Frans Wandik, pemuda asal Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan, baru dua bulan bergabung sebagai jurnalis warga (citizen journalist). Ia memutuskan menjadi pewarta dadakan setelah mengikuti pelatihan jurnalistik pada Maret 2023. Dua laporannya yang mengulas tentang bencana longsor dan penggunaan dana desa termuat di situs web lokal nokenwene.com, yang banyak melaporkan kisah-kisah terkait layanan publik di kawasan pelosok itu.
“Daerah saya itu masih tertinggal, jadi saya ingin membangun daerah saya itu dengan saya punya tulisan-tulisan, dengan saya punya berita-berita,” kata Frans, ketika berbincang dengan VOA.
Keinginan Frans menjadi jurnalis sudah muncul sejak lama seiring dengan kegemarannya membaca berita di media. Namun, dia tidak memahami bagaimana caranya menjadi jurnalis dan bisa membuat laporan berita. Karena itu, begitu seorang kawan mengabar bahwa akan ada pelatihan jurnalis warga, dia tidak bepikir dia kali untuk bergabung.
“Sekarang saya menikmati, dan ingin menulis lebih lagi,” kata Frans.
Di Tolikara, pemerintah daerah dinilai Frans cukup terbuka untuk peliputan. Tema-tema yang menurutnya bisa ditulis, mulai dari problem pembangunan hingga kesejahteraan masyarakat. Sebagai jurnalis warga, Frans berhadapan sendiri dengan berbagai persoalan itu, termasuk ketika menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
“Kadang ada kendala meliput di jalan. Kalau mau keluar ke setiap distrik itu harus naik kendaraan. Kadang kendaraan tidak bisa masuk ke distrik itu, karena jalannya belum sampai,” ujarnya.
Menghubungi narasumber malului telepon juga bukan perkara mudah. Kualitas sambungan tidak terlalu baik, seperti ketika VOA berbincang dengannya melalui telepon seluler.
Bagaimana Nokenwene Lahir
Laman berita nokenwene.com sendiri terbit melalui proses panjang, sebagaimana dipaparkan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) selaku salah satu inisiator dalam rilisnya.
Laman nokenwene.com dikelola pertama kali oleh 16 jurnalis warga di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Enambelas orang ini, yang terdiri dari ibu rumah tangga, pemuda gereja, pegawai swasta, guru hingga perawat di Puskesmas, sebelumnya mengikuti pelatihan jurnalis warga yang diselenggarakan PPMN, bekerja sama dengan Kinerja – USAID pada 4 – 6 September 2013 di Wamena.
Jurnalis warga di Wamena ini, menginspirasi gerakan serupa di wilayah lain. Pada 2016, di Dekai, Kabupaten Yahukimo terbentuk jurnalis warga bernama Sagu Yahukimo. Tiga tahun kemudian, pelatihan jurnalis warga juga diselenggarakan di Kabupaten Nduga dan melahirkan komunitas jurnalis warga Ninmin Nduga. Sayang, karena konflik bersenjata berkepanjangan, jurnalis warga Nduga menghadapi kesulitan luar biasa untuk berkarya.
Jurnalis warga kemudian muncul di kabupaten-kabupaten lain secara pribadi, seperti dari Kabupaten Yalimo, Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Lanny Jaya.
Program jurnalisme warga PPMN 2021 mengangkat tema pelayanan publik. Jurnalis warga, khususnya di Wamena konsisten melaporkan pendapat warga yang jarang tersuarakan atau kurang mendapat tempat di media massa.
Salah satu kisah manis kiprah jurnalis warga, seperti dipaparkan di laman PPMN, adalah ketika mereka mampu mendesak Bupati Jayawijaya mengisi sejumlah jabatan kepala dinas yang kosong hampir empat tahun. Pelayanan publik dan potensi korupsi, dengan ketiadaan kepala dinas ini meresahkan masyarakat. Namun media arus utama di Wamena tidak ada yang mengkritisi persoalan itu.
