Isu Iklim
G20 Didesak Ambil Tindakan untuk Tekan Pemanasan Global
Presiden Brazil membuka hari kedua pertemuan 20 negara ekonomi terbesar dunia pada Selasa (19/11), dengan mendesakkan tindakan lebih untuk memperlambat pemanasan global. Dia mengatakan, negara-negara maju harus mempercepat inisiatif mereka untuk mengurangi emisi yang merusak.
Brazil menjadi tuan rumah pertemuan G20 tahun ini, yang puncaknya diselenggarakan pada 19-20 November.
Seruan dari Presiden Luiz Inacio Lula da Silva itu disampaikan sehari setelah perwakilan dari negara-negara G20 mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesakkan sebuah pakta untuk memberantas kelaparan, lebih banyak bantuanke Gaza, dan mengakhiri perang di Ukraina serta sejumlah tujuan lain, di tengah ketidakpastian global yang membayangi berkuasanya kembali presiden terpilih AS, Donald Trump.
Presiden Brazil, yang menjadi tuan rumah pertemuan dua hari itu, membuka sesi pada Selasa dengan fokus pada tantangan-tantangan lingkungan. Dia mengatakan bahwa negara-negara maju harus mempertimbangkan memajukan target emisi mereka, yang sebelumnya pada 2050 menjadi 2040 atau 2045.
“Negara-negara G20 bertanggung jawab atas 80 persen dampak emisi gas rumah kaca. Meskipun kita tidak melangkah dalam kecepatan yang sama, kita semua bisa mengambil satu langkah ke depan bersama,” kata Lula.
Sebagai tambahan dari sumbangan sebesar $325 juta untuk dana teknologi bersih Bank Dunia, Presiden AS Joe Biden telah mengumumkan serangkaian inisiatif yang berkaitan dengan iklim dan
pembangunan. Namun banyak dari inisiatif itu yang membutuhkan dukungan dari Trump, yang menentang proyek-proyek semacam itu dan menyebut krisis iklim sebagai sebuah “berita bohong”.
Biden juga mendesak masing-masing negara anggota G20 berkomitmen sebesar $2 miliar untuk membiayai Dana Pandemi yang didirikan pada 2022. Biden telah berjanji bahwa AS akan menyediakan dana hingga $667 juta hingga 2026, tetapi itu akan membutuhkan persetujuan Kongres.
Sementara dari Baku, Azeebaijan, para pegiat lingkungan menanggapi pernyataan kelompok 20 negara ekonomi utama, saat negosiasi COP29 memasuki tahap akhir.
Ani Dasgupta, Presiden dan CEO, World Resources Institute mengatakan,
“KTT Pemimpin G20 telah menegaskan kembali bahwa aksi iklim yang adil dan setara harus tetap menjadi pusat agenda global. Para negosiator di Baku harus membangun itu berdasar KTT Pemimpin G20, dan bersatu di belakang tujuan pendanaan iklim baru yang kuat.”
Dasgupta juga mengatakan, terpilihnya kembali Donald Trump baru-baru ini di Amerika Serikat diperkirakan akan membayangi KTT G20. Namun dia mendesak, para pemimpin G20 tetap teguh pada dedikasi mereka, untuk bekerja sama dalam beberapa isu paling mendesak di dunia, termasuk reformasi keuangan, kemiskinan, kelaparan, dan energi bersih.
“Meskipun mengirimkan sinyal positif tentang transisi energi dan kebutuhan untuk meningkatkan energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi, sangat disayangkan bahwa G20 gagal menegaskan kembali komitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil, yang disetujui semua negara di COP28 di Dubai,” ujar dia.
Dasgupta menambahkan, pada intinya, pendanaan adalah persoalan keadilan. Para pemimpin mengakui, bahwa ketidaksetaraan di dalam dan di antara negara-negara, merupakan akar dari sebagian besar tantangan global dan harus ditangani.
Dia menambahkan, para negara-negara G20 menyadari perlunya meningkatkan pendanaan iklim dengan cepat dan mencapai tujuan baru di Baku, dan mereka menekankan bahwa kolaborasi internasional adalah kunci untuk melakukannya.
“Para pemimpin menyerukan agar bank pembangunan multilateral menjadi lebih besar, lebih baik, dan lebih efektif. Langkah maju penting lainnya adalah dukungan untuk pajak kekayaan, yang dapat meningkatkan sumber daya secara signifikan untuk membantu negara-negara berkembang mengekang emisi dan mengurangi dampak perubahan iklim,” paparnya lagi.
