Isu Iklim
- Associated Press
Perkemahan Musim Panas di AS Beradaptasi dengan Gelombang Panas yang Lebih Sering Terjadi
Gelombang panas pertama musim ini terjadi di berbagai penjuru AS. Perkemahan-perkemahan musim panas berupaya untuk menjaga agar para pesertanya tetap merasa sejuk meski berada di alam terbuka dan menghadapi sengatan sinar matahari.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim berarti peningkatan panas. Para pengelola kamp-kamp musim panas menyadari itu, dan berusaha melakukan sejumlah perubahan di bumi-bumi perkemahan di mana kegiatan itu digelar.
Apalagi, mereka juga tahu bahwa anak-anak, yang biasanya menjadi peserta kamp-kamp musim panas, lebih rentan terhadap panas ekstrem dibandingkan dengan orang dewasa.
Di Kamp Kern di Oregonia, Ohio, para peserta dan konselor perkemahan dapat menyejukkan diri dengan waktu tambahan di kolam renang dan danau, kabin ber-AC, dan tempat permainan air baru. Kegiatan ini sangat dianjurkan mengingat suhu kerap di atas 50 derajat Celsius pada siang hari, atau sekitar 33 derajat Celsius setelah Matahari terbenam.
"Kami selalu mencari cara untuk menjaga anak-anak tetap aman. Jadi salah satu hal yang penting adalah mengatasi panas dan apa pun perubahan lingkungannya. Saya, misalnya, menganjurkan anak-anak agar menggunakan tabir surya, dan terus mendapat asupan air," ujar Todd Brinkman, Direktur Eksekutif Kamp Kern.
Brinkman mengatakan kamp-kamp musim panas adalah cara terbaik bagi anak-anak untuk mengembangkan keterampilan sosial, belajar di luar kelas, dan terhubung dengan alam. Namun, katanya, menjalankan program-program seperti itu menjadi semakin sulit dan mahal.
Untuk mengantisipasi risiko-risiko yang muncul, para pengelola harus bisa memastikan agar anak-anak mendapatkan akses yang memadai ke sumber air dan alat pendingin ruangan, dan itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Alison Tothy, dokter anak di unit gawat darurat Rumah Sakit Anak Universitas Chicago, memahami itu. Namun, ia menegaskan, kebutuhan seperti itu tidak boleh diabaikan.
“Sering kali anak-anak itu sangat aktif dan terus-menerus berlarian. Banyak dari mereka yang tidak beristirahat. Penting bagi kita sebagai orang dewasa yang mengawasi mereka untuk memastikan bahwa mereka menyempatkan diri untuk beristirahat dan menyejukkan diri. Anda tahu, banyak anak-anak yang tak tahu kapan harus berhenti. Jika ada banyak kegiatan, mereka ingin mengikuti semuanya. Ini perlu dicegah," ujarnya.
Panas ekstrem sangat berisiko. Pada tahun 2011, misalnya, belasan pramuka putri dirawat karena penyakit yang berhubungan dengan panas di sebuah kamp di Connecticut.
Pada tahun 2015, dua anak dirawat di rumah sakit karena kelelahan akibat panas di perkemahan musim panas Florida.
Seorang pramuka berusia 15 tahun meninggal di Texas pada tahun 2017 setelah pingsan karena serangan panas saat melakukan pendakian kelompok untuk mendapatkan lencana prestasi berkemah.
Menurut Institut Pertumbuhan Ekonomi Universitas Michigan, AS memiliki lebih dari 20.000 kamp yang beroperasi dan melayani sekitar 26 juta orang setiap tahunnya. [ab/uh]
See all News Updates of the Day
- Associated Press
Sekjen PBB: “Kegagalan Bukan Pilihan” dalam Mengatasi Perubahan Iklim
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres pada hari Minggu (17/11) menyerukan “kepemimpinan melalui pemberian contoh” dari negara-negara G20, dengan menyatakan bahwa “kegagalan bukanlah sebuah pilihan” dalam mengatasi perubahan iklim.
Guterres berbicara dalam konferensi pers di Rio de Janeiro, pada malam menjelang KTT G20 yang akan berlangsung pada hari Senin (18/11) dan Selasa (19/11).
