JAKARTA —
Tingginya curah hujan yang terjadi selama bulan Januari 2014 memicu terjadinya inflasi di tanah air. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, meski stok beberapa komoditas pangan tersedia, bencana banjir menyebabkan distribusi terganggu sehingga komoditas pangan yang dibutuhkan masyarakat tidak mencukupi.
BPS mencatat inflasi pada bulan Januari 2014 sebesar 1,07 persen.Kepada pers di Jakarta, Senin (3/2), Kepala BPS, Suryamin menjelaskan dari 82 kota di Indonesia yang didata BPS, mayoritas mengalami inflasi. Kepala BPS, Suryamin menambahkan inflasi bulan Januari 2014 termasuk tinggi karena diatas satu persen.
“82 kota, 78 kita mengalami inflasi, dan empat kota mengalami deflasi, walaupun dalam suasana curah hujan yang begitu tinggi distribusi terhambat, tapi masih ada yang deflasi untuk daerah-derah yang memang tidak terlalu kena dampak cuaca yang tidak bagus pada bulan Januari, inflasi tertinggi terjadi di Pangkal Pinang, inflasi terendah di Pontianak, sedangkan yang terjadi deflasi adalah Sorong," jelas Suryamin.
"Memang pada bahan makanan sekarang yang menyebabkan inflasi 1,07 persen itu yang cukup besar walaupun untuk beberapa komoditas sebetulnya pasokannya atau jumlahnya sih ada tapi distribusinya yang terganggu,” tambahnya.
Meski kalangan pengamat pesimis pemerintah mampu mencapai target inflasi tahun ini sebesar enam persen, pemerintah belum berniat merevisi target tersebut. Sementara realisasi inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen, meleset dari target semula sebesar 7,2 persen.
Inflasi Januari tahun ini sebesar 1,07 persen lebih tinggi dibanding inflasi periode sama tahun lalu sebesar 1,03 persen. Inflasi Januari tahun lalu juga disebabkan karena bencana banjir.
Kepada VOA, pengamat pertanian dari Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengatakan pemerintah tidak pernah belajar dari bencana-bencana sebelumnya. Ia mengingatkan bencana banjir terjadi setiap tahun yang seharusnya dijadikan pembelajaran bagi pemerintah untuk mengatasi berbagai hal sebagai antisipasi termasuk distribusi komoditas pangan.
Menurut Bustanul Arifin, selain konsumen yang menjadi korban dampak negatif bencana banjir karena sulit mendapat kebutuhan pangan, para petani juga dirugikan. Pemerintah tidak mampu mengendalikan harga saat bencana terjadi sehingga kenaikan harga tidak dapat dihindari.
Menurutnya dalam kondisi terjadi bencana, petani sangat membutuhkan peran pemerintah misalnya menetapkan harga dasar sehingga petani dapat memperkirakan harga jual komoditas yang ditawarkan.
“Ya sulitlah yang pasti memantau langkah pertamanya. Kalau mengendalikan dalam konsep, jangan ada sampai kosong. Make sure infrastruktur jalan, paling normatif seperti itu, jangan ada blok-blokan. Tapi kalau sampai kita berpikir akan ada harga dasar lalu ada pengawas, menurut saya nggak akan karena nggak mampu,” kata Bustanul Arifin.
Pada kesempatan berbeda, Ari Ujianto dari Urban Poor Consortium (UPC) menilai, dampak bencana banjir menyulitkan masyarakat termasuk masyarakat miskin terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan. Menurutnya jika pemerintah tidak ingin stok pangan, perekonomian, transportasi dan kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir, pemerintah harus berupaya mengatasi banjir secara komprehensif.
Ari Ujianto menambahkan mengantisipasi banjir terutama di kota Jakarta harus mulai dari pembenahan wilayah pemukiman dan penyelesaiannya harus target jangka panjang. Ia berharap rencana Pemprov DKI Jakarta merelokasi penduduk yang bermukim di bantaran sungai tidak hanya wacana.
“Itu terkait dengan pembenahan kampung-kampung formal, Jadi ini persoalan murni kebijakan bahwa kampung-kampung yang informal, bantaran kali yang sering terkena banjir dan sebagainya itu memang tidak menjadi fokus dari perhatiannya pemerintah DKI sekarang ini. Mereka-mereka yang dipemukiman informal itu bukan bagian dari warga mereka, jadi ya memang nggak perlu harus ada pembenahan," jelas Ari Ujianto.
