Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan kebebasan pers di Tanah Air sepanjang 2023 berada dalam kondisi yang krisis. Sekjen AJI Indonesia, Ika Ningtyas, menilai krisis kebebasan pers dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan media yang cukup kuat terhubung langsung dengan partai politik maupun oligarki bisnis tertentu. Hal itu menjadi tantangan serius terhadap independensi ruang redaksi.
“Ini menjadi tantangan (karena) ada intervensi pada upaya memproduksi, tidak ada independensi,” kata Ika dalam peluncuran laporan situasi kebebasan pers 2023 secara daring, Rabu (31/1).
Krisis kebebesan pers di Indonesia, tambahnya, juga dipengaruhi oleh model bisnis media massa yang berbasis klik (click-bites), yang masih cukup dominan, terutama media daring. Hal itu bisa berdampak terhadap produk jurnalisme yang bermutu rendah.
“Ini bisa mendorong bagaimana media-media yang memproduksi jurnalisme bermutu rendah, yang justru mengamplifikasi propaganda, disinformasi, dan narasi kebencian di tengah manipulasi informasi yang cukup masif di media sosial,” ujar Ika.
Menurut AJI Indonesia, krisis kebebasan pers juga terlihat dari tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis selama 2023. Setidaknya hampir 1.000 jurnalis dan pekerja media menjadi korban PHK yang dilakukan perusahaan media.
“Ini membuat jurnalis masih berada dalam situasi kesejahteraan yang rendah sementara masa depan yang kian tak pasti,” ungkap Ika.
AJI Indonesia telah mencatat situasi kesejahteraan 428 jurnalis dari seluruh daerah di Indonesia yang bekerja di berbagai platform. Hasilnya ada 32,8 persen jurnalis yang bekerja tanpa perjanjian kerja, sebagian besar berstatus kontrak. Lalu, ada juga jurnalis yang diupah berdasarkan satuan berita yang dihasilkan. Beberapa perusahaan media bahkan mengupah jurnalis mulai dari Rp15 ribu hingga Rp30 ribu per berita.
Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis
Krisis terhadap kebebasan pers di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2023. AJI Indonesia mencatat ada 89 kasus kekerasan. Sebanyak 83 jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban. Jumlah kasus kekerasan itu naik dibandingkan 2022 dengan 61 kasus dan 41 kasus pada 2021.
Adapun 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis paling tinggi berupa teror dan intimidasi dengan 26 kasus, kekerasan fisik 18 kasus, serangan digital 14 kasus, larangan liputan 10 kasus, penghapusan hasil liputan tujuh kasus, perusakan atau perampasan alat kerja lima kasus, kekerasan seksual lima kasus, dan kriminalisasi maupun gugatan perdata empat kasus.
AJI Indonesia memerinci pelaku kekerasan didominasi dari 36 aktor negara yang terdiri dari 17 polisi, 13 aparatur pemerintah, lima TNI, dan 1 jaksa. Lalu, ada 29 pelaku kekerasan non-aktor negara terdiri dari 13 warga, tujuh perusahaan, empat ormas, empat pekerja profesional, dan satu partai politik. Namun, ada 24 pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang tidak dapat diidentifikasi utamanya pada kasus serangan digital.
Dari 89 kasus yang terjadi di pada 2023, 20 kasus di antaranya telah dilaporkan ke polisi. Namun sebagian besar kasus yang dilaporkan itu belum ada tindak lanjutnya.
Bukan hanya itu, AJI Indonesia juga mencatat sejumlah kasus serangan terhadap narasumber pada tahun lalu, yakni empat kasus dengan lima orang menjadi korban. Serangan terhadap narasumber salah satunya dialami oleh eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.
“Kami masih mencatatat kekerasan atau represif terhadap jurnalis, media, dan narasumber semakin masih tinggi dibandingkan tahun 2022,” jelas Ika.
Situasi Kebebasan Pers Sedang Tidak Baik
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Masduki, mengatakan laporan yang dikeluarkan oleh AJI Indonesia menggambarkan situasi kebebasan pers di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja.
“Ketika kondisi kebebasan pers kita mengalami represi yang luar biasa. Kebebasan pers sebenarnya paralel dengan kondisi politik kita yang sedang mengalami sering disebut dengan regresi atau kemunduran,” ujarnya.
Berkaca dari situasi krisis kebebasan pers di Indonesia salah satunya soal soal upah layak bagi jurnalis. Menurut Masduki diperlukan peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem jurnalisme yang berkualitas.
“Menyediakan dana abadi untuk media dengan jurnalisme yang baik. Nanti dikelola oleh tokoh-tokoh independen melalui lembaganya. Lalu, menyediakan dan mengelola dana-dana abadi dari perusahaan atau negara untuk jurnalisme berkualitas. Karena hanya ini dibutuhkan sekarang dan ke depan. Hanya dibutuhkan ekosistem untuk menunjang itu semua,” jelasnya.
Sementara itu dosen senior dari Monash University Indonesia, Ika Idris, mengatakan mayoritas media massa di Indonesia mengandalkan model bisnis iklan dari platform digital. Model bisnis itu kerap menjadi bagian dari ekosistem propaganda yang turut membuat krisis kebebesan pers di Indonesia.
Atas hal tersebut organisasi pers di Indonesia diminta untuk mengadvokasi soal perbedaan insentif yang dihasilkan media massa yang mengandalkan iklan dari platform digital terkait produk jurnalistik atau konten yang diverifikasi.
“Organisasi pers agar mengadvokasi ke Google bahwa harus ada perbedaan insentif antara berita atau konten yang diverifikasi dan tidak,” katanya. [aa/em]
Forum