Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah dan DPR telah menyepakati perpanjangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang semula berakhir pada November 2021.
Ketentuan tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Otsus Papua yang disahkan DPR dan pemerintah dalam sidang paripurna DPR pada Kamis (15/7). Menurut Mahfud, undang-undang ini juga mengatur peningkatan dana otsus dari 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional menjadi 2,25 persen.
"Intinya undang-undang itu bukan memperpanjang Undang-Undang Otsus karena itu tidak perlu diperpanjang. Revisinya hanya menyangkut dana otsus yang semula harus berakhir November 2021 diperpanjang lagi, sehingga 2022 masih ada," tutur Mahfud dalam konferensi pers daring, Kamis (15/7).
Mahfud menambahkan dana otsus tersebut akan digunakan secara maksimal untuk kesejahteraan di Papua. Kata dia, pemerintah pusat akan melakukan pendampingan agar penggunaan dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun pada rapat paripurna (15/7) menyampaikan terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan dalam RUU Otsus Papua. Tiga di antara usulan pemerintah mengenai dana Otsus Papua. Menurutnya, RUU Otsus Papua juga telah mengakomodir pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam berbagai bidang seperti politik, pendidikan dan kesehatan.
"Dalam bidang politik dapat dilihat dengan diperluasnya peran politik bagi Orang Asli Papua di DPRK, sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam RUU ini," jelas Komarudin dalam rapat paripurna, Kamis (15/7).
Komarudin menambahkan RUU ini juga menegaskan anggota DPRK nantinya tidak boleh berasal dari partai politik dan memberikan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan.
Sedangkan dalam bidang pendidikan dan kesehatan telah diatur kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan bagi OAP.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengatakan ia khawatir pengesahan RUU Otsus Papua menjadi undang-undang akan menambah persoalan baru di Papua.
Ia beralasan pembahasan RUU ini kurang melibatkan masyarakat Papua, mulai dari tokoh adat, gereja, hingga mahasiswa. Termasuk, kata dia, Majelis Rakyat Papua yang memiliki kewenangan dalam pembahasan Otsus Papua, tidak dilibatkan.
"Revisi ini adalah maunya Jakarta. Jadi, masyarakat Papua sering menyebut Otsus pemerintah Jakarta. Jadi, mereka mau menggambarkan maunya pemerintah pusat," ujar Franky kepada VOA, Kamis (15/7/2021) malam.
Franky menambahkan penolakan Otsus Papua juga dapat dilihat dari aksi-aksi yang digelar mahasiswa Papua dalam beberapa hari terakhir di Jakarta dan Papua. Ia juga mempertanyakan isu pelanggaran HAM yang tidak dibahas dalam RUU Otsus Papua. [sm/ka]