"Kalau mereka melakukan pembenahan di wilayah-wilayah informal itu artinya dia mengakui mereka sebagai warga Provinsi DKI, menangani banjir itu 'kan menangani secara komprehensif pemukimannya seperti apa, tidak hanya sekedar data,” lanjutnya.
BPS mencatat inflasi pada bulan Januari 2014 sebesar 1,07 persen.Kepada pers di Jakarta, Senin (3/2), Kepala BPS, Suryamin menjelaskan dari 82 kota di Indonesia yang didata BPS, mayoritas mengalami inflasi. Kepala BPS, Suryamin menambahkan inflasi bulan Januari 2014 termasuk tinggi karena diatas satu persen.
“82 kota, 78 kita mengalami inflasi, dan empat kota mengalami deflasi, walaupun dalam suasana curah hujan yang begitu tinggi distribusi terhambat, tapi masih ada yang deflasi untuk daerah-derah yang memang tidak terlalu kena dampak cuaca yang tidak bagus pada bulan Januari, inflasi tertinggi terjadi di Pangkal Pinang, inflasi terendah di Pontianak, sedangkan yang terjadi deflasi adalah Sorong," jelas Suryamin.
"Memang pada bahan makanan sekarang yang menyebabkan inflasi 1,07 persen itu yang cukup besar walaupun untuk beberapa komoditas sebetulnya pasokannya atau jumlahnya sih ada tapi distribusinya yang terganggu,” tambahnya.
Meski kalangan pengamat pesimis pemerintah mampu mencapai target inflasi tahun ini sebesar enam persen, pemerintah belum berniat merevisi target tersebut. Sementara realisasi inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen, meleset dari target semula sebesar 7,2 persen.
Inflasi Januari tahun ini sebesar 1,07 persen lebih tinggi dibanding inflasi periode sama tahun lalu sebesar 1,03 persen. Inflasi Januari tahun lalu juga disebabkan karena bencana banjir.
Kepada VOA, pengamat pertanian dari Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengatakan pemerintah tidak pernah belajar dari bencana-bencana sebelumnya. Ia mengingatkan bencana banjir terjadi setiap tahun yang seharusnya dijadikan pembelajaran bagi pemerintah untuk mengatasi berbagai hal sebagai antisipasi termasuk distribusi komoditas pangan.
Menurut Bustanul Arifin, selain konsumen yang menjadi korban dampak negatif bencana banjir karena sulit mendapat kebutuhan pangan, para petani juga dirugikan. Pemerintah tidak mampu mengendalikan harga saat bencana terjadi sehingga kenaikan harga tidak dapat dihindari.
Menurutnya dalam kondisi terjadi bencana, petani sangat membutuhkan peran pemerintah misalnya menetapkan harga dasar sehingga petani dapat memperkirakan harga jual komoditas yang ditawarkan.
“Ya sulitlah yang pasti memantau langkah pertamanya. Kalau mengendalikan dalam konsep, jangan ada sampai kosong. Make sure infrastruktur jalan, paling normatif seperti itu, jangan ada blok-blokan. Tapi kalau sampai kita berpikir akan ada harga dasar lalu ada pengawas, menurut saya nggak akan karena nggak mampu,” kata Bustanul Arifin.
Pada kesempatan berbeda, Ari Ujianto dari Urban Poor Consortium (UPC) menilai, dampak bencana banjir menyulitkan masyarakat termasuk masyarakat miskin terutama dalam memenuhi kebutuhan pangan. Menurutnya jika pemerintah tidak ingin stok pangan, perekonomian, transportasi dan kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir, pemerintah harus berupaya mengatasi banjir secara komprehensif.
Ari Ujianto menambahkan mengantisipasi banjir terutama di kota Jakarta harus mulai dari pembenahan wilayah pemukiman dan penyelesaiannya harus target jangka panjang. Ia berharap rencana Pemprov DKI Jakarta merelokasi penduduk yang bermukim di bantaran sungai tidak hanya wacana.
“Itu terkait dengan pembenahan kampung-kampung formal, Jadi ini persoalan murni kebijakan bahwa kampung-kampung yang informal, bantaran kali yang sering terkena banjir dan sebagainya itu memang tidak menjadi fokus dari perhatiannya pemerintah DKI sekarang ini. Mereka-mereka yang dipemukiman informal itu bukan bagian dari warga mereka, jadi ya memang nggak perlu harus ada pembenahan," jelas Ari Ujianto.
"Kalau mereka melakukan pembenahan di wilayah-wilayah informal itu artinya dia mengakui mereka sebagai warga Provinsi DKI, menangani banjir itu 'kan menangani secara komprehensif pemukimannya seperti apa, tidak hanya sekedar data,” lanjutnya.