulan Mei yang pernah dialami sebelumnya, begitu juga dengan bulan-bulan lainnya dalam 12 bulan terakhir.

"Setiap gelombang panas yang terjadi saat ini lebih panas dan berlangsung lebih lama daripada yang akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Hal ini terjadi tanpa adanya pembakaran batu bara, minyak dan gas, dan kita juga melihat lebih banyak gelombang panas dibandingkan sebelumnya," ujarnya, seraya menambahkan bahwa saat ini suhu udara di India dan Pakistan mencapai sekitar 50 derajat Celcius (122 derajat Fahrenheit).

Seorang pria tertidur di atas rickshaw (sejenis becak) miliknya di pinggir sebuah jalan pada hari musim panas yang terik di New Delhi, India.
Seorang pria tertidur di atas rickshaw (sejenis becak) miliknya di pinggir sebuah jalan pada hari musim panas yang terik di New Delhi, India.

Organisasi Meteorologi Dunia mengonfirmasi bahwa tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat, mencapai 1,45 derajat Celcius (2,6 derajat Fahrenheit) di atas rata-rata pra-industri, hampir mencapai Perjanjian Iklim Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.

Menurut laporan tersebut, rata-rata penduduk planet ini telah mengalami 26 hari yang sangat panas, "yang mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim." Atau dengan kata lain,

6,8 miliar orang -78 persen dari populasi dunia- telah mengalami setidaknya 31 hari dengan suhu panas yang ekstrem.

"Namun, tentu saja, kita bukan orang biasa. Kita tinggal di tempat tertentu, di negara tertentu," kata Otto.

"Misalnya tinggal di Ekuador, tidak 26 hari lebih melainkan 170 hari lebih. Artinya dalam 12 bulan terakhir orang-orang di ekuador mengalami 180 hari panas ektrik tanpa perubahan iklim hanya 10 hari, Jadi enam bulan panas ektrim dibandingkan 10 hari," tambahnya.

Dia mencatat bahwa panas ekstrem berbahaya dan bertanggung jawab atas ribuan kematian setiap tahun. Ia mengatakan, "Panas membahayakan orang-orang yang sangat rentan: orang tua, orang yang masih sangat muda, mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya" serta orang sehat yang terpapar suhu ekstrem, "seperti pekerja luar ruangan di bidang konstruksi atau pertanian dan orang-orang yang tinggal di kamp-kamp pengungsi."

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang mempublikasikan kumpulan makalah baru yang akan diterbitkan minggu ini di Journal of Global Health, mengatakan bahwa penelitian tersebut menunjukkan "risiko kesehatan terkait iklim sangat diremehkan" untuk orang yang lebih muda dan lebih tua dan selama kehamilan, "dengan implikasi yang serius dan sering kali mengancam nyawa."

Mengambil contoh panas yang ekstrem, WHO mengatakan bahwa para penulis mencatat bahwa kelahiran prematur - penyebab utama kematian anak - "meningkat selama gelombang panas, sementara orang yang lebih tua lebih mungkin menderita serangan jantung atau gangguan pernapasan."

Hari Aksi Panas, yang diselenggarakan oleh Pusat Iklim Bulan Sabit Merah Palang Merah, bertujuan untuk menarik perhatian pada ancaman panas ekstrem dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Dalam sebuah pernyataan untuk menandai Hari Aksi Panas, Jagan Chapagain, sekretaris jenderal Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, mengatakan, "Banjir dan angin topan mungkin menjadi berita utama, tetapi dampak dari panas ekstrem juga sama mematikannya.

"Itulah mengapa Hari Aksi Panas sangat penting," katanya."Kita perlu memusatkan perhatian pada perubahan iklim yang menjadi pembunuh diam-diam. IFRC menjadikan panas dan aksi perkotaan untuk mengurangi dampaknya sebagai prioritas."

Ahli iklim Otto mengatakan bahwa pembakaran bahan bakar fosil harus dihentikan untuk mencegah situasi menjadi lebih buruk.

"Panas membunuh. Tetapi tidak harus membunuh. Ada banyak solusi, beberapa di antaranya berbiaya rendah atau tanpa biaya, mulai dari tindakan individu hingga intervensi skala populasi yang mengurangi efek pulau panas perkotaan.

"Pada tingkat individu, orang dapat mendinginkan tubuh mereka dengan menyiramnya sendiri dengan air, menggunakan alat pendingin atau memodifikasi lingkungan mereka untuk meningkatkan keteduhan" di sekitar rumah mereka.

Namun, ia mengamati bahwa tindakan individu saja tidak cukup. Ia mengatakan bahwa tindakan harus dilakukan di tingkat komunitas, kota, regional dan negara.

