Dua tahun sejak Taliban merebut kekuasaan Afghanistan, muncul konsensus yang berkembang bahwa negara itu kembali menjadi sarang kegiatan terorisme yang sudah mulai memengaruhi kawasan itu – atau karena belum mampu saja mencapai negara-negara Barat.
Beberapa penilaian yang lebih menegaskan hal itu disampaikan oleh tim pemantau sanksi PBB. Mereka memperingatkan dalam laporannya pada bulan Juni, Taliban “belum memenuhi semua ketentuan kontra-terorisme” yang tertuang dalam Kesepakatan Doha – kesepakatan yang menjadi prasyarat penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
Laporan yang disusun berdasarkan intelijen negara anggota PBB itu justru memperingatkan bahwa “berbagai kelompok teroris memiliki kebebasan bermanuver yang lebih besar di bawah otoritas de facto Taliban.”
Berbagai kelompok itu “memanfaatkan ini dengan baik,” tambah laporan tersebut. “Ancaman terorisme meningkat, baik di Afghanistan maupun di kawasan.”
Beberapa perkiraan mengatakan, ada sekitar 20 kelompok teroris di Afghanistan. Beberapa negara tetangga Afghanistan pun bahkan sudah mengungkapkan kekhawatiran mereka.
Pakistan, misalnya, sudah berulang kali menyatakan adanya peningkatan jumlah kasus kematian yang berhubungan dengan terorisme. Banyak di antaranya terjadi di sepanjang perbatasannya dengan Afghanistan.
Taliban menolak tuduhan tersebut.
Awal bulan ini, seorang pejabat Taliban menggaungkan peraturan pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada yang melarang serangan lintas perbatasan ke Pakistan.
Kepala Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan kepada VOA bahwa para petempur Taliban pada dasarnya telah mengakhiri ancaman teroris di Afghanistan.
“Mereka yang dinyatakan bersalah terlibat dalam kegiatan semacam itu akan dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai dengan sistem hukum kami,” katanya sambil menjelaskan bahwa afiliasi kelompok teror ISIS di Afghanistan, yang dikenal sebagai IS-Khorasan atau ISIS-K, telah “dimusnahkan oleh operasi kontraterorisme Taliban.
Taliban juga telah mendapat dukungan terbuka dari Presiden AS Joe Biden ketika ia mengindikasikan bahwa Taliban menepati janji mereka. Pernyataan Biden itu menimbulkan kegemparan bulan lalu.
“Ingat apa yang saya bilang soal Afghanistan? Saya bilang Al-Qaida tidak akan ada di sana. Saya bilang kelompok itu tidak akan ada lagi di sana. Saya bilang kita akan dibantu Taliban,” ujar Biden saat menjawab pertanyaan terkait penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang kacau balau.
“Sekarang apa yang terjadi?” tanya Biden. “Baca berita Anda. Saya benar.”
Seorang pejabat AS yang berbicara kepada VOA dengan syarat anonim mengatakan, pernyataan Biden sebagiannya merujuk pada peran Taliban dalam menghabisi pemimpin sel teror ISIS yang menjadi biang kerok pemboman bandara Kabul pada Agustus 2021, yang menewaskan 13 tentara AS dan sekitar 170 warga Afganistan.
Namun pejabat AS lainnya masih waspada, mengingat rencana jangka panjang Al-Qaida dan ISIS-Khorasan yang sama-sama berniat, jika bukan mampu, menyerang target-target mereka: AS dan negara-negara Barat.
“Intelijen kami menurun,” kata Komandan Komando Pusat AS Jenderal Michael “Erik” Kurilla kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat AS pada Maret lalu, ketika ditanya tentang kemampuan militer untuk melacak dua kelompok teror itu.
“Saya yakin kami dapat melihat garis besar [plot] serangan,” ungkapnya. “Terkadang kami kekurangan perincian untuk melihat gambaran utuhnya.”
Beberapa mantan pejabat bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan sebelum Al-Qaida atau ISIS-Khorasan mampu membuat terobosan.
“Baik Al-Qaida maupun [ISIS] di Afghanistan saat ini tidak memiliki kemampuan untuk menyerang kepentingan AS, tetapi saya rasa kita tidak dapat mengasumsikan hal tersebut untuk jangka panjang,” kata Edmund Fitton-Brown, mantan pejabat senior kontraterorisme dan koordinator tim pemantau sanksi PBB, dalam webinar baru-baru ini, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pertahanan Demokrasi yang berbasis di Washington.
Pakar lainnya memiliki kekhawatiran yang sama.
“Afghanistan (kini) tampak sangat mirip dengan Afghanistan sebelum serangan 11 September 2001, dengan sejumlah kelompok yang diduga aktif,” kata Colin Clarke, direktur penelitian perusahaan intelijen global The Soufan Group.
“Kelompok teroris berkembang dan memang berkembang di tengah ketidakstabilan. Dan itulah yang kita hadapi saat ini,” katanya kepada VOA Juni lalu. [rd/rs]
Forum