Presiden Joko Widodo mengesahkan PP No 106/2021 pada 15 Oktober lalu, yang menjadi produk hukum turunan dari UU No 2/2021 tentang Otsus Papua. Salah satu terobosan penting dalam UU itu adalah terbukanya kesempatan bagi tokoh masyarakat Papua, duduk sebagai anggota legislatif tanpa proses Pemilu. Valentinus Sudarjanto Sumito, Direktur Penataan Daerah, Otsus dan DPOD Kemendagri menyebut, langkah itu sebagai afirmasi sektor politik bagi Papua dan Papua Barat.
“Kalau kita lihat di DPR Papua itu terdiri atas anggota yang dipilih dalam Pemilu dan ada yang diangkat. Begitupun berkaitan denganDPR Kabupaten/Kota, ada yang dipilih dan ada juga yang diangkat,” kata Valentinus, Rabu (17/11).
Akomodir Kepentingan OAP
Dalam diskusi Arah Baru Otsus Papua, yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Valentinus menyebut sejumlah pertimbangan keputusan itu. Pertama, kata dia, adalah karena jumlah OAP yang menjadi anggota DPRD di beberapa kabupaten/kota, lebih sedikit dibandingkan non OAP. Pertimbangan kedua, adalah memperkuat kerja sama lembaga eksekutif dan legislatif, dan memberi jaminan atas hak-hak masyarakat adat OAP.
“Selama ini keterwakilan OAP di lembaga legislatif sangat rendah. Jika di rata-rata, di Provinsi Papua hanya 38 persen dan Papua Barat 36 persen kursi wakil rakyat diduduki OAP,” ujar Valentinus.
Untuk Papua, contohnya, di Jayapura OAP yang duduk sebagai anggota dewan ada 56 persen. Di Kabupaten Boven Digul jumlahnya 55 persen dan Biak Numfor 53 persen. Tetapi di Kabupaten Sarmi, hanya 35 persen, Kabupaten Mappi 36 persen, Merauke 20 persen, dan di Keerom 20 persen. Sementara di Papua Barat, di Kabupaten Fak Fak 40 persen, Raja Ampat 40 persen dan Wondama 55 persen. Jumlahnya menurun drastis di Kota Sorong yang hanya 20 persen dan Kabupaten Sorong 28 persen.
Dengan UU Otsus baru, keterwakilan OAP di legislatif akan meningkat. Menurut aturan menyebut, seperempat anggota DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota pada 2024 nanti, diangkat langsung dan harus OAP.
“Estimasi alokasi penambahan kursi bagi OAP sebanyak 184 orang di Papua dan 70 orang di Papua Barat, total 254. Sementara sekurangnya 76 kursi dari 254 kursi itu, merupakan kuota perempuan,” kata Valentinus.
Wakil Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua DPR, Yan Permenas Mandenas menyebut, UU Otsus yang baru memiliki sejumlah substansi. UU ini mengakomodasi kepentingan kekhususan OAP, mengatur pembentukan DPR di provinsi dan kabupaten/kota. Memberikan kenaikan dana Otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Menghadirkan badan khusus percepatan pembangunan Papua, dan juga pemekaran provinsi baru.
“DPR berkomitmen mewujudkan keadilan, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum, demokrasi dan penerapan tata pemerintahan yang baik di tanah Papua,” ujar Mandenas.
Jangan Selalu Salahkan Pusat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Cenderawasih, Papua, Dr Marlina Flassy menilai, pemerintah pusat sudah memiliki niat baik. Dana Otsus dalam jumlah sangat besar sudah diberikan, begitu pula skema untuk memastikan hak politik OAP dapat diterapkan.
“Gubernurnya Orang Asli Papua. Bupati-bupati di mana-mana Orang Asli Papua. Pertanyaannya, ini yang memimpin OAP sendiri, terus kenapa sampai hari ini orang Papua masih ada yang bertanya, Otsus itu apa,” kata Marlina bernada tanya.
Menurutnya, kunci keberhasilan Otsus saat ini ada di tangan pemimpin daerah. Bagaimana kepala daerah yang OAP itu, memegang kekuasaan mereka, dan mampu mengatur serta mengelola dana Otsus triliunan rupiah itu. Muncul pertanyaan, mampukah pemimpin yang notabene OAP, membangun Papua dengan hati, ujar Marlina kemudian.