WRI menyambut gembira, G20 mendukung platform negara, yang bertujuan mengatasi penyaluran pembiayaan iklim yang terfragmentasi dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik untuk proyek-proyek berdampak tinggi.
Komitmen baru G20 untuk meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan dan adil serta mengurangi keterbuangan dan pemborosan pangan menunjukkan bahwa negara-negara memprioritaskan isu-isu ini sebagai bagian integral dari aksi iklim, mengingat keterkaitan sistem pangan yang luas dengan iklim. [ns/ab]
See all News Updates of the Day
Pemanasan Global Resmi Lampaui Ambang Batas 1,5 Derajat Celsius pada 2024
Tahun 2024 adalah tahun terpanas yang tercatat sejauh ini, dan menjadi tahun pertama ketika suhu dunia melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris. Para ilmuwan mengatakan masih ada harapan untuk memperbaiki situasi, tetapi waktu menjadi kuncinya.
Pada 2024 untuk pertama kalinya dunia mengalami satu tahun penuh suhu global di atas 1,5 derajat Celsius sejak masa praindustri, menurut para ilmuwan, pada 10 Januari lalu.
Suhu udara di setiap benua mengalami kenaikan sepanjang 2024, menyebabkan gelombang panas, kekeringan dan cuaca ekstrem. Tonggak sejarah itu dipastikan oleh para ilmuwan di Badan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa.
Mereka memperingatkan, perubahan iklim mendorong suhu planet Bumi ke tingkat yang belum pernah dirasakan oleh manusia modern.
Carlo Buontempo, Direktur Badan Perubahan Iklim Copernicus UE, mengatakan, “Setiap bulan, dari Januari hingga Juli lalu, telah menjadi bulan-bulan terhangat yang pernah tercatat. Juli adalah bulan terhangat kedua, dan setelah itu terus menjadi yang kedua atau mendekati yang pertama. Tapi ketika Anda menggabungkan semuanya, lintasannya sungguh luar biasa dan menjadikannya sebagai tahun terhangat yang pernah tercatat.”
Selain Badan Perubahan Iklim Copernicus UE, enam badan iklim lain merilis data temperatur tahun 2024 pada 10 Januari, yang seluruhnya menunjukkan hasil yang sama. Keenamnya adalah Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (European Center for Medium Range Weather Forecasts/ECMWF), Badan Meterologi Jepang, NASA, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (US National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA), Kantor Meterologi Inggris yang berkolaborasi dengan Unit Riset Iklim Universitas East Anglia (HadCRUT), serta Berkeley Earth.
Suhu rata-rata planet Bumi sepanjang tahun lalu 1,6 derajat Celsius lebih tinggi daripada suhu rata-rata tahun 1850-1900. Periode itu adalah “periode praindustri” sebelum manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil, yang menghasilkan gas karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar.
Lebih dari itu, tahun 2024 adalah tahun terpanas di dunia sejak pencatatan suhu Bumi dimulai, dan setiap tahun selama sepuluh tahun terakhir termasuk di antara sepuluh tahun terhangat yang pernah tercatat.
Melalui Perjanjian Paris 2015, berbagai negara berjanji untuk mencoba mencegah suhu rata-rata global agar tidak melampaui ambang batas simbolis sebesar 1,5 derajat Celsius, untuk menghindari bencana iklim yang lebih parah dan mahal.
Meski memecahkan rekor, suhu rata-rata global tahun 2024 tidak melampaui target Perjanjian Paris, yang memang mengukur suhu rata-rata jangka panjang. Sejauh ini, planet Bumi telah menghangat rata-rata 1,3 derajat Celsius, tetapi akan mencapai 3,1 derajat Celsius pada 2100 seandainya kebijakan iklim saat ini tidak diubah, menurut laporan Kesenjangan Emisi PBB 2024.
Wakil Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) Ko Barrett mengatakan bahwa kenaikan suhu dan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tidak memadai sungguh mengkhawatirkan. “Kita harus mengubah kedua tren ini ke arah yang benar jika kita mau mengatasi dampak jangka panjang dari perubahan iklim,” sebutnya.
Sementara menurut Buontempo, belum terlambat bagi negara-negara di dunia untuk segera memangkas emisi dan mencegah semakin buruknya dampak perubahan iklim.
“Perjanjian Paris akan terlanggar dalam waktu dekat, entah akhir 2020-an, awal 2030-an, tapi yang jelas kita akan mencapai (ambang batas) 1,5 derajat Celsius, seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Paris, dan melampauinya.
