Yahya Sinwar, yang diyakini sebagai arsitek serangan 7 Oktober terhadap Israel, kini menjadi kepala politik baru Hamas, yang dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh AS. Sinwar juga menjadi panglima militer Hamas dan bermarkas di Gaza.
Para analis berpendapat, Sinwar tidak mungkin meraih kesepakatan gencatan senjata dengan Israel untuk mengakhiri pertempuran di Gaza dan memulangkan para sandera. Tetapi, seorang juru bicara Hamas mengatakan, Sinwar akan melanjutkan negosiasi.
VOA - Nicholas Heras dari New Lines Institute di Washington memberi tahu VOA bahwa dipilihnya Yahya Sinwar dengan suara bulat sebagai kepala politik baru Hamas menunjukkan bahwa Gaza kini menjadi pusat perhatian, dan bukan Qatar, tempat para pemimpin politik itu bermarkas.
Lebih lanjut Heras mengatakan, “Sekarang, Hamas membuat pernyataan yang sangat jelas kepada dunia, tidak hanya kepada Israel, Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir bahwa jalan bagi Hamas menguasai Gaza dan pada dasarnya Hamas, adalah bersedia berjuang sampai titik darah penghabisan. Ini sangat pahit, tidak hanya bagi kelangsungan hidup Hamas sebagai sebuah organisasi, tetapi dari sudut pandang Hamas bagi masa depan rakyat Palestina. Hamas memberi isyarat kepada Israel dan siapa pun yang bekerja dengan mereka bahwa tidak bisa memisahkan Gaza dan masa depan Gaza dari Hamas,” jelasnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan sekarang terpulang kepada Yahya Sinwar apakah dia mau mencapai kesepakatan gencatan senjata dalam konflik Gaza yang telah berlangsung 10 bulan. Selama ini, kata Blinken, Sinwar “telah dan akan tetap menjadi penentu utama.” Itulah yang akan terjadi seandainyapun perunding utama Hamas Ismail Haniyeh yang dianggap relatif lebih moderat, masih hidup.
Khaled Hroub, spesialis Hamas di Universitas Northwestern di Qatar, mengatakan kepada surat kabar Le Monde Prancis bahwa "jika Israel, Amerika Serikat, dan sekutu mereka di kawasan tersebut dan sekitarnya berharap bisa menundukkan Hamas dengan kekerasan, responsnya adalah Hamas yang lebih radikal." Menurut Hroub, ia tidak melihat sikap Hamas melunak ketika AS dan Qatar mencoba mencapai kesepakatan dan berharap akan mengurangi eskalasi saat ini antara Israel dan Iran.
Cinzia Bianco, spesialis negara-negara Teluk di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan kepada VOA bahwa Qatar telah mencoba selama delapan bulan untuk mewujudkan kesepakatan, tetapi Hamas menunggu isyarat dari Iran. "Mereka hanya mendengar Iran dan mungkin juga pendukung eksternal lainnya, termasuk Rusia dan China. Tujuan politik dan tujuan militer kini menjadi satu. Itu berarti pengaruh Qatar sekarang berkurang," sebutnya.
Pejabat-pejabat intelijen Israel dan AS mengatakan kepada surat kabar New York Times bahwa strategi Sinwar adalah "terus mengobarkan perang di Gaza selama diperlukan untuk mencabik reputasi internasional Israel dan merusak hubungannya dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat."
Nicholas Heras mengatakan, ia melihat Sinwar dipengaruhi oleh Jenderal Korps Garda Republik Iran Qassem Soleimani yang terbunuh. Sinwar bahkan menggunakan buku pedoman Soleimani untuk menghadapi Israel. "Soleimani membuat strategi untuk menciptakan jaringan proksi dan mitra yang mengepung Israel," termasuk Hamas, dalam upaya menghancurkan Israel.
"Seiring waktu, rangkaian konflik dengan Israel akan merusak fondasi Israel secara ekonomi, sosial, politik, dan kemudian geopolitik. Semua elemen itu sudah ada dalam konflik sekarang yang dimulai dengan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Dan kita lihat buku pedoman Soleimani ini terus diterapkan," jelasnya.
Para pengamat berpendapat, Sinwar dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak mau mencapai kesepakatan gencatan senjata karena alasan politik masing-masing. [ka/ab]
Forum