Menkopolhukam Wiranto mengatakan satu anggota TNI dan satu orang sipil meninggal akibat serangan panah dan parang saat aksi di halaman kantor Bupati Deiyai, Papua, Rabu (28/8) siang. Enam orang aparat yakni dua anggota TNI dan empat polisi juga mengalami luka-luka dalam aksi tersebut.
Wiranto menjelaskan situasi di Papua pada hari ini, Kamis (29/8) masih memanas diiringi dengan berkembangnya demo di berbagai wilayah Papua. Di Jayapura, kata Wiranto, Gedung Majelis Rakyat Papua dibakar dan rumah tahanan di sana dijebol massa.
"Senjata peluru tajam juga tidak boleh digunakan. Tapi jangan sampai dimanfaatkan oleh pendemo atau pendompleng untuk mencelakakan aparat keamanan, diparang, dipanah. Ini tidak manusiawi, bukan pendemo itu," kata Wiranto di Gedung DPR, Kamis (29/8).
Wiranto menambahkan pemerintah menyesalkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam aksi di Deiyai kemarin. Ia juga sudah menginstruksikan kepada aparat untuk mengedepankan pendekatan persuasif guna mencegah korban jiwa dan luka-luka dalam aksi-aksi di Papua.
Namun, ia menegaskan pemerintah akan menindak tegas orang-orang yang menurutnya melanggar hukum dalam aksi-aksi terkait Papua. Termasuk orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam aksi-aksi Papua.
Sementara terkait tuntutan referendum, Wiranto berpendapat wacana tersebut tidak perlu disampaikan lagi. Sebab, kata dia, berdasarkan New York Agreement 1962, wilayah Papua sudah masuk menjadi bagian NKRI. Ditambah lagi, pemerintah Jokowi sudah berlaku adil dalam pembagian pendapatan daerah.
"Menurut perhitungan APBN kita, itu pendapatan daerah yang tersedot ke pusat sekitar Rp26 triliun pada tahun lalu. Tapi dana pembangunan yang digelontorkan ke Papua dan Papua Barat sekitar Rp92 triliun," tambahnya.
Wiranto menuturkan ia telah berdialog dengan tokoh masyarakat, adat dan tokoh agama di Papua untuk membuat situasi di Papua menjadi damai. Namun, soal pemblokiran internet, Wiranto belum dapat memastikan akan dicabut. Ia hanya berkilah kebijakan tersebut akan dicabut jika situasi di Papua sudah aman.
Menanggapi hal tersebut, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mendesak pemerintah segera mencabut kebijakan pemblokiran akses internet di Papua. Hal tersebut berdampak pada simpang siurnya jumlah korban jiwa di Deiyai, yang sebelumnya beredar berjumlah enam orang sipil tewas. Kebijakan ini juga menyulitkan jurnalis dan pemantau HAM untuk memverifikasi informasi-informasi yang beredar di Papua.
"Ini kan sebenarnya dampak dari terputusnya internet, pasti terjadi simpang siur informasi. Karena internet saat ini menjadi satu-satunya alat yang membuat informasi menjadi jelas," jelas Ade Wahyudin saat dihubungi VOA.
Ade Wahyudin mengatakan lembaganya bersama masyarakat sipil lainnya akan menempuh langkah hukum jika pemerintah tidak segera mencabut pemblokiran akses data seluler di Papua. [sm/uh]