Tautan-tautan Akses

Amerika Lanjutkan Perdagangan Senjata ‘Ofensif’ ke Arab Saudi


Pejabat koalisi pimpinan Saudi menunjukkan kepada Panglima Komando Pusat AS Jenderal Kenneth McKenzie sebuah pameran senjata dan rudal yang digunakan dalam serangan Houthi terhadap Arab Saudi, di Riyadh, Arab Saudi, 18 Juli 2019. (Foto:
Pejabat koalisi pimpinan Saudi menunjukkan kepada Panglima Komando Pusat AS Jenderal Kenneth McKenzie sebuah pameran senjata dan rudal yang digunakan dalam serangan Houthi terhadap Arab Saudi, di Riyadh, Arab Saudi, 18 Juli 2019. (Foto:

Amerika Serikat pada hari Senin (12/8) mengatakan pihaknya akan melanjutkan perdagangan senjata ofensif ke Arab Saudi dan mengakhiri penangguhan selama bertahun-tahun akibat operasi berdarah kerajaan itu di Yaman.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Jumat (9/8), mengatakan Pemerintahan Biden memutuskan akan mencabut larangan penjualan senjata ofensif AS ke Arab Saudi. Washington menerapkan pelarangan tersebut tiga tahun yang lalu sebagai upaya untuk menekan Saudi agar mengakhiri perang Yaman.

Penangguhan perdagangan senjata diakhiri karena Arab Saudi kembali dianggap berperan penting bagi Amerika Serikat di tengah perang Gaza yang memasuki bulan kesepuluh. Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya akan memulihkan perdagangan senjata “seperti sediakala dengan pemberitahuan dan konsultasi kongres sebagaimana mestinya.”

“Arab Saudi tetap merupakan mitra strategis erat Amerika Serikat, dan kami berharap dapat meningkatkan kemitraan itu,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel kepada wartawan.

Saat dilantik pada tahun 2021, Presiden AS Joe Biden menjanjikan pendekatan baru terhadap Arab Saudi, yang menekankan hak asasi manusia, dan segera mengumumkan bahwa pemerintahannya hanya akan mengirim senjata “pertahanan” ke mitra lama AS itu.

Departemen Luar Negeri mencabut penangguhan terkait transfer amunisi udara-ke-darat tertentu ke Arab Saudi, menurut konfirmasi dari seorang pejabat senior departemen tersebut. Pejabat itu menyatakan, "Kami akan menilai transfer baru berdasarkan setiap kasus, sesuai dengan Kebijakan Transfer Senjata Konvensional."

Reuters adalah media pertama yang melaporkan keputusan itu sebelumnya, dengan mengutip lima sumber.

Seorang ajudan kongres menyebutkan bahwa pemerintah memberikan pengarahan kepada Kongres pada minggu ini terkait keputusan untuk mencabut larangan tersebut.

Seorang sumber menyatakan bahwa penjualan dapat kembali dilakukan, setidaknya pada minggu depan. Pemerintah AS kemudian mengeluarkan pemberitahuan terkait penjualan itu pada Jumat sore, menurut seseorang yang diberi pengarahan mengenai masalah ini.

"Saudi memenuhi janji mereka dalam kesepakatan itu, dan kami siap memenuhi janji kami," kata seorang pejabat senior pemerintahan Biden.

Menurut hukum AS, setiap kesepakatan senjata internasional yang dianggap penting harus ditinjau oleh anggota Kongres sebelum disetujui bersama. Dalam beberapa tahun terakhir, anggota parlemen dari Demokrat dan Republik mempertanyakan pasokan senjata ofensif ke Arab Saudi, dengan alasan berbagai isu, termasuk korban sipil dalam kampanye di Yaman dan berbagai masalah terkait hak asasi manusia.

Namun, penentangan terhadap penjualan senjata itu saat ini melunak di tengah kekacauan di Timur Tengah menyusul serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel dan karena perubahan pendekatan Saudi dalam perang di Yaman.

Seorang pejabat pemerintah menyatakan bahwa sejak Maret 2022, saat Saudi dan Houthi menyepakati gencatan senjata yang diprakarsai oleh PBB, serangan udara Saudi ke Yaman berhenti, dan sebagian besar tembakan lintas batas dari Yaman ke wilayah kerajaan juga berkurang.

"Kami juga mencatat langkah positif yang telah diambil Kementerian Pertahanan Saudi selama tiga tahun terakhir untuk secara substansial meningkatkan proses mitigasi bahaya sipil mereka, sebagian berkat kerja keras para pelatih dan penasihat AS," kata pejabat Departemen Luar Negeri tersebut.

Menteri Luar Negeri AS Antoni Blinken berbincang dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan bin Abdullah (kanan) dalam Pertemuan Tingkat Menteri AS dan Negara-negara Teluk di Riyadh, Arab Saudi, 29 April 2024. (Foto: Evelyn Hockstein/Pool via AP)
Menteri Luar Negeri AS Antoni Blinken berbincang dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan bin Abdullah (kanan) dalam Pertemuan Tingkat Menteri AS dan Negara-negara Teluk di Riyadh, Arab Saudi, 29 April 2024. (Foto: Evelyn Hockstein/Pool via AP)

Hubungan yang Lebih Erat

Perang di Yaman sering dianggap sebagai salah satu konflik proksi antara Iran dan Arab Saudi. Setelah Houthi menggulingkan pemerintah yang didukung Saudi dari Sanaa pada akhir 2014, mereka terlibat dalam pertempuran dengan koalisi militer yang dipimpin oleh Saudi sejak 2015. Konflik ini merenggut ratusan ribu nyawa, dan membuat 80 persen populasi Yaman bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Pada 2021, Biden memperketat kebijakan penjualan senjata ke Arab Saudi, dengan alasan kampanye militer kerajaan tersebut melawan Houthi yang didukung Iran di Yaman, yang menewaskan banyak korban sipil.

Hubungan antara kerajaan itu dan Amerika Serikat menghangat sejak saat itu, karena Washington menjalin hubungan lebih erat dengan Riyadh untuk menyusun rencana bagi Gaza pascaperang setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.

Pemerintahan Biden menyepakati perjanjian pertahanan dan kerja sama nuklir sipil dengan Riyadh sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih besar yang mencakup normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, meskipun tujuan tersebut masih dianggap sulit dicapai.

Keputusan itu diambil karena ancaman di kawasan meningkat sejak akhir bulan lalu. Iran dan kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon telah bersumpah untuk membalas terhadap Israel setelah kepala politik Hamas, Ismail Haniyeh, terbunuh di Teheran.

Kelompok Houthi muncul sebagai pendukung kuat Hamas dalam perangnya melawan Israel. Awal tahun ini, mereka menyerang kapal-kapal komersial yang mereka katakan klaim kapal-kapal tersebut memiliki hubungan dengan Israel atau menuju pelabuhan Israel. [ah/ft]

XS
SM
MD
LG