Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas terus menuai kontroversi. Berlokasi di silang Monumen Nasional Patung Kuda kawasan Thamrin Jakarta Jum’at (28/7), lebih kurang ada 500an orang dari Front Pembela Islam dan beberapa ormas lainnya, melakukan aksi unjuk rasa menolak Perppu Nomor 2 tahun 2017.
Aksi yang mereka sebut aksi 287 ini, dilakukan bersamaan dengan diajukannya judicial review atau peninjauan kembali Perppu Nomor 2 tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam orasinya, para pendemo meminta agar Mahkamah Konstitusi bersikap independen dalam memutus judicial review Perppu Nomor 2 tahun 2017.
"Kepada Mahkamah Konsitusi pertimbangkanlah dengan benar-benar usaha judicial review yang dilakukan mengenai Perppu yang sangat kontroversial itu. Hindarkan jauh-jauh dari kepentingan kekuasaan rezim," demikian pernyataan dalam aksi itu.
Salah satu kuasa hukum ormas, Dahlan Pido di gedung Mahkamah Konstitusi menjelaskan, pihaknya sudah mendaftarkan pengajuan judicial review Perppu Nomor 2 tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi.
"Ya tadi itu kan audiensi dengan panitera MK. Terus dari situ ada pemaparan sedikit bahwa tujuan kita untuk me-judicial review Perppu Nomor 2 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Jokowi," ujar Dahlan.
Lebih lanjut, Dahlan mempermasalahkan kewenangan penuh pembubaran sebuah ormas, yang bisa dilakukan oleh Pemerintah. Perppu itu mengatur hak dari Pemerintah untuk membubarkan ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945, tanpa proses pengadilan.
"Karena yang krusial itu kan kalau ada penyelewengan itu langsung Pemerintah bisa membubarkan. Kalau dulu kan harus lewat pengadilan. Pengadilan yang memutuskan," imbuhnya.
Pemerintah beberapa waktu lalu secara resmi telah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan menggunakan Perppu Nomor 2 tahun 2017. HTI adalah ormas pertama yang dibubarkan Pemerintah dengan menggunakan produk aturan Perppu Nomor 2 tahun 2017.
Muhammad Hariadi Nasution, salah satu kuasa hukum, mempertanyakan definisi ormas yang anti-Pancasila dan hak ormas yang dibubarkan untuk mengklarifikasi.
"Munculnya Perppu ini tidak ada kebutuhan mendesak atau genting oleh Pemerintah. Ada apa ini di balik itu. Itu yang kita bingung kan. Nah disitu kan ormas yang anti-Pancasila. Sebutkann dong. Pernah tidak diklarifikasi. Misalnya HTI itu pernah tidak diklarifikasi. Kita lihat apa nih agenda di balik ini?," tanyanya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) mencabut status badan hukum yang dimiliki organisasi HTI. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemkumham Freddy Harris Rabu (19/7) pekan lalu menjelaskan, pencabutan status hukum atas HTI dilakukan berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
"Untuk merawat eksistensi Pancasila sebagai ideologi, Undang-Undang Dasar 1945 dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu nomor 2 tahun 2017 terhadap status badan hukum perkumpulan HTI dicabut," tukas Freddy.
Dengan pencabutan Badan Hukum HTI maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu No 2 Tahun 2017 Pasal 80A. Freddy mengatakan jika ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan keputusan ini dipersilakan untuk mengambil upaya hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk diketahui, gugatan Perppu ini diajukan empat ormas yakni Front Pembela Islam (FPI), Dewan Dakwah Islamiyah, Perkumpulan Hidayatullah, dan Pemuda Muslim Indonesia. Selain ormas tersebut, ada pula enam pihak perseorangan yang turut mengajukan. Sebelumnya pada pekan lalu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah mengajukan judicial review Perppu Nomor 2 tahun 2017.
Terdapat sejumlah pasal yang diajukan untuk diuji yakni Pasal I angka 6 sampai 22, Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2). [al/uh]