Memburuknya situasi di Beirut, seiring serangan udara yang menarget beberapa lokasi, termasuk satu apartemen di jantung ibu kota yang menewaskan tujuh warga sipil anggota tim tanggap darurat, Kamis (3/10), membuat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beirut mengintensifkan upaya evakuasi warga negara Indonesia (WNI) yang selama ini bertahan di sana.
Dihubungi melalui telpon Kamis pagi, Kuasa Usaha Ad Interim KBRI di Beirut Yosi Aprizal mengatakan “pada hari Rabu (2/10) telah dievakuasi 20 WNI ke Amman, Yordania, untuk selanjutnya diterbangkan ke tanah air. Sementara pada hari Kamis (3/10) telah dievakuasi 20 WNI lainnya ke Damaskus, Suriah, untuk kemudian diberangkatkan ke Amman, dan nantinya diterbangkan ke Indonesia.”
Yosi Aprizal tidak memberi rincian lebih lanjut proses evakuasi selanjutnya demi keselamatan WNI yang masih ada di Lebanon dan keamanan proses evakuasi itu sendiri.
Berbicara di Jakarta, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pihaknya memantau dengan seksama perkembangan situasi di Lebanon. “Kita akan lihat kesempatan yang ada, begitu penerbangan dapat dilakukan tentunya akan kita lakukan. Lebih cepat lebih baik. Jadi sekali lagi situasi sangat dinamis di lapangan, di mana ruang udara bisa dibuka dan kemudian ditutup lagi. Beberapa hari lalu ruang udara di atas Jordan ditutup dan kemudian dibuka, jadi sangat dinasmis. Kita akan terus memantau perkembangan ini,” ujarnya.
Hingga laporan ini disampaikan masih ada puluhan WNI yang memilih bertahan di Lebanon. Retno mengatakan sebagian besar adalah mahasiswa dan WNI yang telah menikah dengan warga setempat. Sebagian di antara mereka kini berlindung di KBRI Beirut.
Pengamat: Tidak Mungkin Lagi Bicara dengan Hizbullah
Pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan sudah tidak mungkin meminta pihak Hizbullah melakukan de-eskalasi, karena berlatar peristiwa sebelumnya justru kelompok itu mengancam untuk melakukan serangan-serangan “mematikan” terhadap Israel.
Hal senada juga siap dilakukan Israel. Dalam situasi di ambang perang besar ini, menurut Yon, mustahil Indonesia dapat berkomunikasi dengan Hizbullah.
“Sudah tidak mungkin untuk bisa menurunkan eskalasi konflik karena ini kan sudah menyangkut perlawanan Hizbullah yang sudah sangat lama terhadap Israel. Seharusnya yang bisa dilakukan dunia internasional, khususnya Amerika dan beberapa negara yang punya kedekatan dengan Israel, adalah menekan Israel untuk tidak memperluas konflik karena tentu akan merugikan banyak pihak,” ujarnya.
Dengan tidak memberi dukungan pada Israel, dan membiarkan Israel menyelesaikan konflik ini sendiri dengan Hizbullah, maka akan menurunkan potensi terjadinya perang, tambah Yon.
Hampir 2.000 Warga Lebanon Tewas
Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan hingga hari Kamis (3/10), sedikitnya 1.974 orang tewas termasuk 127 anak-anak dan 261 perempuan, akibat serangan udara dan darat Israel. Selain itu 9.384 lainnya luka-luka.
Israel dan Hizbullah telah saling baku tembak sejak berkecamuknya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas menyerang bagian selatan Israel dan menewaskan 1.200 warga serta menculik 250an lainnya, disusul serangkaian serangan balasa Israel lewat darat dan udara.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, wilayah yang dikelola Hamas, mengatakan lebih dari 41.000 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak; serta hampir 97.000 lainnya luka-luka.
UNIFIL Tetap Siaga di Posisi Semula
Sekjen PBB Antonio Guterres telah menegaskan bahwa “pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) akan tetap berada di posisinya dan bendera PBB akan tetap berkibar, meskipun ada seruan dari Israel agar UNIFIL pindah ke lokasi lain.” Guterres juga menggarisbawahi pentingnya memastikan keselamatan dan keamanan semua personil PBB.
Ada 10.500 personil UNIFIL dari 50 negara yang berada di zona penyangga antara Lebanon-Israel. Termasuk di antaranya 1.200 personil dari Indonesia.
UNIFIL pada 1 Oktober lalu menyatakan “secara teratur menyesuaikan postur dan aktivitas kami, dan memiliki rencana darurat yang siap diaktifkan jika benar-benar diperlukan,” tetapi mengingatkan bahwa “keselamatan dan keamanan penjaga perdamaian adalah hal yang terpenting, dan semua pihak diingatkan akan kewajiban mereka untuk menghormatinya.”
UNIFIL juga menegaskan bahwa “setiap tindakan melintasi perbatasan ke Lebanon merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Lebanon, dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi 1701. Kami mendesak semua pihak untuk mundur dari tindakan eskalasi seperti itu, yang hanya akan menyebabkan lebih banyak kekerasan dan pertumpahan darah. Harga yang harus dibayar untuk melanjutkan tindakan yang ada saat ini terlalu tinggi. Warga sipil harus dilindungi, infrastruktur sipil tidak boleh dijadikan sasaran dan hukum internasional harus dihormati.” [em/ab]
Forum