“Tapi ini belum selesai. Kita bisa mengubah lintasan itu dari sekarang. Kita bisa melakukannya, tapi kita perlu melakukannya atas dasar sains, atas dasar bukti, dan ada banyak bukti yang bisa kita jadikan landasan tindakan kita,” jelasnya.
Dampak-dampak perubahan iklim kini bisa terlihat di setiap benua, memengaruhi kehidupan manusia baik di negara terkaya maupun termiskin di muka Bumi. Badai dan hujan deras semakin parah, karena atmosfer yang lebih panas dapat menampung lebih banyak air yang menyebabkan hujan deras.
Ironisnya, meski kerugian akibat bencana-bencana tersebut semakin parah, kemauan politik untuk mengurangi emisi telah memudar di beberapa negara.
Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, yang mulai menjabat pada 20 Januari, telah menyebut perubahan iklim sebagai hoaks, terlepas dari konsensus ilmiah di seluruh dunia yang menyatakan bahwa hal itu terjadi akibat perilaku manusia dan akan menimbulkan konsekuensi yang parah jika tidak ditangani. [rd/ns]
Aktivis Iklim di Inggris Coret Makam Charles Darwin dengan Kapur
Kepolisian Metropolitan London menyatakan petugas menangkap dua perempuan atas dugaan kerusakan kriminal “dengan menggunakan apa yang diyakini sebagai cat bubuk di Westminster Abbey.”
Aktivis iklim, Senin (13/1) menarget makam Charles Darwin dengan cat kapur dalam aksi kontroversial terbaru terkait kebijakan lingkungan pemerintah Inggris.
Kelompok Just Stop Oil (JSO) menyatakan dua pendukungnya menyemprotkan kapur bertuliskan “1.5 is dead” di makam ilmuwan biologi abad ke-19 tersebut di Westminster Abbey, pusat kota London.
Aksi ini menyusul pengumuman pemantau iklim Eropa pekan lalu bahwa dalam dua tahun terakhir, suhu rata-rata global untuk pertama kalinya melebihi batas kritis pemanasan 1,5 derajat Celsius.
Kepolisian Metropolitan London menyatakan petugas menangkap dua perempuan atas dugaan kerusakan kriminal “dengan menggunakan apa yang diyakini sebagai cat bubuk di Westminster Abbey.”
“Polisi dipanggil… setelah menerima laporan bahwa keduanya telah ditahan oleh petugas keamanan,” ujar seorang juru bicara. “Mereka kemudian dibawa ke kantor polisi di London pusat dan saat ini masih ditahan.”
Seorang juru bicara gereja menyebut insiden ini tidak diperkirakan menimbulkan kerusakan permanen, dan area gereja tetap dibuka bagi jemaat maupun pengunjung.
JSO, yang dibentuk pada awal 2022 untuk menekan kebijakan pemerintah Inggris terkait eksplorasi minyak dan gas, menyebutkan identitas dua aktivis di balik aksi tersebut.
Mereka adalah Alyson Lee, 66, seorang asisten pengajar yang telah pensiun, dan Di Bligh, 77, mantan kepala eksekutif dewan pemerintah daerah.
“Kami berupaya agar pemerintah mengambil tindakan atas perubahan iklim. Mereka tidak melakukan cukup,” kata Lee kepada wartawan saat dibawa polisi.
JSO telah melakukan sejumlah aksi serupa, di antaranya menyiramkan sup ke lukisan ikonik “Sunflowers” karya Vincent van Gogh, serta menaburkan bubuk cat oranye ke batu tegak prasejarah Stonehenge. [th/lt]
Gempa Bumi Guncang Jepang, Tibet
Gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,8 mengguncang wilayah barat daya Jepang pada Senin malam (13/1), menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).
Otoritas setempat kemudian mengeluarkan peringatan tsunami.
Badan Meteorologi Jepang (JMA) menerbitkan peringatan gelombang setinggi hingga satu meter setelah gempa terjadi di lepas pantai Prefektur Miyazaki, kawasan Pulau Kyushu, sekitar pukul 21.19 waktu setempat.
USGS sebelumnya memperkirakan kekuatan gempa berada pada 6,9, namun kemudian merevisi menjadi 6,8. Meski demikian, lembaga itu menyatakan “tidak ada ancaman tsunami dari gempa ini.”
JMA tetap mengimbau masyarakat menjauhi wilayah pesisir.
