Negara-negara Arab kesulitan merespons krisis Gaza.
Rami G. Khouri, peneliti di Arab Center di Washington, menulis bahwa mereka telah mencoba menyeimbangkan dukungan bagi Palestina "tanpa memperkuat Hamas dan sekutu militan Islam lainnya yang oleh sebagian besar pemerintah Arab dianggap sebagai ancaman radikal." Ini dilakukan sambil memberi bantuan kemanusiaan untuk warga sipil Gaza yang menderita.
Analis Lebanon, Dania Koleilat Khatib, menjelaskan situasi itu kepada VOA. "Sebagian besar negara Arab, memiliki hubungan formal atau telah mengambil keputusan untuk tidak terlibat pertempuran apa pun dengan Israel. Sekarang gerakan perlawanan tidak memiliki sponsor. Itu sebabnya mengapa Hamas pergi ke Iran."
Khatib, kepala Pusat Penelitian untuk Kerja Sama dan Pembangunan Perdamaian di Beirut, mengatakan konflik Israel-Palestina yang belum terselesaikan telah memberi Iran, yang non-Arab, cara memengaruhi politik regional demi tujuannya sendiri.
"Mereka bertempur, dan menggunakan masalah Palestina sebagai pintu masuk ke komunitas Arab. Jika Anda mengesampingkan masalah Palestina, apa persamaan kita dengan Iran? Tidak ada. Tentu saja, ini menimbulkan ketegangan. Negara-negara Arab bergerak di satu jalur, sementara gerakan perlawanan bergerak di jalur lain. PLO bukanlah Islamis, itu kelompok sekuler. Tetapi, kalau kita tidak mengatasinya, kita akan memiliki masalah yang belum terpecahkan.”
Analis Nicholas Heras dari New Lines Institute di Washington mengatakan kepada VOA bahwa selama bertahun-tahun Iran membangun “proksi yang berkomitmen” seperti Hizbullah, Hamas, dan lainnya. Sebagian besar dari mereka, kata Heras, “berasal dari Arab,” dan mengalahkan Israel “adalah puncak misi ideologis mereka.” Ini memungkinkan Iran tidak bertempur langsung dengan Israel.
Situasi itu berubah pada 1 Oktober. Iran melancarkan serangan rudal terbesarnya ke Israel. Israel menganggap sepele Hizbullah, yang pernah dianggap sebagai garis pertahanan utama Iran. Heras percaya, Hizbullah akan kalah, tetapi tidak musnah.
“Dalam jangka panjang, Iran kemungkinan besar akan mencoba membentuk organisasi Hizbullah yang lebih muda, lebih ekstrem, dan transnasional supaya bisa menghubungkan semua medan pertempuran yang berbeda di kawasan itu untuk memaksa Israel memainkan konflik regional yang lebih luas dan terus memberi isyarat kepada Amerika bahwa jika Amerika terlibat, mereka harus berperang melawan Iran,” komentarnya.
Menurut Heras, pada akhirnya Iran menginginkan rudal-rudal dan drone-drone yang mampu mengancam “Israel dengan cara yang belum pernah dilakukan aktor negara Arab mana pun dalam konflik Arab-Israel.”
“Orang Iran memandang diri mereka sebagai pembawa bendera perjuangan revolusioner yang bukan Arab. Itu Islamis. Orang Iran berharap bahwa konflik saat ini di Gaza, dengan semua gambaran sulit tentang penderitaan dan kehancuran manusia, akan menginspirasi generasi masa depan Arab dan dunia Islam yang lebih luas, untuk mengangkat senjata melawan Israel,” sebut Heras.
Mantan penasihat markas besar militer Amerika Serikat untuk urusan Timur Tengah Yasmine El Gamal mengatakan kepada BBC bahwa negara-negara Arab dan Muslim kini telah memberi "jalan keluar diplomatik" kepada Israel: mengakui Israel sebagai imbalan atas "diakhirinya pendudukan dan solusi dua negara" untuk mengakhiri konflik Arab-Israel.
El Gamal dan analis lain mengatakan Barat perlu menarik Israel dari ambang kemungkinan konflik yang meluas. Namun, pertanyaannya adalah apakah itu cukup untuk mengakhiri permusuhan selama puluhan tahun antara Israel dan Iran. [ka/lt]
Forum