Guterres juga menegaskan kembali perlunya mengupayakan perdamaian untuk krisis-krisis seperti di Gaza, Lebanon, Sudan, dan Ukraina.
Brazil menjadi tuan rumah pertemuan puncak Kelompok 20 di Rio de Janeiro, di tengah-tengah dua perang besar dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS.
Meningkatnya ketegangan global dan ketidakpastian mengenai pemerintahan Trump yang akan datang telah meredam ekspektasi akan adanya pernyataan yang tegas mengenai konflik di Timur Tengah, dan konflik Rusia-Ukraina. [em/jm]
- Patsy Widakuswara
Di Jantung Amazon, Presiden AS Umumkan “Warisan” Iklim
Presiden Amerika Joe Biden memulai lawatan bersejarah ke Brasil pada hari Minggu (17/11), menjadi presiden AS pertama yang mengunjungi hutan hujan Amazon untuk menandai apa yang disebut Gedung Putih sebagai “warisannya” dalam memerangi perubahan iklim, dengan mengaitkannya dengan perlombaan ekonomi antarnegara untuk “memanfaatkan revolusi energi bersih.”
Biden mendarat di Manaus, ibu kota negara bagian Amazonas, pintu masuk ke hutan terbesar di dunia. Biden mengatakan bahwa di bawah pemerintahannya, AS telah melampaui target untuk menyediakan dana sebesar US$11 miliar per tahun untuk pendanaan iklim internasional pada tahun 2024. Ini merupakan komponen penting dalam perang melawan perubahan iklim yang dilobi oleh negara-negara Global South (negara-negara berkembang).
“Perjuangan untuk melindungi planet kita secara harfiah adalah perjuangan kemanusiaan untuk generasi yang akan datang. Ini mungkin satu-satunya ancaman eksistensial bagi semua negara dan seluruh umat manusia,” ujar Biden.
Vegetasi hijau yang rimbun di sebuah cagar alam dan “museum hidup” di Manaus yang menunjukkan kekayaan hutan hujan Amazon dan keanekaragaman hayatinya, menjadi latar belakang Biden saat menyampaikan pidatonya.
Biden Umumkan US$50 Juta untuk 'Dana Amazon'
Dalam kunjungan singkatnya ke Manaus – yang berlangsung di antara KTT APEC di Lima, Peru, dan KTT G-20 negara ekonomi terbesar di Rio de Janeiro, Brazil – Biden mengumumkan investasi AS dalam beberapa inisiatif iklim, termasuk US$50 juta untuk Amazon Fund (“Dana Amazon”).
Biden melangsungkan pertemuan dengan sejumlah pemimpin masyarakat adat, dan berkeliling hutan Amazon dengan helikopter.
Gedung Putih mengatakan selama penerbangan, Biden melihat pertemuan Rio Negro dan Sungai Amazon, serta kerusakan akibat erosi pantai dan kebakaran hutan. Mayoritas kebakaran di Amazon terkait dengan deforestasi.
Ditambahkan, dalam empat tahun terakhir, pemerintahan Biden telah “menciptakan pedoman baru yang berani, yang telah mengubah penanganan krisis iklim menjadi peluang ekonomi yang sangat besar, baik di dalam maupun di luar AS.”
Kekhawatiran akan Kebijakan Iklim Pemerintahan Trump
Beberapa sumber diplomatik di APEC dan G20, yang berbicara pada VOA dengan syarat tidak disebutkan namanya untuk membahas masalah yang secara diplomatik sensitif ini, menyampaikan keprihatinan mereka bahwa upaya-upaya AS dalam isu lingkungan ini akan berkurang secara dramatis di bawah pemerintahan presiden terpilih Donald Trump, yang akan dilantik pada bulan Januari.
Pada masa pemerintahan sebelumnya, Trump telah membuat para aktivis iklim terkejut ketika ia menarik AS keluar dari Kesepakatan Iklim Paris, forum multilateral utama dunia untuk memitigasi perubahan iklim. Ia berulang kali menyebut perubahan iklim sebagai “tipuan.”
Dengan sisa dua bulan masa pemerintahannya, Biden mengatakan ia meninggalkan “fondasi yang kuat untuk dibangun oleh penggantinya dan negara ini, jika mereka memilih untuk melakukannya.”