“Tsunami dapat terjadi berulang kali. Mohon untuk tidak memasuki laut atau mendekati daerah pantai,” tulis JMA di X.
Tidak lama berselang, gempa berkuatan magnitudo 4.9 dan 5.0 mengguncang wilayah Tingri di Tibet, menurut China Earthquake Networks Center.
Pekan lalu, wilayah itu juga diguncang gempat berkekuatan magnitudo 6.8 dan menewaskan sedikitnya 126 orang. [th/lt]
2024: Tahun Paling Panas, Lewati Batas Pemanasan Global
WMO mengatakan enam set data internasional semuanya mengonfirmasi bahwa 2024 adalah tahun terpanas yang tercatat, memperpanjang "rekor suhu luar biasa yang memecahkan rekor" selama satu dekade.
Selama dua tahun terakhir, suhu rata-rata global telah melampaui batas pemanasan yang dianggap berbahaya untuk pertama kalinya, menurut pemantau iklim Eropa pada Jumat (10/1). Sementara itu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendesak agar dilakukan tindakan iklim yang lebih inovatif.
Meskipun ini tidak berarti ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celsius yang disepakati secara internasional telah dilanggar secara permanen, PBB memperingatkan bahwa hal tersebut berada dalam "bahaya besar."
"Penilaian hari ini dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) jelas," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. "Pemanasan global adalah fakta yang dingin dan tak terbantahkan"
Ia menambahkan, "Suhu ekstrem pada 2024 memerlukan tindakan iklim yang inovatif pada 2025. Masih ada waktu untuk menghindari bencana iklim terburuk. Namun, para pemimpin harus bertindak -- sekarang."
WMO mengatakan enam set data internasional semuanya mengonfirmasi bahwa 2024 adalah tahun terpanas yang tercatat, memperpanjang "rekor suhu luar biasa yang memecahkan rekor" selama satu dekade.
Amerika Serikat menjadi negara terbaru yang melaporkan bahwa rekor suhu panasnya telah terpecahkan, mengakhiri tahun yang ditandai dengan tornado dan badai hebat.
Pengumuman tersebut muncul beberapa hari sebelum Presiden terpilih Donald Trump, yang telah berjanji untuk menggandakan produksi bahan bakar fosil, mulai menjabat.
Panas yang berlebihan memicu cuaca ekstrem, dan pada 2024, negara-negara mulai dari Spanyol hingga Kenya, Amerika Serikat, dan Nepal mengalami bencana yang menurut beberapa perkiraan mengakibatkan kerugian lebih dari $300 miliar.
Los Angeles saat ini tengah berjuang melawan kebakaran hutan mematikan yang menghangusan ribuan bangunan dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi.
Peringatan Keras
Tahun dengan rekor baru diperkirakan tidak akan terjadi pada 2025, karena tenggat waktu PBB semakin dekat bagi negara-negara untuk berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Prediksi saya adalah tahun ini akan menjadi tahun terhangat ketiga," kata ilmuwan iklim terkemuka NASA, Gavin Schmidt, mengutip keyakinan Amerika bahwa tahun ini dimulai dengan La Nina yang lemah, pola cuaca global yang diperkirakan akan membawa sedikit pendinginan.
Analisis WMO terhadap enam kumpulan data menunjukkan suhu permukaan rata-rata global adalah 1,55 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
"Ini berarti bahwa kita mungkin baru saja mengalami tahun kalender pertama dengan suhu rata-rata global lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas rata-rata tahun 1850-1900," katanya.
Pemantau iklim Eropa, Copernicus, yang menyediakan salah satu kumpulan data, menemukan bahwa kedua tahun terakhir telah melampaui batas pemanasan yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015.
Suhu global telah melonjak "melampaui apa yang pernah dialami manusia modern", katanya.
Para ilmuwan menekankan bahwa ambang batas 1,5 derajat Celsius dalam Perjanjian Paris mengacu pada kenaikan suhu yang berkelanjutan selama beberapa dekade, memberikan secercah harapan.
Namun, Johan Rockstrom dari Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim menyebut tonggak sejarah itu sebagai "tanda peringatan yang jelas."
"Kita sekarang telah merasakan pertama kali dunia mencapai 1,5 derajat Celsius, yang telah menyebabkan penderitaan dan kerugian ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat dan ekonomi global," katanya kepada AFP.
Di Ambang Kehancuran
Hampir 200 negara sepakat di Paris pada 2015 bahwa mencapai 1,5 derajat Celsius memberikan peluang terbaik untuk mencegah dampak paling dahsyat dari perubahan iklim.
