Nama Kyla Christie terpampang sebagai salah satu penerima Diana Award 2020 dalam acara penganugerahan yang digelar secara virtual pada 1 Juli lalu. Dia menjadi satu-satunya anak muda Indonesia yang menerima penghargaan itu untuk tahun ini.
Diana Award merupakan penghargaan untuk menghormati sekaligus melanjutkan warisan Putri Diana yang meninggal dunia pada 1997. Penghargaan itu diberikan kepada anak-anak berusia 9-25 tahun dari seluruh dunia, yang dianggap berkontribusi terhadap komunitas masing-masing dan membawa perubahan jangka panjang. Ajang itu meyakini gagasan sang putri bahwa anak-anak muda memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.
“Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, dan di tengah segala ketidakpastian saat ini, kalian telah menemukan kekuatan dan inspirasi di dalam diri kalian untuk meninggalkan jejak positif di dunia, dan saya senang Diana Award dapat membantu kalian untuk melakukannya,” ujar Pangeran Harry, yang hadir secara virtual untuk menyapa para pemenang.
Perempuan berusia 19 tahun itu tidak menyangka akan diberi penghargaan untuk kerja sosialnya sejak duduk di bangku sekolah dasar.
“Saya benar-benar nggak tahu dinominasikan. Sampai pas dapat emailnya, benar-benar kira itu emailnya di-hack atau di-spam,” kata Kyla), yang saat ini menempuh pendidikan sarjana di jurusan Kewirausahaan sekaligus Seni Rupa di Babson College, Massachusetts AS, saat dihubungi VOA melalui Zoom, pada 3 Juli lalu.
Salah satu aksi sosial yang mengantarkannya memperoleh Diana Award adalah ‘Sing to Build’. Inisiatif itu dimulai ketika ia berusia 10 tahun untuk mengumpulkan dana dan sumbangan lain bagi korban letusan Gunung Merapi dan bencana tsunami Mentawai pada 2010.
Ia tergerak melakukan inisiatif itu setelah melihat tayangan berita letusan gunung Merapi di televisi. Tayangan rumah-rumah yang tertutup abu vulkanik merapi dan para korban yang kehilangan harta benda mereka menyentuh hati Kyla.
“Sementara aku di sini makan enak-enak. Mama-papa aku di samping aku, tapi di depan aku, tayangan TV menunjukkan keluarga yang sama, tapi situasinya beda banget," kenangnya.
Kyla mengaku, saat itu ia belum paham konsep donasi untuk merealisasikan empatinya. Keresahan itu lantas diarahkan sang ibu dalam bentuk penggalangan dana menggunakan bakatnya sejak kecil, yaitu menyanyi.
“Aku biasanya memang nyanyi di mal-mal. Aku selalu taruh banner (spanduk berisi pesan ajakan donasi). Jadi orang donasi, itu lumayan banyak,” tuturnya tentang inisiatif ‘Sing To Build’.
Bantuan ternyata tak hanya datang dalam bentuk uang.
“Ada salah satu orang yang donasi sound system, jadi kita membuatkan rumah nyanyi untuk mereka. Terus ada yang donasi buku, jadi kita bikin rumah buku. Jadi lebih ada komunitasnya,” ujar Kyla.
Seiring waktu, inisiatif itu berkembang tidak hanya untuk membantu korban bencana alam, tetapi juga komunitas lain yang membutuhkan. Kyla pun menggalang dana tidak hanya dengan bernyanyi, tetapi juga melakukan pelelangan benda seni yang dimilikinya.
Pada satu waktu, ia melelang alat musik sasando yang ia bawa saat memenangkan lomba World Championship of Performing Arts 2015 di AS. Dalam lelang itu ternyata alat musik sasando terjual dengan harga yang cukup tinggi. Hasil penjualan sasando digunakan oleh Kyla untuk membantu sebuah panti asuhan membangun kembali gedung panti yang terbakar.
“Aku kaget sendiri, padahal lelang benda-benda sebelumnya itu harganya bagus, tapi itu (sasando) tuh benar-benar meroket banget (harganya)," ujarnya.
Kyla mengaku kegiatan sosial membuatnya lebih bersyukur, “Banyak orang yang ternyata ingin menolong, tapi nggak punya platform buat menolong,” ungkapnya.
Nominasi Ganda
Dalam situs Diana Award, nama Kyla sebagai penerima penghargaan dinominasikan oleh secara terpisah oleh Saraswati Learning Center di Jakarta dan Binus School Simprug. Yang kedua adalah sekolah
Nominasi itu diajukan tanpa memberitahu pihak yang dinominasikan, dalam hal ini, Kyla. Penghargaan itu bersifat retrospektif, di mana panitia akan menilai kontribusi yang telah dilakukan Kyla sebelumnya.
Kepala Sekolah Saraswati Learning Center, Reshma W. Bhojwani, bercerita bahwa dirinya pertama mengenal Kyla melalui pertunjukan musikal yang diproduksi Jakarta Youth of Performing Arts, komunitas teater yang didirikan oleh Kyla bersama temannya, Aisha Nabila.