“Jangan menyalahkan pusat terus. Seratus triliun lebih, kenapa sampai hari ini, 20 tahun lewat, orang Papua masih ada yang tidur di gubuk-gubuk. Ada anak-anak yang tidak bisa bayar SPP. Saya dosen di kampus, mahasiswa saya cuti karena tidak bisa bayar SPP. Ini anak-anak asli Papua yang punya kesempatan untuk studi,” tambah Marlina.
Menurut data Kementerian Keuangan, sepanjang 20 tahun Otsus pertama, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana Rp 138,65 triliun.
“Kita tidak bisa lagi membuat pernyataan, bahwa pusat tidak memberikan hak politik. Pusat sudah memberikan. Tinggal bagaimana OAP memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk membangun Papua,” lanjutnya.
Dikritik Terlalu Struktural
Namun, skema Otsus baru ini juga bukan tanpa kritik. Dr Ade Yamin, dosen IAIN Fattahul Muluk Papua menyayangkan dominasi pendekatan struktural di dalamnya.
“Menurut saya penambahan-penambahan itu sesungguhnya makin menegaskan kepada kita, bahwa kacamata yang digunakan untuk mengurai dan menyelesaikan masalah apapun adalah pendekatan kekuasaan atau pendekatan struktural,” kata Ade.
Penambahan yang disebut Ade, adalah adanya rencana penambahan anggaran, penambahan kewenangan, penambahan kesempatan politk, hingga penambahan provinsi atau pemekaran. Semua upaya itu, dibayangkan akan menjadi pintu keluar terbaik bagi seluruh persoalan di Papua.
“Sebagai produk hukum. Otsus baru menunjukkan, ternyata masyarakat Papua terutama OAP, setelah 20 tahun Otsus jilid satu berjalan, tetap saja diposisikan sebagai orang-orang terbelakang, tidak berdaya, tidak memiliki sumber daya yang mumpuni, sehingga perlu diberi waktu untuk afirmasi lagi, terutama hal-hal terkait struktur kekuasaan,” papar Ade.
Otsus baru ini, dinilai Ade, membelah masyarakat berdasar ras dan mengabaikan prinsip kesetaraan. Negara, kata Ade, justru akan menerima ketidakpercayaan dari dua sisi, yaitu OAP dan masyarakat non OAP.
“Sementara disisi lain, Otsus baru ini belum tentu memadamkan keinginan sebagian OAP yang memang ingin merdeka,” tandasnya.
Ade merekomendasikan, pendekatan kultural harus dikedepankan dan dibumikan. Pendekatan kultural tidak boleh berhenti pada jargon.
Perubahan Fokus dan Pendekatan
Masukan juga diberikan Dr Arie Ruhyanto, peneliti di Gugus Tugas Papua, UGM. Dia menyebut, diperlukan perubahan fokus dan pendekatan dalam masalah ini. “Regulasi yang sudah dibentuk itu satu hal, tetapi yang perlu kita pastikan adalah implementasinya nanti,” ujar Arie.
Perubahan fokus dan pendekatan yang direkomendasikan Arie antara lain adalah agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembenahan instittusi, tetapi juga pada manusia dan masyarakat. Daripada fokus pada hasil, pemerintah diminta lebih memperhatikan dampak. Sementara pertimbangan untung-rugi harus diubah menjadi fokus pada relasi.
“Jangan lagi hanya perhatian pada soal penyerapan anggaran, soal administrasi keuangan dan sebagainya, tetapi isu relasi harus dikedepankan. Pendekatan koersif juga sebisa mungkin diubah menjadi pendekatan persuasif,” papar Arie.
Desain UU politik berujung pada kompetisi, untuk kasus Papua penting bagi pemerintah meminimalkan dampak negatifnya. Logika memberi, seperti afirmasi dan proteksi, harus mulai diubah menjadi semangat pemberdayaan.
“Orientasi untuk menciptakan stabilitas kalau bisa digeser menjadi harmoni. Baik antara negara dan masyarakat, antara pendatang dengan warga lokal, maupun antara sesama masyarakat Papua sendiri,” tambah Arie. [ns/lt]