Jurnalis warga, melalui nokenwene.com, menulis laporan komprehensif terkait hal ini. Laporan yang menjadi perbincangan hangat warga, termasuk di kalangan aparatur sipil ini, akhirnya mendorong bupati memilih dan melantik sejumlah kepala dinas. Langkah ini, tentu saja mampu memperbaiki kualitas layanan publik, dan semua berawal dari laporan jurnalis warga di nokenwene.com.
Kolaborasi Laporan Jurnalistik
Saat ini, ada sekitar 30 jurnalis warga tergabung di nokenwene.com, kata koordinator komunitas ini, Onoy Lokobal. Seluruh kabupaten di kawasan pegunungan Papua, atau yang dulu disebut sebagai wilayah adat Lapago memiliki perwakilan. Secara administrarif, mayoritas daerah ini tergabung dalam provinsi baru, Papua Pegunungan.
Bagi Onoy, jurnalis warga penting karena keterbatasan akses jurnalis media arus utama.
“Karena teman-teman jurnalis media-media mainstream yang ada ini, belum tentu menjangkau dan meng-update semua situasi, khususnya kita di jurnalis warga ini yang fokus di pelayanan publik,” ujar Onoy, yang mulai bergabung pada 2017.
Seperti juga Frans, Onoy menyebut kondisi geografis dan kualitas jaringan telepon menjadi persoalan besar.
Jurnalis warga bekerja secara suka rela. Mereka bergabung karena kesadaran bahwa Papua membutuhkan transparansi informasi. Mereka juga meyakini bahwa layanan publik bisa diperbaiki, dengan laporan-laporan kritis dari lapangan, terutama suara-suara dari masyarakat pelosok.
“Setiap bulan mereka ajukan topik topik yang mereka mau tulis, sesuai dengan kondisi pelayanan publik yang mereka lihat dan yang ada,” tambah Onoy.
Selain laporan terencana, laporan terkait peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung juga diberi tempat. Standar laporan ditetapkan, sesuai pelatihan dasar yang telah diberikan. Konfirmasi kepada pejabat terkait, merupakan tantangan besar sehingga biasanya mereka berkolaborasi dalam menyajikan laporan.
“Kadang mereka merasa kesulitan setelah menyampaikan informasi di lapangan, setelah itu mau konfirmasi ke pihak-pihak terkait atau dinas terkait ataupun pihak pemerintah ini agak susah,” papar Onoy.
Pada posisi seperti inilah, jurnalis warga senior membantu upaya konfirmasi untuk menjadikan laporan jurnalistik lebih berkualitas.
Jurnalis warga dan nokenwene menjadi penting, karena media ini memberikan ruang bagi nilai-nilai demokrasi dan layanan publik. Sementara menurut Onoy, keterbukaan informasi yang sangat penting belum diimbangi kesadaran masyarakat terkait haknya memperoleh informasi publik. Nokenwene berjuang, agar muncul kesadaran tentang pentingnya keterbukaan informasi publik itu.
Namun, ini tentu menghadapi sejumlah tantangan, khususnya kesadaran masyarakat tentang penyampaian informasi itu sendiri. Narasumber mau berbagi informasi penting yang terjadi wilayah mereka tetapi kadang menolak untuk diwawancarai. Takut, adalah salah satu alasan yang dominan.
Persoalan lain adalah soal status jurnalis warga, yang dirasa kurang kuat ketika berhadapan dengan pejabat publik. Karena itu, konfirmasi untuk isu-isu tertentu, harus dilakukan oleh anggota komunitas, yang juga menjadi jurnalis di media arus utama.
Salah satu yang menjalankan fungsi itu adalah Ronny Hisage, jurnalis warga yang juga pewarta Radio Republik Indonesia (RRI)
“Berita-berita dari teman-teman jurnalis warga yang terbit di nokenwene itu ada yang perlu dikonfirmasi. Karena kebetuan saya di dua kaki, di komunitas jurnalis warga dan di RRI, maka kalau ada berita yang perlu dikonfirmasi, saya yang konfirmasi,” ujar Ronny.
Onoy Lokobal, selaku koordinator jurnalis warga di Papua Pegunungan mengaku mereka membutuhkan lebih banyak pelatihan jurnalistik untuk meningkatkan kualitas laporan. Peran lembaga eksternal sangat dibutuhkan, karena prakarsa warga ini tidak memiliki cukup pendanaan.
