“Saya tidak merasa pintar, tapi saya memang pekerja keras,” ujar Billy Mambrasar membuka pembicaraan dengan VOA, dua hari setelah ia dinyatakan diterima di program magister, Universitas Harvard, awal Juli lalu.
Gracia Billy Yosaphat Y. Mambrasar – atau akrab disapa Billy Mambrasar – anak Serui kelahiran 17 Desember 1988, menjadi orang Papua pertama yang diterima di kampus bergengsi, yang dikenal sebagai kampusnya presiden Amerika. Sedikitnya delapan presiden Amerika berasal dari Universitas Harvard, antara lain John Adams, John F. Kennedy, FD Roosevelt, George W. Bush dan Barack Obama.
Billy mengatakan sudah memupuk niatnya untuk sekolah setinggi-tingginya sejak masih anak-anak, ketika melihat kesulitan hidup kedua orang tuanya.
“Ayah saya hanya seorang guru honorer, selama 40 tahun ia bekerja sebagai guru di Yayasan Pendidikan Kristen, tidak pernah jadi PNS. Untuk menutupi kebutuhan kami, ibu saya menjual kue keliling, pernah juga menjadi pembantu rumah tangga, atau menawarkan jasa mencuci piring di warung-warung. Kami hidup di bawah garis kemiskinan. Rumah kami sangat tradisional, dibuat dari pelepah gaba-gaba dan atapnya dari daun sagu, sehingga bocor kalau hujan. Tidak dialiri listrik. Jika malam tiba, saya harus menggunakan lampu minyak untuk belajar. Tapi ini semua melatih saya untuk berjuang mencapai apa yang saya impikan,” ujar Billy.
Ibunda Billy melakukan pekerjaan apapun untuk membantu menutupi kebutuhan keluarga.
Ditanya apa yang membuatnya bisa tetap memiliki pandangan positif meskipun hidup susah di Papua, Billy mengatakan karena sejak awal dididik orang tuanya, terutama ayahnya, untuk menjadi pejuang. “Pejuang tidak pernah memposisikan diri sebagai korban, misalnya bahwa kita adalah korban diskriminasi perlakuan atau kebijakan. Pejuang juga tidak pernah merasa miskin. Saya punya contoh yang paling membekas. Ketika masih sekolah di Serui, saya pernah membantu ibu berjualan kue dari rumah ke rumah. Di satu tempat, saya ditolak, tidak ada yang membeli kue. Ketika itu saya punya pilihan : sedih dan marah lalu pulang ke rumah dan tidak jualan lagi, atau saya ketuk pintu rumah berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya. Itu yang diajarkan ayah saya. Berjuang dan terus berjuang.”
Dikenal sebagai pelajar berprestasi sejak bangku SMP, Billy terpilih masuk SMAN 3 Jayapura bersama anak-anak berbakat lain dari seluruh Papua. “Jarak dari Serui ke Jayapura itu sekitar 16 jam perjalanan dengan kapal, jadi saya tidak bisa sering-sering pulang ke rumah. Saya tinggal di asrama. Tapi ini justru menambah tekad saya untuk lulus SMA dan masuk ITB, kampus impian saya dan berkat Tuhan saya berhasil,” tambah Billy yang di sela-sela kesibukannya suka bernyanyi dan karaoke ini.
Masuk ITB & Wakili Indonesia di Berbagai Forum Internasional
Impian Billy semakin membuncah ketika pada tahun 2008 ia dikirim mewakili ITB dalam suatu program pertukaran pelajar ke Amerika. “Saya buat komitmen pada diri saya sendiri bahwa kelak saya akan kembali ke Amerika dan kuliah di sini. Saya tulis itu di kertas dan simpan di kos-kosan saya. Saya menangis melihat kertas itu kemarin ketika mendapat konfirmasi dari Harvard,” paparnya.