“Memang benar, beberapa pihak mungkin berusaha untuk menolak atau menunda revolusi energi bersih yang sedang berlangsung di Amerika, namun tidak ada seorang pun yang dapat membalikkan keadaan,” ujar Biden, menggarisbawahi bahwa dorongan terhadap energi bersih mendapat dukungan bipartisan, dan negara-negara lain memanfaatkannya untuk kemajuan ekonomi mereka.
“Pertanyaannya sekarang adalah, pemerintah mana yang akan menghalangi, dan mana yang akan memanfaatkan peluang ekonomi yang sangat besar,” katanya. Pernyataan ini tampaknya merujuk pada persaingan AS-China pada masa depan dalam hal energi bersih, di bawah pemerintahan Trump kelak.
Pernyataan Biden ini disampaikan sehari setelah pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Lima-Peru, yang kemungkinan merupakan pertemuan terakhir mereka dalam kapasitas Biden sebagai presiden.
China saat ini adalah pemimpin dunia dalam kendaraan listrik, atau EV, yang menyumbang lebih dari separuh produksi dan ekspor global.
Sementara itu, Trump dilaporkan sedang mencoba untuk membatalkan kredit pajak pembelian EV sebesar US$7.500 untuk konsumen AS, yang merupakan bagian dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi tahun 2022, undang-undang yang ditandatangani oleh Biden tentang energi bersih dan perubahan iklim. [em/lt]
Gedung Putih: Pendanaan Iklim Amerika Tahun Ini Capai $11 Miliar
Pengumuman Gedung Putih mengenai angka $11 miliar tersebut menyatakan bahwa angka tersebut menjadikan “Amerika Serikat sebagai penyedia dana iklim bilateral terbesar di dunia.”
Presiden Joe Biden menggunakan perjalanan bersejarah ke Amazon pada Minggu (17/11) untuk menyoroti peningkatan pendanaan iklim bilateral Amerika Serikat menjadi $11 miliar pada tahun ini, sesuai janjinya.
“Perjuangan melawan perubahan iklim telah menjadi tujuan utama kepemimpinan dan kepresidenan Presiden Biden,” ujar Gedung Putih dalam sebuah pernyataan sebelum Biden mendarat di Kota Manaus, Amazon, Brazil.
Biden melakukan lawatan terakhirnya ke Amerika Selatan sebelum menyerahkan jabatan presiden kepada Donald Trump - seorang yang skeptis terhadap perubahan iklim.
Sebagai presiden Amerika Serikat pertama yang berkunjung ke hutan hujan tropis yang luas, Biden akan bertemu dengan para pemimpin masyarakat adat Brazil dan menandatangani deklarasi yang menjadikan 17 November sebagai Hari Konservasi Internasional.
Pengumuman Gedung Putih mengenai angka $11 miliar tersebut menyatakan bahwa angka tersebut menjadikan “Amerika Serikat sebagai penyedia dana iklim bilateral terbesar di dunia.”
Pengumuman itu juga mengatakan bahwa jumlah tersebut enam kali lipat lebih besar dari yang diberikan Amerika pada awal masa jabatan Biden, yaitu pada 2021.
Namun, Uni Eropa tetap menjadi kontributor global terbesar untuk pendanaan iklim.
Sekitar separuh dari seluruh pendanaan iklim disalurkan melalui dana multilateral yang dikelola bersama oleh negara-negara berkembang. Hal ini memicu kecaman terhadap preferensi Amerika terhadap pendanaan bilateral.
Negara-negara kaya telah mengumpulkan dana sebesar $116 miliar pada tahun 2022 untuk pendanaan iklim, menurut data terbaru yang tersedia dari OECD.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh lembagakajian Inggris, ODI, Amerika Serikat berada di peringkat kedua dari belakang di antara 23 negara dalam hal kemajuan untuk menyediakan “bagian yang adil” dari pendanaan iklim, berdasarkan jejak karbon, jumlah penduduk, dan pendapatan nasional bruto.
Lawatan Biden ke Amazon dilakukan di sela-sela KTT APEC yang ia hadiri di Peru, dan KTT G20 di Rio de Janeiro yang dihadirinya dan dimulai pada Senin (17/11).