Namun, dunia masih jauh dari jalur yang benar.
Sementara catatan Copernicus berasal dari 1940, data iklim lainnya dari inti es dan lingkaran pohon menunjukkan bahwa Bumi sekarang kemungkinan besar menjadi yang terhangat dalam puluhan ribu tahun terakhir.
Para ilmuwan mengatakan setiap fraksi derajat di atas 1,5 derajat Celsius sangat penting — dan bahwa melampaui titik tertentu, iklim dapat berubah dengan cara yang sulit diprediksi.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah membuat kekeringan, badai, banjir, dan gelombang panas semakin sering dan lebih intens.
Meninggalnya 1.300 jemaah haji di Arab Saudi akibat cuaca panas ekstrem, serangkaian badai tropis yang dahsyat di Asia dan Amerika Utara, serta banjir bersejarah di Eropa dan Afrika menandai tonggak suram pada 2024. [ah/ft]
Salju dan Es Ganggu Perjalanan Pascaliburan di Eropa
Salju dan es memaksa puluhan penerbangan di Eropa dibatalkan pada Minggu (5/1), mengacaukan akhir musim liburan tahun baru yang padat.
Berikut rangkuman beberapa gangguan yang terjadi:
Inggris
Sejumlah bandara di kota Manchester dan Liverpool di barat laut, Birmingham di wilayah tengah, serta Bristol di bagian barat, dibuka kembali pada Minggu setelah hujan salju lebat memaksa penutupan landasan pacu di berbagai wilayah Inggris.
Namun, bandara Leeds Bradford di utara menyatakan landasan pacunya akan tetap ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Salju juga menutup sejumlah ruas jalan utama di Inggris utara, sementara jalur kereta antara Leeds dan Halifax terganggu karena kondisi cuaca.
Jerman
Salju dan lapisan es mengakibatkan pembatalan puluhan penerbangan di bandara Frankfurt, yang merupakan bandara terbesar di Jerman.
Sebanyak 120 dari sekitar 1.990 penerbangan di bandara yang terletak di bagian barat negara itu dibatalkan, ujar juru bicara bandara kepada kantor berita AFP. Ia menjelaskan, “Landasan pacu perlu dibersihkan, dan proses ‘de-icing’ pesawat menjadi lebih rumit dan memakan waktu.”
Jarak pandang yang buruk turut menjadi faktor di balik pembatalan penerbangan.
Di Munich, 35 penerbangan dibatalkan sebagai langkah antisipasi dari total 750 jadwal keberangkatan dan kedatangan di bandara terbesar kedua Jerman, menurut keterangan juru bicara setempat.
Belanda
Di Bandara Schiphol Amsterdam, salah satu hub utama Eropa, 68 penerbangan dibatalkan dan lebih dari 200 mengalami penundaan akibat kondisi bersalju, menurut laman resmi situs bandara tersebut.
Bandara itu memperingatkan para penumpang untuk memeriksa status penerbangan sebelum berangkat.
Pembatalan terutama terjadi pada rute-rute Eropa, tetapi penerbangan jarak jauh juga terkena dampak, di antaranya ke Newark dan Detroit, Amerika Serikat.
Spanyol
Di Spanyol, penumpang menghadapi keterlambatan hingga 3,5 jam.
Beberapa penerbangan yang mendarat di bandara Madrid dan Barcelona dari berbagai kota Eropa dibatalkan, menurut laman resmi bandara.
Penerbangan yang dibatalkan berasal dari Frankfurt, Cologne, Munich, Amsterdam, Rotterdam, Liverpool, Manchester, London, dan Paris.
Tidak ada peringatan salju atau es yang dikeluarkan untuk Spanyol pada Minggu, namun peringatan level kuning untuk angin diterapkan di sejumlah wilayah utara.
Republik Ceko
Bandara Vaclav Havel di Praha ditutup akibat hujan beku dan lapisan es pada pukul 16.00 GMT, Minggu. Bandara diperkirakan akan dibuka kembali pada malam hari.
Penutupan ini memengaruhi puluhan jadwal penerbangan, dengan sebagian penerbangan yang tiba dialihkan ke kota lain, kata otoritas bandara di platform X.
“Beberapa pesawat yang menuju Praha terpaksa kembali ke bandara asalnya,” ujar juru bicara bandara Denisa Hejtmankova kepada AFP. [th/ns]
Forum