Sebelumnya Billy Mambrasar, anak ketiga dari lima bersaudara ini, telah mewakili Indonesia di beberapa forum di luar negeri dan mendapatkan beasiswa, antara lain dari Australian National University di mana ia pada tahun 2015 dinobatkan sebagai “Student of the Year,” dan kemudian dilanjutkan ke Oxford University. Sayangnya ketika lulus dari kampus-kampus bergengsi ini kedua orang tidak dapat mendampinginya karena masalah biaya. Billy mengobati kerinduan orang tuanya dengan bernyanyi dan merekam videonya untuk dikirim kepada mereka.
Kementerian Keuangan memberinya beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan LPDP untuk belajar di Amerika dan ia memilih melamar ke Universitas Harvard. Kepastian diterimanya di kampus terkemuka itu didapatnya awal Juli lalu.
“Sebenarnya ini yang kedua. Lamaran pertama saya ditolak, tampaknya karena bahasa Inggris. Ini persis seperti di Oxford, saya baru diterima setelah mencoba kedua kali. Bahasa Inggris saya dalam tes IELTS [International English Language Testing System atau semacam standarisasi ujian kemahiran berbahasa Inggris bagi yang tidak menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.red] cukup baik, tapi untuk lulus IELTS nilai ujian tulis harus tujuh, dan ini tidak mudah bagi anak Indonesia. Tetapi pengalaman dan rekam jejak saya dalam kewirausahaan sosial menjadi salah satu faktor pendorong yang penting hingga lulus,” ujarnya.
Terinspirasi Obama, Billy Dirikan “Yayasan Kitong Bisa”
Billy Mambrasar sejak akhir 2019 lalu diangkat menjadi salah satu dari 17 staf khusus Presiden Joko Widodo. Ia ditugaskan mengawasi pusat pembinaan kewirausahaan di Maluku dan Papua yang disebut dengan “Papua Youth Creative Hub.” Tugas ini sejalan dengan badan nirlaba yang dibangun Billy sebelumnya yaitu “Yayasan Kitong Bisa” yang bergerak dalam bidang pendidikan bagi anak-anak kurang mampu, terutama yang ada di Papua dan Papua Barat.
“Inspirasi membuat “Kitong Bisa” ini datang dari kampanye Presiden Barack Obama dulu. Tagline kampanye “Yes We Can” itu menyadarkan saya membuat gerakan “Kita Bisa” yang kini menjadi nafas badan nirlaba “Yayasan Kitong Bisa,” paparnya. Ditambahkannya, “saat ini ada jutaan anak Indonesia lain yang untuk mengejar mimpinya mereka harus berkeringat dan menangis seperti saya dulu, dan mereka butuh bantuan. Saya ingin mendorong teman-teman dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, jika mereka memiliki kemampuan, mari bantu sesama anak-anak kita. Di Papua saja saat ini ada 600an anak muda milenial Papua, generasi Y dan Z yang sedang melatih diri menjalankan bisnis mereka sendiri. Saya ingin ajak mereka dan siapa pun untuk sama-sama bergotong royong memutus mata rantai kemiskinan ini, dan – ini yang penting – bangun kampung!”
Masih terus merebaknya pandemi virus corona dan pemberlakuan berbagai kebijakan imigrasi yang baru membuat sebagian kampus di Amerika memulai perkuliahan pada tahun ajaran baru melalui online, tak terkecuali Universitas Harvard. “Tidak mengapa, jadi saya bisa tetap membantu Pak Jokowi sambil terus melanjutkan program yang sudah saya mulai. Tahun depan setelah menyelesaikan program magister ini baru saya fokus ambil doktoral di Amerika” ujar Billy.
Yayasan Kitong Bisa yang digagasnya kini ada di sembilan titik di Papua, antara lain di Raja Ampat, Merauke, Fakfak, Yapen, Sorong dan Jayapura. Ada sedikitnya 1.100 anak yang telah tergabung di “Kitong Bisa Learning Center” yang merupakan bagian dari yayasan itu, di Papua dan Papua Barat. Menurut rencana akan dibuka beberapa pula di beberapa lokasi baru guna meningkatkan jumlah anak yang dapat dilatih dengan kurikulum khusus berbasis pemikiran kreatif dan ketajaman kewirausahaan. [em/jm]