Iklim akan menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan G20, saat perundingan yang berlangsung pada saat yang sama, di KTT Iklim PBB di Azerbaijan tampaknya mengalami kebuntuan. [my/ab]
Peneliti Amerika: Seperlima Kasus Dengeu Disebabkan Perubahan Iklim
Menghubungkan bagaimana pemanasan global mempengaruhi kesehatan – seperti memicu wabah atau menyebarkan penyakit – masih merupakan bidang baru.
Para peneliti Amerika mengatakan, Sabtu (16/11), bahwa perubahan iklim bertanggung jawab atas hampir seperlima dari rekor jumlah kasus demam berdarah atau dengue di seluruh dunia pada tahun ini. Mereka berupaya menjelaskan bagaimana kenaikan suhu membantu menyebarkan penyakit.
Para peneliti telah berupaya untuk menunjukkan bagaimana perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia berkontribusi langsung terhadap peristiwa cuaca ekstrem seperti angin topan, kebakaran, kekeringan, dan banjir yang melanda dunia pada tahun ini.
Namun menghubungkan bagaimana pemanasan global mempengaruhi kesehatan – seperti memicu wabah atau menyebarkan penyakit – masih merupakan bidang baru.
“Demam berdarah adalah penyakit pertama yang baik untuk dijadikan fokus karena sangat sensitif terhadap iklim,” kata Erin Mordecai, ahli ekologi penyakit menular di Universitas Stanford, kepada AFP.
Penyakit virus itu, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, menyebabkan demam dan nyeri tubuh serta, dalam beberapa kasus, dapat mematikan.
Demam dengue biasanya hanya terjadi di daerah tropis dan subtropis, tetapi peningkatan suhu telah menyebabkan nyamuk merambah daerah baru dan membawa serta demam dengue.
Untuk studi baru itu, yang belum ditelaah oleh rekan sejawat, tim peneliti Amerika mengamati bagaimana suhu yang lebih panas dikaitkan dengan infeksi demam berdarah di 21 negara di Asia dan Amerika.
Rata-rata, sekitar 19 persen kasus demam berdarah saat ini di seluruh dunia “disebabkan oleh pemanasan iklim yang telah terjadi,” kata Mordecai, penulis senior untuk studi pra-cetak tersebut.
Mordecai mengatakan suhu antara 20-29 derajat Celcius (68-84 derajat Fahrenheit) ideal untuk penyebaran demam berdarah.
Para peneliti menemukan bahwa daerah dataran tinggi di Peru, Meksiko, Bolivia, dan Brazil yang akan menghangat hingga kisaran suhu ini dapat mengalami peningkatan kasus demam dengue sebanyak 200 persen dalam 25 tahun ke depan.
Analisis tersebut memperkirakan setidaknya 257 juta orang saat ini tinggal di wilayah di mana pemanasan global dapat melipatgandakan angka demam dengue selama periode tersebut.
Bahaya ini hanyalah “alasan lain mengapa Anda harus peduli terhadap perubahan iklim,” kata Mordecai.
Menurut angka Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) lebih dari 12,7 juta kasus demam dengue tercatat di seluruh dunia pada tahun ini pada September, hampir dua kali lipat rekor total pada 2023.
Namun Mordecai mengatakan, banyaknya laporan yang tidak dilaporkan berarti jumlah sebenarnya kemungkinan mendekati 100 juta.
Penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Society of Tropical Medicine and Hygiene di Kota New Orleans, negara bagian Louisiana, Amerika Serikat. [ft/ah]
- Associated Press
Shanghai, Tokyo, New York, Houston Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar di Dunia
Kota-kota di Asia dan Amerika Serikat mengeluarkan gas yang paling memerangkap panas yang memicu perubahan iklim, dan Shanghai sebagai kota paling berpolusi, menurut data baru yang menggabungkan pengamatan dan kecerdasan buatan.
Tujuh negara bagian atau provinsi mengeluarkan lebih dari 1 miliar metrik ton gas rumah kaca, semuanya di China, kecuali Texas, yang berada di peringkat keenam, menurut data baru dari sebuah organisasi yang didirikan bersama oleh mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore dan dirilis pada Jumat (15/11)di perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Baku, Azerbaijan.