"Kota-kota dapat mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi panas yang menguraikan bagaimana mereka akan mempersiapkan diri menghadapi musim panas, menanggapi gelombang panas yang akan datang, dan merencanakan masa depan. Dan dalam skala besar, kebijakan dapat diperkenalkan untuk memasukkan kebutuhan pendinginan ke dalam program perlindungan sosial, menambah biaya energi untuk yang paling rentan dan kode bangunan dapat diperbarui untuk mendorong perumahan yang lebih baik," kata Friederike Otto. [my/jm]

See all News Updates of the Day

Sedikitnya 14 Tewas Akibat Banjir di Bosnia

Kendaraan terendam banjir setelah hujan lebat mengguyur kota Kiseljak, sekitar dua puluh kilometer sebelah barat Sarajevo, 4 Oktober 2024.
Kendaraan terendam banjir setelah hujan lebat mengguyur kota Kiseljak, sekitar dua puluh kilometer sebelah barat Sarajevo, 4 Oktober 2024.

Jablanica, sekitar 70 kilometer (43 mil) barat daya Sarajevo, terdampak paling parah akibat hujan lebat selama 24 jam, yang memutusnya dari dunia luar.

Pihak berwenang mengatakan hujan deras yang membanjiri kota-kota dan memicu tanah longsor, menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas di Bosnia pada Jumat (4/10).

Jablanica, sekitar 70 kilometer (43 mil) barat daya Sarajevo, tampaknya terdampak paling parah akibat hujan lebat selama 24 jam, yang memutusnya dari dunia luar.

Media setempat menunjukkan foto-foto tanah longsor mencapai atap rumah-rumah dan foto sebuah masjid yang hanya terlihat menaranya yang mencuat di wilayah Jablanica.

"Hingga saat ini, telah ditemukan 14 mayat korban" di wilayah Jablanica, kata juru bicara Darko Jukan kepada AFP, seraya menambahkan bahwa jumlah korban kemungkinan akan bertambah.

"Saat ini tidak ada yang dapat masuk atau keluar" Jablanica, kata layanan penyelamatan kota di kawasan gunung yang berpenduduk sekitar 4.000 orang tersebut.

Sejumlah orang dari daerah tersebut dilaporkan hilang, kata pihak berwenang. Beberapa yang terluka dievakuasi dengan helikopter pasukan penjaga perdamaian Uni Eropa (EUFOR).

Pada tengah hari Jumat, situasi paling kritis terjadi di desa Donja Jablanica yang masih terputus, kata juru bicara tersebut.

Beberapa jalan dan jembatan di wilayah tersebut ambruk, katanya.

Di Kiseljak, sekitar 20 kilometer sebelah barat Sarajevo, rumah, kebun, dan mobil terendam air, seorang wartawan AFP melaporkan.

Sebagian besar penduduk Bosnia berisiko terkena banjir besar dan tanah longsor, kata badan perlindungan sipil federal dalam sebuah pernyataan.

Petugas pemadam kebakaran, polisi, dan perusahaan utilitas bekerja di daerah yang terkena dampak. Badan perlindungan sipil federal memperingatkan, perlu lebih banyak bantuan untuk mengurangi konsekuensi badai dan hujan.

Perdana Menteri Bosnia yang berdarah campuran Muslim-Kroasia, Nermin Niksic menulis di platform media sosial X bahwa situasinya "sangat serius karena banyak warga masih terjebak di rumah mereka".

Di negara tetangga Kroasia, otoritas cuaca mengeluarkan peringatan untuk wilayah pantai Adriatik utara, semenanjung Istria, dan bagian tengah negara tersebut yang dilanda hujan lebat.

Dalam sebuah pernyataan, disebutkan bahwa banjir diperkirakan akan melanda perkotaan, mengakibatkan gangguan lalu lintas, komunikasi, listrik, dan pasokan air.

Ilmuwan memperingatkan bahwa perubahan iklim memperburuk dampak peristiwa cuaca ekstrem.

Hujan deras dan angin kencang telah menyebabkan banjir yang meluas di Eropa tengah dan timur bulan lalu, menewaskan sedikitnya 24 orang dan menghancurkan perkotaan serta desa-desa di wilayah tersebut. [es/ft]

Migrasi Iklim Suku Asli akibat Lelehnya "Permafrost" di Alaska

Migrasi Iklim Suku Asli akibat Lelehnya "Permafrost" di Alaska
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:54 0:00

Amerika Serikat tak luput dari fenomena migrasi iklim, dan salah satunya terjadi di negara bagian Alaska yang identik dengan suhu udara beku. Perubahan iklim memperparah erosi di sebagian wilayah pesisir, memaksa warga dari suku asli untuk pindah ke wilayah lebih aman.

