Fenomena persekusi yang terjadi di Indonesia beberapa waktu terakhir menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Pembiaran terhadap tindakan persekusi dikhawatirkan akan menimbulkan konflik horizontal yang dapat mengancam stabilitas bangsa.
Tindakan persekusi atau pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau kelompok yang berseberangan, sedang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Menurut dosen dan pakar radikalisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi, fenomena pesekusi berawal dari Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang membawa isu agama dan etnis.
Ahmad Zainul Hamdi menilai, fenomena persekusi tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik, yang memanfaatkan sentimen tertentu yang dapat menggerakkan massa untuk mencapai suatu tujuan.
“Pilgub Jakarta itu kan isunya, isu yang sangat tidak sehat. Isunya itu diawali dengan penodaan agama, yang kemudian menjalar ke isu etnis, menjalar lagi ke isu antaragama. Jadi seakan-akan negara ini adalah negara yang hanya layak untuk dipimpin oleh satu kelompok tertentu, dari etnis tertentu, dari agama tertentu,” kata Ahmad Zainul Hamdi.
"Ya, itu menghancurkan sendi-sendi kebangsaan ini. Nah, kalau kita melihat seperti itu, maka sebetulnya ada kemungkinan ini adalah bagian dari orkestrasi politik dari kepentingan-kepentingan politik tertentu, yang memanfaatkan. Karena memang masyarakat kita itu masyarakat yang secara umum mudah untuk digerakkan,” lanjutnya.
Tidak hanya di Jakarta, fenomena persekusi juga terjadi di daerah lain di Indonesia, antara lain di Sumatera Barat dan Jawa Timur. Di Banyuwangi, Jawa Timur, seorang pelajar SMA mengalami persekusi karena status di media sosial miliknya yang menyinggung kelompok tertentu. Fenomena ini, kata Ahmad Zainul Hamdi, dapat menjalar ke daerah-daerah lain di Indonesia karena digerakkan oleh pihak-pihak yang menghendaki adanya persekusi.
“Jika fenomena persekusi ini adalah by design, maka sangat mungkin tidak ada satu pun wilayah termasuk wilayah Jawa Timur yang aman dari kemungkinan tindakan itu,” kata Ahmad Zainul Hamdi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, ada 70 laporan persekusi yang masuk, dan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, persekusi atau upaya memburu seseorang atau kelompok yang berlawanan dengan kelompok tertentu, dilakukan melalui penyebaran informasi yang dapat membuat massa memburu orang yang dimaksud. Asfinawati menilai hal ini merupakan tindakan terencana, yang dapat menimbulkan konflik di masyarakat bila tidak segera diatasi.
“Yang lebih kami takutkan adalah akan ada konflik horisontal yang meluas, karena itu persekusi ini memang harus dicari siapa dalangnya. Karena memang kalau dilihat dari pola-polanya ini sangat terencana, jadi didahului dengan penyebaran video beberapa menit yang ada musiknya, ada gambar-gambar yang sangat baik ditampilkan, sehingga menunjukkan perlunya kita memburu orang-orang tertentu,” kata Asfinawati.
Pernyataan Kapolri Tito Karnavian yang memerintahkan jajaran kepolisian di bawahnya berani menindak tegas pelaku persekusi, harus diikuti oleh Polres dan Polsek di seluruh Indonesia. Asfinawati mengatakan, tindakan persekusi yang dibiarkan dan tidak dihentikan, akan menjadi legalitas untuk melakukan tindakan yang sama di tempat lain.
“Kita sudah dengar pernyataan Kapolri, nah yang kami harapkan sebetulnya pernyataan itu diikuti oleh Polres-Polres, Polsek, untuk tidak salah, mana yang menjadi korban, mana yang pelaku, jangan korban persekusi kemudian dijadikan tersangka. Karena itu pelajaran untuk pelaku, oh benar dong kami melakukan persekusi karena ternyata dengan ini yang kami harapkan jadi tersangka akhirnya jadi tersangka, itu berbahaya sekali pesan itu,” imbuh Asfinaati. [pr/uh]