Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan publik pertama pada pertengahan Juni mengenai situasi hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara, di saat Korea Selatan menduduki jabatan presiden bergilir di dewan tersebut.
“Beberapa negara memiliki keberatan mengenai isu-isu HAM yang dibahas di Dewan Keamanan,” kata Duta Besar Korea Selatan Hwang Joon-kook saat mengumumkan sesi tersebut pada hari Senin (3/6). “Kami tahu logika mereka.”
Sejumlah negara, termasuk Rusia dan China, menentang berbagai isu HAM dibahas di dewan beranggotakan 15 negara itu, yang ditugaskan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Kedua negara itu, bersama dengan negara-negara lain yang berpikiran sama, berpendapat bahwa isu HAM seharusnya ditangani dalam forum PBB yang telah ditentukan, seperti Dewan HAM yang berbasis di Jenewa, atau komite Majelis Umum yang menangani isu HAM.
Para negara anggota Dewan Keamanan bisa mengajukan pemungutan suara secara prosedural untuk mencoba memblokir pertemuan tersebut, dalam hal ini setidaknya sembilan dari 15 anggota dewan perlu mendukung sesi tersebut.
Hwang mengatakan kepada para wartawan dalam konferensi pers peluncuran masa jabatannya pada bulan Juni bahwa tidak seperti negara lain, situasi HAM Korea Utara merupakan bagian dari agenda resmi dewan tersebut.
“Hal ini unik di Korea Utara, dan ada beberapa alasan yang bagus untuk itu,” katanya. “Situasi HAM dan kemanusiaan RRDK sangat terkait erat dengan persenjataan agresif Korea Utara – pengembangan senjata pemusnah massal dan nuklirnya yang agresif.”
RRDK adalah singkatan untuk nama resmi Korea Utara, Republik Rakyat Demokratik Korea.
Dewan Keamanan PBB terakhir kali diberi penjelasan terbuka tentang persoalan tersebut pada 17 Agustus 2023 oleh Ketua HAM PBB Volker Turk, yang mengatakan bahwa banyak pelanggaran HAM Korea Utara telah meningkat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan mencakup pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, serta penghilangan paksa, di antara kejahatan-kejatahan lainnya.
Hubungan antara Seoul dan Pyongyang telah memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan bahwa ia telah menyerah untuk melakukan reunifikasi dengan Korea Selatan, lalu menetapkan negara itu sebagai musuh asing. Dia juga telah mengabadikan program nuklir terlarang negara tersebut ke dalam konstitusinya.
Washington mengatakan Korea Utara memajukan program senjata terlarangnya “pada tingkat yang mengkhawatirkan” dan telah meluncurkan lebih dari 100 rudal balistik sejak awal 2022.
Dalam satu tindakan yang lebih aneh, pekan lalu Pyongyang mengirim balon berisi sampah dan tinja ke langit di atas Korea Selatan, menjatuhkannya di jalanan yang padat.
Merasa muak, Korea Selatan mengatakan pada hari Senin (3/6) bahwa mereka akan sepenuhnya menangguhkan perjanjian militer tahun 2018 dengan Korea Utara yang bertujuan untuk menurunkan ketegangan. Seoul menangguhkan sebagian perjanjian tersebut pada November lalu untuk memprotes peluncuran satelit mata-mata Korea Utara. [th/rs]
Forum