Pakar: Hutan Amazon Terancam Hilang Sepenuhnya Akibat Karhutla 

Sejumlah area dari hutan Amazon yang terdampak oleh kebakaran hutan di wilayah Ucayali, Peru, dalam foto yang diambil dari udara pada 17 September 2024. (Foto: AFP/Hugo La Rosa)
Sejumlah area dari hutan Amazon yang terdampak oleh kebakaran hutan di wilayah Ucayali, Peru, dalam foto yang diambil dari udara pada 17 September 2024. (Foto: AFP/Hugo La Rosa)

Setahun yang lalu, Carlos Nobre, salah satu ilmuwan iklim terkemuka Brazil, menjadi satu dari sedikit orang yang menyuarakan optimisme mengenai masa depan planet Bumi.

Salah satu pakar hutan hujan Amazon berusia 73 tahun itu memuji fakta bahwa “untuk pertama kalinya, seluruh pemimpin di kawasan ini bergerak untuk menemukan solusi bagi hutan ini” pada sebuah konferensi tingkat tinggi di Brazil utara.

Akan tetapi, kini, ia memperingatkan bahwa hutan terbesar di dunia, yang dilalap kebakaran hutan terburuk akibat kekeringan dalam puluhan tahun terakhir, berada dalam bahaya eksistensial.

Planet Bumi terancam “kehilangan hutan Amazon,” ujarnya dalam wawancara dengan kantor berita AFP.

Gelombang kebakaran hutan yang mencetak rekor dan dipicu oleh kekeringan parah, yang tak lepas dari pengaruh perubahan iklim dan penggundulan hutan, menyebabkan malapetaka di seluruh Amerika Selatan.

Kekeringan terburuk di Brazil dalam beberapa puluh tahun terakhir telah mengakibatkan kebakaran hutan terbesar dalam lebih dari satu dekade terakhir, dan menyebabkan 80 persen wilayah Brazil diselimuti asap.

Meskipun beberapa negara, termasuk Kanada, secara rutin menghadapi kebakaran hutan dahsyat, bencana di negara-negara tersebut seringkali disebabkan oleh sambaran petir alami yang dengan cepat merembetkan api di tengah vegetasi yang kering, kata Nobre.

Sedangkan di Amazon, sebagian besar kebakaran dipicu oleh aktivitas ilegal manusia untuk kepentingan pertanian.

“Para penjahat itu sadar bahwa satelit hanya akan mendeteksi kebakaran saat api menyebar hingga luasan 30 atau 40 meter persegi."

“Ini memberi mereka waktu untuk kabur dari lokasi sebelum ditangkap,” tambahnya.

Tidak linear

Februari lalu, pemantau iklim Eropa Copernicus mengumumkan bahwa untuk pertama kalinya dalam catatan, suhu bumi selama 12 bulan berturut-turut berada pada tingkat 1,5 derajat Celsius lebih panas daripada era praindustri. Hal itu empat tahun lebih awal daripada prediksi semula.

Pemandangan kebakaran hutan Amazon dari wilayah perkebunan terdekat di Labrea, negara bagian Amazonas, Brazil, pada 4 September 2024. (Foto: Reuters/Bruno Kelly)
Pemandangan kebakaran hutan Amazon dari wilayah perkebunan terdekat di Labrea, negara bagian Amazonas, Brazil, pada 4 September 2024. (Foto: Reuters/Bruno Kelly)

Para pakar telah memperingatkan peristiwa cuaca ekstrem akan sangat meningkat tajam saat suhu Bumi sudah 1,5 derajat Celsius lebih hangat daripada era praindustri.

“Peningkatannya tidak lambat dan linear,” kata Nobre.

“Pada tahun 2024, kita sudah melihat betapa frekuensi fenomena ekstrem menjadi semakin sering terjadi dan memecahkan rekor,” imbuhnya, sambil menambahkan bahwa peningkatan “gelombang panas, hujan lebat, kekeringan dan kebakaran hutan” merupakan contoh-contoh peristiwa cuaca ekstrem yang telah semakin sering terjadi di beberapa wilayah di Bumi.

Dari hutan menjadi sabana?

Nobre memperingatkan bahwa kebakaran yang menghabiskan sebagian besar hutan Amazon berisiko mempercepat transisinya menjadi padang rumput sabana kering.

“Jika pemanasan global berlanjut dan kita tidak menghentikan sepenuhnya penggundulan, degradasi dan kebakaran hutan, maka pada tahun 2050 kita akan melewati titik di mana kita tidak bisa memulihkan itu semua,” ia memperingatkan.

“Dalam 30 hingga 50 tahun, kita akan kehilangan sedikitnya 50 persen wilayah hutan,” ungkapnya.

