Tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yaitu Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dipastikan akan berkontestasi pada pilkada Jakarta. “Bergerilya” ke masyarakat dan menemui sejumlah tokoh sudah mulai dilakukan oleh mereka.
Para calon bakal cagub dan cawagub berlomba-lomba mendapatkan simpati masyarakat. Namun, tampaknya itu tidak mudah bagi mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sejumlah poster yang menggambarkan penolakan terhadap Ridwan Kamil sebagai bacawagub Jakarta terlihat banyak bertebaran di sejumlah ruas jalan.
Bahkan saat menghadiri acara haul mbah Priuk di Jakarta, Emil, begitu biasa Ridwan Kamil disapa, diminta turun dari podium oleh warga ketika memberikan sambutan. Teriakan warga justru menggema menyebut nama Mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang gagal ikut kontestasi pilkada ini.
Menanggapi hal itu, Emil yang diusung oleh 15 partai politik yang tergabung dalam KIM Plus ini menilai hal itu biasa terjadi dalam kontestasi pemilihan. Justru, dia menilai adanya kontra di kalangan masyarakat merupakan wujud dari sehatnya demokrasi.
Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menjelaskan sejumlah faktor yang menyebabkan penolakan sebagian warga Jakarta terhadap Emil.
“Yang pertama, sebagian yang menolak itu pendukung Anies yang kecewa Anies tidak bisa maju. Tidak bisa majunya selalu dihubungkan dengan partai-partai yang tergabung dalam KIM Plus terutama partai PKB, Nasdem, PKS meninggalkan Anies dan mengusung Ridwan Kamil, sehingga Ridwan Kamil menjadi sasaran tembak,”ungkapnya kepada VOA, Rabu (4/9).
Selain itu, sentiment negatif tersebut lanjut Lili juga disebabkan oleh cuitan-cuitan masa lalu Emil di media sosial yang menyebut warga Jakarta egois dan hedonis.
Meski mendapatkan penolakan dari sebagian warga Jakarta, elektabilitas politikus Golkar itu masih tinggi dibandingkan kedua pasangan calon lainnya. Namun, kata peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad, situasi tersebut dapat berubah.
Dia memperkirakan Pramono -Rano juga memiliki kesempatan menang jika sosiliasi mereka berlangsung efektif. Sebab, katanya, basis pemilih PDIP dan kelompok nasionalis di Jakarta cukup besar. Dari sisi etnisitas, lanjutnya, etnis Jawa diwakili oleh Pramono dan Betawi direpresentasikan oleh Rano, yang jumlahnya sekitar 64 persen dari total penduduk Jakarta. Sementara itu, basis pemilih Sunda, yang diwakili oleh Emil, hanya 14-15 persen.
Karena itu dari aspek sosiologis, dia menilai pasangan Pramono-Rano memiliki ceruk pemilih yang cukup besar dibanding duet Ridwan Kamil-Suswono. Hal ini, menuritnya, bergantung pada efektifitas sosialisasi mereka di kalangan masyarakat Jakarta.
"Aspek kedua yang juga harus diperhatikan adalah di Jakarta ini penduduknya relatif kritis, relatif terdidik. jadi mereka yang lulusan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) itu jumlahnya sangat besar, sekitar 68 persen. Karena warganya kritis, artinya pilihan itu sangat bergantung pada hal-hal yang rasional sebetulnya. Misalnya rekam jejak dan platform kebijakan," kata Saidiman.
Saidiman mencontohkan pada Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, sebelum debat, calon gubernur Agus Harimurti Yudhoyono cenderung lebih kuat dibanding yang lain. Tapi, setelah masing-masing kandidat menyampaikan rencana kebijakannya dalam debat, elektabilitas berubah: Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menempati peringkat pertama, disusul Anies dan Agus Harimurti.
Dia mengatakan debat kandidat gubernur untuk warga Jakarta itu penting karena mereka berpikiran kritis. Oleh sebab itu, debat menjadi peluang bagi Pramono yang belum kompetitif untuk muncul dan menawarkan program-program yang bisa diterima oleh publik secara objektif.
Pasangan calon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana, menurut Saidiman kurang kompetitif, sampai saat ini. Namun, sekali dia menegaskan karena masyarakat Jakarta kritis, seandainya duet ini bisa mengemukakan platform kebijakan yang bagus, mereka bisa menjadi kuda hitam. [gi/ab]
Forum