Negara-negara di perundingan tersebut mencoba menetapkan target baru untuk memangkas emisi tersebut dan mencari tahu berapa banyak negara kaya akan membayar untuk membantu dunia dengan tugas itu.
Dengan menggunakan satelit dan pengamatan darat, yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan untuk mengisi kekosongan, Climate Trace berupaya mengukur karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida yang memerangkap panas, serta polutan udara tradisional lainnya di seluruh dunia, termasuk untuk pertama kalinya di lebih dari 9.000 wilayah perkotaan.
Total polusi karbon dioksida dan metana di Bumi meningkat 0,7 persen menjadi 61,2 miliar metrik ton dengan metana yang berumur pendek tetapi sangat kuat meningkat 0,2 persen. Angka-angka tersebut lebih tinggi daripada kumpulan data lainnya "karena kami memiliki cakupan yang sangat komprehensif dan kami telah mengamati lebih banyak emisi di lebih banyak sektor daripada yang biasanya tersedia," kata Gavin McCormick, salah satu pendiri Climate Trace.
Banyak kota besar yang mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada beberapa negara
Gas rumah kaca Shanghai mencapai 256 juta ton mengungguli semua kota dan melampaui negara-negara Kolombia atau Norwegia. 250 juta metrik ton Tokyo akan berada di peringkat 40 negara teratas jika kota itu adalah sebuah negara, sementara 160 juta metrik ton Kota New York dan 150 juta metrik ton Houston akan berada di peringkat 50 teratas emisi di seluruh negeri. Seoul, Korea Selatan, berada di peringkat kelima di antara kota-kota dengan 142 juta metrik ton.
"Salah satu lokasi di Cekungan Permian di Texas sejauh ini merupakan lokasi dengan polusi terburuk No. 1 di seluruh dunia," kata Gore. "Dan mungkin saya seharusnya tidak terkejut dengan hal itu, tetapi saya memikirkan betapa kotornya beberapa lokasi ini di Rusia dan Cina dan sebagainya. Namun Cekungan Permian mengalahkan semuanya."
Dalam hal negara bagian dan provinsi, tujuh di antaranya mengeluarkan lebih dari 1 miliar metrik ton polusi karbon. Shandong, China memimpin dengan 1,28 miliar metrik ton. Kota-kota yang menghasikan polusi miliaran ton lainnya adalah Hebei, Shanxi, Mongolia Dalam, Jiangsu, dan Guangdong, semuanya di China, dan Texas.
Negara mana yang meningkat, dan mana yang menurun
China, India, Iran, Indonesia, dan Rusia mengalami peningkatan emisi terbesar dari 2022 hingga 2023, sementara Venezuela, Jepang, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat mengalami penurunan polusi terbesar.
Kumpulan data yang dikelola oleh para ilmuwan dan analis dari berbagai kelompok, juga mengamati polutan tradisional seperti karbon monoksida, senyawa organik yang mudah menguap, amonia, sulfur dioksida, dan bahan kimia lain yang terkait dengan udara kotor. Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan kedua jenis polusi tersebut, kata Gore.
Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan kedua jenis polusi tersebut, kata Gore, dan mencatat jutaan orang yang meninggal di seluruh dunia setiap tahun akibat polusi udara.
Ini "mewakili ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia," kata Gore.
Gore mengkritik penyelenggaraan pembicaraan iklim, yang disebut COP, oleh Azerbaijan, negara minyak dan lokasi sumur minyak pertama di dunia, dan oleh Uni Emirat Arab tahun lalu.
"Sangat disayangkan bahwa industri bahan bakar fosil dan negara-negara penghasil minyak telah mengambil alih kendali proses COP hingga ke tingkat yang tidak sehat," kata Gore.
"Tahun depan di Brazil, kita akan melihat perubahan dalam pola itu. Namun, Anda tahu, tidak baik bagi masyarakat dunia untuk memberikan industri pencemar No. 1 di dunia kendali sebanyak itu atas seluruh proses."
Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva telah menyerukan agar lebih banyak yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim dan telah berupaya memperlambat penggundulan hutan sejak kembali untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden. Namun, Brasil tahun lalu menghasilkan lebih banyak minyak daripada Azerbaijan dan Uni Emirat Arab, menurut Badan Informasi Energi Amerika Serikat. [es/ft]
Forum