Peningkatan suhu hingga 2,5 derajat Celsius pada tahun 2050 akan memicu titik kritis baru, jelasnya, termasuk “kehilangan hutan Amazon” sepenuhnya.

Beberapa langkah yang ia kampanyekan untuk mengurangi pemanasan iklim adalah dengan mempercepat transisi ke energi terbarukan dan penanaman massal pepohonan di kota-kota untuk berperan sebagai spons yang menyerap karbon dioksida.

Pepohonan dapat membantu menurunkan suhu perkotaan hingga 4,5 derajat Celsius dan juga meningkatkan kelembapan.

“Spons perkotaan merupakan solusi yang sangat penting di seluruh dunia.” [rd/uh]

Somalia Larang Kantong Plastik Untuk Perangi Polusi 

Warga tampak mengais pada tumpukan sampah di tempat pembuangan sampah Wadajir di Mogadishu, Somalia, pada 2 Juni 2018. (Foto: AFP/Mohamed Abdiwahab)
Warga tampak mengais pada tumpukan sampah di tempat pembuangan sampah Wadajir di Mogadishu, Somalia, pada 2 Juni 2018. (Foto: AFP/Mohamed Abdiwahab)

Somalia pada Selasa (1/10) memberlakukan larangan kantong plastik sekali pakai yang sudah lama tertunda untuk mengatasi masalah polusi. Negara itu menjadi negara Afrika terbaru yang berusaha membendung gelombang sampah yang tidak dapat terurai secara alami itu.

Undang-undang baru yang pertama kali diumumkan pada Februari lalu itu melarang kegiatan impor, produksi, penjualan dan penggunaan kantong plastik, yang biasanya berakhir menjadi sampah atau tertimbun di tempat pembuangan akhir.

Pegiat lingkungan dan warga ibu kota Mogadishu menyambut baik larangan yang mereka sebut sudah lama tertunda itu.

“Ini tepat waktu dan merupakan keputusan pemerintah yang sangat baik,” kata Mohamed Gure, yang tinggal di dekat Pasar Bakara, pasar utama kota itu.

Aktivis lingkungan Osman Yusuf mengatakan negara itu sebelumnya sangat bergantung pada kantong plastik, di mana industrinya bernilai lebih dari $50 juta (sekitar Rp763 miliar).

“Tidak ada lagi pembenaran yang tersisa bagi orang untuk terus menggunakan bahan yang mematikan ini,” kata Yusuf.

Akan tetapi, beberapa pihak lain khawatir akan minimnya alternatif yang ramah lingkungan.

“Kami tidak keberatan kantong plastik dilarang, tapi kami butuh waktu dan penggantinya,” kata Lul Mohamed, seorang pemilik toko.

Somalia menyusul negara-negara Afrika lain, termasuk negara tetangganya, Kenya dan Tanzania, yang telah lebih dulu melarang kantong plastik sekali pakai.

Kenya memberlakukan salah satu larangan kantong plastik paling ketat di dunia mulai tahun 2017, di mana warga yang menggunakan kantong plastik akan dikenai denda atau bahkan hukuman penjara.

Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan bahwa plastik dalam jumlah yang setara dengan 2.000 truk sampah dibuang ke laut, sungai dan danau setiap harinya.

Toko Isi Ulang: Atasi Masalah Kemasan Plastik Sekali Pakai
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:59 0:00

Setiap tahun, 19 juta hingga 23 juta ton sampah plastik bocor ke ekosistem perairan dunia, menurut UNEP.

Larangan di Somalia mulai berlaku di kala para perunding menyelesaikan sebuah pertemuan di Nairobi pada hari Senin (30/9), dengan harapan dapat mencapai kesepakatan pertama di dunia mengenai polusi plastik.

Kesepakatan itu bertujuan untuk menyusun tanggapan internasional terhadap sampah plastik yang mengancam lingkungan, dari lautan dan sungai hingga pegunungan dan es laut, serta masuknya limbah tersebut ke rantai makanan karena tertelan oleh hewan.

Negara-negara di dunia ditekan untuk menemukan titik temu sebelum negosiasi terakhir diadakan bulan Desember nanti di Korea Selatan. [rd/uh]

Indonesia Perkuat Aliansi Dana Iklim Negara Berkembang

Indonesia Perkuat Aliansi Dana Iklim Negara Berkembang
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:05 0:00

Perubahan iklim menjadi salah satu topik utama saat para pemimpin dunia berkumpul dalam Sidang Majelis Umum PBB. Namun untuk mengatasinya, negara-negara berkembang membutuhkan uang yang sangat besar. Indonesia pun turut andil dengan membentuk aliansi pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang.

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG