Setelah acara amal pertunjukan musik untuk panti asuhan lokal di Taman Budaya Banda Aceh, hari Sabtu, polisi di daerah itu menangkap belasan remaja tanpa alasan jelas, selain penampilan mereka.
Remaja yang ditangkap tersebut datang dari jauh ke Aceh seperti dari Jakarta dan Jawa Barat, dengan gaya rambut dan pakaian yang jarang terlihat di propinsi konservatif itu. Saksi-saksi mata mengatakan para remaja itu mengenakan potongan rambut bergaya suku Indian Mohawks, memiliki tato, memakai anting-anting termasuk di hidung mereka dan mengenakan pakaian berwarna hitam atau gelap dan celana jin ketat.
Kepala polisi Banda Aceh, Iskandar Hasan mengatakan para remaja itu kini sedang mengikuti proses pendidikan ulang termasuk tentang gaya rambut, pakaian baru termasuk pakaian yang dipakai ketika sembahyang, penggunaan shampoo dan pasta gigi.
Kepala polisi itu mengatakan petugas berencana melempar mereka ke dalam kolam sebagai bagian dari hukuman dan remaja perempuan akan dipotong rambutnya menyerupai gaya rambut polisi wanita.
Beberapa pejabat berwenang menyangkal upaya pendidikan ulang itu melanggar HAM tetapi aktivis seperti Haris Azhar dari kelompok HAM Kontras mengecam langkah itu.
Ia mengatakan," “Itu melanggar hak kebebasan berekspresi kelompok remaja di Aceh dan tampaknya polisi menggunakan peraturan-peraturan Shariah untuk mengekang bagaimana remaja mengekspresikan diri.”
Aceh dari dulu lebih konservatif dari wilayah-wilayah lain di Indonesia. Propinsi itu memberlakukan sebagian hukum Shariah tahun 2001 sebagai bagian dari paket otonomi untuk memadamkan sentimen-sentimen separatis.
Hukum shariah secara khusus melarang homosekualitas dan perjudian, dan perzinaan dikenai hukuman mati dengan dirajam.
Tetapi tidak ada hukum yang melarang berpakaian ala “punks” dan Haris Azhar mengklaim polisi Aceh menafsirkan hukum Shariah secara subyektif untuk menanamkan pandangan pribadi mereka tentang moralitas Islam.
"Tidak ada hukum yang secara tegas membatasi hal semacam ini atau melarang keberadaan kelompok punks di Banda Aceh. Tetapi saya khawatir, polisi menggunakan sudut pandang budaya yang juga tidak jelas. Bukanlah tugas polisi untuk menafsirkan arti budaya," ujar Azhar.
Azhar mengatakan pemerintah Aceh seharusnya menerima kelompok punks sebagai bagian dari budaya perkotaan lokal dan modern.