Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Roy Soemirat, menegaskan pada Kamis (31/10) bahwa posisi Indonesia di Laut China Selatan tetap konsisten. Ia memastikan pemerintah akan memberikan respons yang tepat untuk melindungi wilayahnya. Pernyataan itu disampaikan setelah kapal Garda Pantai China mengganggu kegiatan survei migas yang dilakukan perusahaan plat merah, Pertamina, pada pekan lalu.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengungkapkan pada pekan lalu bahwa mereka mengusir kapal Garda Pantai China untuk ketiga kalinya dalam beberapa hari terakhir. Kapal tersebut berlayar di sekitar perairan yang berjarak lebih dari 1.500 km dari daratan China. Akibatnya kehadiran kapal China itu mengganggu survei yang dilakukan oleh kapal yang dikontrak oleh Pertamina.
China mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut China Selatan dan menegaskan klaim tersebut melalui kehadiran armada kapal garda pantai di wilayah-wilayah itu. Negara-negara tetangga menuduh beberapa kapal dalam armada itu melakukan tindakan agresif, dan bahkan berupaya mengganggu kegiatan energi serta perikanan.
"Di Laut China Selatan, tidak ada yang berubah dari pemerintah Indonesia. Kami akan melakukan apa yang seharusnya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Roy Soemirat dalam konferensi pers. Ia menjawab pertanyaan wartawan apakah pengusiran kapal China itu merupakan tanda bahwa Presiden Prabowo Subianto akan lebih tegas dalam membela kedaulatan Indonesia.
"Kami sedang mengonfirmasi dan bertukar informasi. Dinamika di lapangan akan melibatkan banyak pihak," imbuhnya.
Kapal Garda Pantai China telah beberapa kali terlihat berkeliaran di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Insiden terbaru terjadi hanya beberapa hari setelah Prabowo dilantik.
Kementerian Luar Negeri China pada minggu lalu menyatakan bahwa garda pantainya melakukan perjalanan rutin "di perairan di bawah yurisdiksi China." Beijing menyatakan bersedia bekerja sama dengan Indonesia untuk menangani insiden itu dengan tepat.
China sering kali mengklaim bahwa garda pantainya beroperasi secara sah dan profesional untuk mencegah terjadinya pelanggaran di perairannya.
Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag menyatakan pada 2016 bahwa klaim kedaulatan China di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional. Namun, Beijing menolak putusan tersebut.
Sementara Beijing sering bersengketa dengan Filipina, serta berselisih dengan Vietnam dan Malaysia di Laut China Selatan, konflik dengan Indonesia justru tergolong jarang terjadi.
Pada 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan China di sekitar anjungan minyak di Laut Natuna saling membututi selama berbulan-bulan. Pada saat itu, China mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran di wilayah yang mereka klaim sebagai miliknya. [ah/rs]
Forum