Jurnalisme Perlawanan
Pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Dr Masduki meluruskan sejumlah pandangan yang selama ini mengarah pada jurnalisme warga.
Pertama, kata dia, jurnalisme warga bukanlah sekedar perayaan di mana masyarakat berkesempatan memproduksi berita, dan mempublikasikannya.
“Sebetulnya, kita bicara jurnalisme warga itu bicara perlawanan tehadap jurnalisme mainstream. Bahwa dia menjadi alternatif dari bagaimana informasi yang tidak muncul di media mainstream,” kata Masduki.
Dalam kasus nokenwene di Papua, jurnalisme warga berkesempatan mengkritisi perilaku aparat negara dan konflik yang melibatkan dua kubu. Daya kritis itu sesungguhnya menjadi semangat utama jurnalisme warga, yang mencerminkan bagaimana warga berdaya sebagai warga negara.
“Jadi bukan semata-mata jurnalis, tapi dia warga negara. Makanya konsep aslinya bukan citizen journalism, tetapi civic journalism. Jadi civility-nya itu,” tambah penulis buku Penyiaran Indonesia: Dari Otoriter ke Liberal yang terbit pada 2007 ini.
Faktor kedua dari jurnalisme warga adalah lingkungan sosial politik yang mendukung. Di Indonesia, dukungan yang dibutuhkank kurang tersedia berbeda dengan negara lain seperti misalnya Amerika Serikat. Tidak hanya soal keterampilan teknis jurnalisme, menurut Masduki, tetapi dukungan pendanaan juga menjadi faktor penting.
“Pendanaan cukup bisa diberikan oleh pihak eksternal. Walapun sebenarnya syukur-syukur itu muncul dari warga setempat. Jadi berangkat dari keberdayaan komunitas, dibiayai komunitas, output-nya jurnalisme yang mengadvokasi masalah komunitas setempat,” tandas dosen yang juga berkiprah di Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) ini.
Faktor ketiga adalah proteksi regulasi, di mana UU Pers di Indonesia belum cukup memberi ruang bagi jurnalisme warga. Ada semacam keyakinan di Indonesia, bahwa jurnalis adalah mereka yang bekerja di media-media arus utama. Padahal, jurnalisme warga, seperti di Papua ini, juga harus diakui.
Jurnalis warga berhak bekerja seperti jurnalis pada umumnya, sehingga pejabat publik harus menghargai dan melayani mereka. Di sisi lain, jurnalis warga juga harus bekerja mematuhi kode etik jurnalistik. Jurnalis warga menerima mandat dari warga negara untuk menyusun laporan-laporan jurnalistik. Karena itu, jurnalis warga juga berhak mengikuti sertifikasi jurnalis, sebagaimana jurnalis lain di Tanah Air.
Di Indonesia, jurnalisme warga sempat mendapat tempat di media arus utama ketika sejumlah media, membuka ruang citizen journalism. Sayangnya, kata Masduki, sistem yang ditetapkan tidak sepenuhnya tepat, karena media arus utama masih memegang hak kurasi karya jusnalis warga sepenuhnya.
Dalam kasus nokenwene.com, yang lahir dari pelatihan lembaga ternama seperti PPMN, Masduki melihat masih dibutuhkan kepastian etisnya. Susunan redaksinya harus jelas, saluran bagi pembaca untuk menyampaikan masukan atau kritikan harus tersedia, dan keterbukaan pengelolaan pendanaan.
Sejumlah upaya pembenahan masih dibutuhkan untuk mendukung berkembangnya jurnalisme warga.
“Ekosistemnya. Harus ada lingkungan regulasi, lingkungan pendanaan, kemudian cara melihat atau persepsi tentang jurnalisme warga itu sendiri yang harus kita ubah. Kita tempatkan dia lebih mulia dari sekedar orang biasa mengekspresikan peristiwa. Sebetulnya dia bisa ditransformasikan menjadi jurnalisme publik, yang di Indonesia sangat-sangat dibutuhkan,” tegas Masduki. [ns/ah]
Forum