“Saya menghampirinya dan menceritakan kalau saya memiliki sekolah difabel dan punya impian agar anak didik saya bisa dilibatkan,” tutur Reshma melalui sambungan Zoom (8/7).
Saraswati Learning Center sendiri merupakan organisasi non-profit yang menjadi pusat kegiatan komunitas difabel, di antaranya individu dengan autisme, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), cerebral palsy, dan lainnya, dari usia 0 hingga di atas 18 tahun.
Reshma mengatakan, Kyla menyambut baik harapannya itu, “Ia tidak pernah mempertanyakan saya dan langsung menyediakan platform itu.”
Tak lama kemudian, ketika Jakarta Youth of Performing Art menggelar pertunjukan musikal tentang Van Gogh – sosok pelukis difabel yang karya-karyanya diapresiasi dunia, anak didik Reshma di Saraswati Learning Center dilibatkan untuk tampil sebagai pembuka acara pertunjukan itu. Mereka diajari Kyla bernyanyi dan menari hingga akhirnya bisa beraksi di atas panggung.
“Para penonton menangis haru, bertepuk tangan, dan luar biasa rasanya membuka acara itu,” kenang Reshma.
Tak pelak, Reshma sangat terkesan dengan sosok Kyla yang dinilainya, meski masih sangat muda, “memiliki rasa empati, visi dan misi yang hebat untuk benar-benar melibatkan komunitas dan berbuat banyak bagi mereka, bukan hanya bagi komunitas difabel, tapi juga mereka yang kehilangan tempat tinggal dan masalah keluarga lainnya.”
“Bagi saya, ia layak dinominasikan,” pungkasnya.
Menggugah Semangat Anak Muda
Selain ‘Sing to Build’, Diana Award juga menghargai kegiatan sosial Kyla yang lain. Antara lain peran Kyla untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap komunitas difabel melalui Jakarta Youth of Performing Arts, dan Global Youth Leaders 2018 yang digagasnya menjelang lulus SMA.
Gelaran tersebut merupakan platform berbagi ilmu dari sejumlah pembicara inspiratif berbagai industri dengan anak-anak muda di Indonesia.
“(Ketika) aku belajar ilmu dari mentor-mentor aku, aku merasa, padahal kalau aku minta mereka ngomong ke banyak orang muda, itu akan sangat menolong mereka,” tuturnya.
Di tenga kesibukan mengikuti perkuliahan daring selama pandemi, Kyla masih sempat mengelola Jakarta Youth of Performing Arts, yang berubah nama menjadi New Art Collective, bersama rekannya yang kini sama-sama menimba ilmu di negeri Paman Sam.
“Kami buka sesuatu yang namanya New Art Chapter,” kata Kyla.
Melalui program itu, anak-anak muda dari seluruh dunia bisa mendapatkan berbagai sumber dan informasi terkait cara untuk membangun komunitas dan mengadakan pertunjukan dari Kyla dan timnya.
“Mereka bisa apply (daftar). Kami kasih resources (sumber-sumber), kami kasih daftar vendor, cara pemasarannya gimana, cara pricing tiket gimana, media sosialnya, gimana mengurusnya kalau ada show (pertunjukan). Terus gimana cara menggalang dana dan minta sponsor,” paparnya.
Kyla berharap, melalui Diana Award, ia bisa menggugah lebih banyak anak muda untuk berani berekspresi dan bergerak untuk mewujudkan minat dan cita-cita mereka.
Penerima Diana Award dari Indonesia
Kyla Christie sendiri bukan anak Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Sejak 2018, setiap tahunnya selalu ada anak Indonesia yang menerima penghargaan Diana Award.
Pada 2018, Muthia Fadila Khairunnisa (17) dan Gwendolyn Chloe Purnama (16) menerima kehormatan itu. Muthia mendapat penghargaan karena keuletannya meningkatkan minat baca dan tulis di komunitasnya, serta mengampanyekan sejumlah isu, termasuk pendidikan, pengendalian tembakau untuk mencegah kebiasaan merokok, hingga kesetaraan gender.
Gwendolyn menerima Diana Award atas kampanyenya melawan penyalahgunaan narkoba dan pemberdayaan pemuda melalui organisasi ‘Pemuda Indonesia Bersinar’. Ia juga berhasil menggalang dana hingga sekitar Rp1,1 miliar, yang sebagian digunakan untuk mendirikan saluran layanan konseling bagi anak-anak muda yang mengalami penyiksaan. Ia juga untuk memfasilitasi proses rehabilitasi 55 pecandu narkoba.
Tahun berikutnya, pada 2019, Jerick Hartono menjadi salah satu penerima Diana Award. Jerick mendirikan sebuah organisasi non-profit yang fokus mendukung dan mengadvokasi komunitas tuli. Wujud advokasi itu salah satunya adalah pengembangan aplikasi ‘JakSL’ yang memberi akses komunitas tulis terhadap berbagai sumber daya sekaligus menginspirasi penciptaan integrasi dalam komunitas tersebut. [rd/em/ft]