Tautan-tautan Akses

AIDS dan Anak Yatim Jadi Beban Lansia di Zimbabwe


ARSIP – Anak-anak tidur siang di panti asuhan di Harare, Zimbabwe (foto: AP Photo/Svangirayi Mukwazhi)
ARSIP – Anak-anak tidur siang di panti asuhan di Harare, Zimbabwe (foto: AP Photo/Svangirayi Mukwazhi)

Jabulani Zilawe kehilangan seluruh 11 anak-anaknya akibat AIDS. Sekarang tinggal ia seorang diri yang harus mengurus cucu-cucunya yang menjadi yatim.

“Inilah hidup saya sekarang – dengan semua cucu-cucu saya. Orang tua mereka telah tiada. AIDS merenggutnya. Saya punya 11 anak, enam di antaranya perempuan yang pindah ke Afrika Selatan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, namun semuanya kembali dalam keadaan mati – satu demi satu,” ujar Zilawe kepada Thomson Reuters Foundation sambil mengamati cucu-cucunya yang masih kecil yang berlarian di sekitarnya.

Zilawe tinggal di sebuah gubuk yang sudah bobrok di luar Norton, sebuah kota yang berjarak 40 kilometer dari Harare, ibukota Zimbabwe.

Kamar tidurnya dibangun dari lumpur dengan atap rumbia dekat 12 gundukan yang menandai makam istri dan anak-anaknya.

“Anak-anak lelaki saya, yang menjadi penambang emas ilegal, juga menderita AIDS sebelum kematian merenggut mereka. Anda dapat lihat kuburan mereka dari sini; satunya lagi adalah makam istri saya, yang meninggal kurang lebih dua tahun yang lalu, membuat saya menjadi yang bertanggung jawab untuk mengurus cucu-cucu saya yang menjadi yatim,” ujar Zilawe, 76 tahun.

Di dekatnya, beberapa dari cucunya berebut mangkuk berisi sisa bubur. Tak satupun yang bersekolah; sebaliknya, seperti kakeknya, masing-masing anak melewati hari di gubuk, tidak melakukan apapun, dan mencari tempat untuk bersantai di bawah sinar matahari.

Beberapa di antaranya yang masih kecil sering kali jatuh sakit – unar Zilawe, yang tidak tahu apakah mereka membawa virus yang telah merenggut nyawa orang tua mereka atau tidak.

“Saya tidak tahu apa-apa tentang status HIV dari cucu-cucu saya; bisa jadi mereka terinfeksi virus bisa juga tidak,” ujarnya.

Pengasuh yang jatuh sakit

Hidupnya penuh cobaan. Namun seperti juga banyak orang Zimbabwe di rentang usia Zilawe tidak hanya bertindak sebagai pengasuh namun juga adalah penderita AIDS.

“Menyedihkan. Mengkhawatirkan saat anda melihat laju perkembangan HIV/AIDS di antara lansia di sini. Persentase lansia usia 60 tahun aau lebih dan terinfeksi virus HIV sekitar 15,3 persen,” ujar Marck Chikanza, koordinator nasional untuk National Age Network of Zimbabwe (NANZ), sebuah organisasi yang mengakomodasi kebutuhan lansia.

Menurut NANZ lebih dari 115.000 lansia hidup dengan HIV dan AIDS di Zimbabwe, satu dari 10 dari 1,2 juta warga Zimbabwe menurut PBB hidup dengan HIV/AIDS.

“Ada penurunan laju orang yang terinfeksi HIV di seluruh kelompok usia kecuali kelompok usia di atas 50 tahun, dimana ada peningkatan dari 13,8 persen ke sekitar 14,3 persen,” ujar Tadiwa Pfupa-Nyatanga dari organisasi NAC, yang mengkoordinir respon pemerintah terhadap HIV/AIDS.

Menurut statistik resmi tahun 2016, sekitar 185.000 anak Zimbabwe yang menjadi yatim akibat kematian orang tuanya yang mengidap AIDS, tinggal dibawah pengasuhan kakek dan neneknya – orang-orang seperti Zilawe, yang harus berjuang untuk mengatasi tantangan.

“Sebagian besar lansia di sini hampir tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi atau membeli makanan untuk kebutuhan mereka sendiri. Dan sebagian besar anak-anak yatim yang merema asuh masih terlalu muda untuk dapat bekerja untuk memberi makan keluarganya. Dan bebanya, pada akhirnya, jatuh pada kakek aau nenek – yang dalam pengertian sebenarnya, juga adalah tanggungan,” ujar Anatalia Mabeza, ketua kelompok pendukung HIV/AIDS di Norton, kepada Thomson Reuters Foundation.

Beberapa dari anak yatim itu berujar kakek dan nenek hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan bantuan medis terkait masalah kesehatan yang diwariskan pada mereka.

“Secara terang-terangan ibu saya berkata sebelum ia meninggal bahwa saya dilahirkan dengan kondisi mengidap HIV/AIDS, namun sekarang saat saya tinggal dengan nenek saya, yang berusia 60-tahunan, ia tidak pernah peduli untuk memantau kondisi saya,” ujar Lillian Muranda, 14 tahun, yang tinggal di pemukiman informal Caledonia, 25 kilometer sebelah timur Harare.

'Saya disantet’

“Ia mengatakan saya disantet, namun saya selalu sakit dan lebih sering tidak masuk sekolah,” ujar Muranda pada Thomson Reuters Foundation.

Saat Muranda menyelidiki lebih jauh tentang kisah santet ini, neneknya, Agnes Muranda, bergegas masuk untuk turun tangan: “Kenapa kamu ganggu dia? Kamu wartawan sangat tidak sopan. Kamu mau mengesampingkan santet dari penyakit yang diderita cucu saya. Jangan ganggu kami.”

Kepercayaan takhayul seperti ini menghambat upaya pemerintah untuk menanggulangi AIDS, dan bahkan apabila kakek dan nenek memiliki informasi yang cukup dan ada niat besar, tidak selalu diikuti dengan bantuan.

“Kami tidak memiliki sarana untuk mendukung cucu-cucu kami yang menjadi yatim karena AIDS yang merenggut nyawa orang tuanya selain dari obat yang diterima dari pusat kesehatan milik pemerintah. Apa yang hanya dapat kami lakukan adalah memastikan bahwa mereka meminum obatnya. Harap diingat, kami juga korban dari ekonomi yang bobrok dan di antara lansia banyak yang hidup dengan HIV,” ujar Jonathan Mandaza, ketua Zimbabwe Older Persons' Organization.

Dalam pandangan Zilawe, ia ditolak karena lansia dianggatp tidak relevannamun ia tetap harus mengurus apa yang diwariskan oleh anak-anaknya yang sudah tiada.

“Sebagai orang tua, kami tidak diajak musyawarah terkait persoalan HIV dan AIDS, namun juga ada salah konsepsi yang kuat bahwa masalah seks tidak ada kaitannya dengan kami. Seperti, tempat untuk memperoleh kondom dan berbagai layanan menyangkut HIV/AIDS yang hanya memperhatikan orang-orang muda, dan mengesampingkan kami,” ujar Zilawe. [ww/fw]

XS
SM
MD
LG