Meski pekan lalu, pihak berwenang Myanmar mengumumkan bahwa militer telah mengakhiri operasi kontra pemberontakan yang telah berlangsung empat bulan di wilayah utara negara bagian Rakhine, kebanyakan anggota kelompok minoritas Muslim Rohingya menolak pulang ke kampung halaman mereka. Mereka tetap ingin berada di Bangladesh karena masih khawatir berbagai aksi pelanggaran HAM di negara bagian itu masih akan berlangsung.
Nurul Islam, ketua Organisasi Nasional Arakan Rohingya yang berbasis di Inggris, mengungkapkan, kebanyakan warga Rohingya yang lari dari Myanmar selama berlangsungnya aksi penumpasan militer merasa sangat ketakutan dengan pembunuhan, pemerkosaan dan aksi penyiksaan lain yang mereka saksikan atau alami di Rakhine.
Islam, yang saat ini sedang berada di Cox’s Bazar mengatakan, “Aksi penumpasan militer kemungkinan telah dihentikan, namun penindasan terhadap Rohingya di Myanmar berlanjut dengan cara-cara lain. Para pengungsi Rohingya menyadari resiko dan kesulitan yang akan mereka hadapi di Myanmar. Jadi, para pengungsi yang saat ini berada di Bangladesh pada umumnya tidak bersedia pulang.”
Para pemimpin komunitas Rohingya mengatakan, hampir 100 ribu anggota kelompok minoritas itu menyebrang ke Bangladesh dari Rakhine. Sebelumnya bulan ini, komisioner Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan, aksi pasukan keamanan di Rakhine kemungkinan besar “kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Sepekan kemudian, dua pejabat tinggi PBB yang menangangi pengungsi Rohingya mengatakan, lebih dari seribu warga Rohingya kemungkinan tewas dalam operasi keamanan selama empat bulan itu. [ab/uh]