Kelompok pemerhati lingkungan hidup mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia. Hal tersebut dianggap melanggar janji sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Anak perusahaan Bank Dunia di sektor swasta, International Financial Corporation (IFC), merupakan pendukung tidak langsung kompleks PLTU Suralaya di Banten melalui investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia. Perusahaan tersebut merupakan salah satu penyandang dana proyek itu, kata koalisi kelompok lingkungan hidup pada Kamis (14/9).
PLTU Suralaya, yang merupakan PLTU terbesar di Asia Tenggara, memiliki delapan unit pembangkit yang beroperasi. Menurut rencana, pengembang proyek akan membangun dua pembangkit lagi yang diperkirakan akan melepaskan 250 juta ton karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan iklim ke atmosfer, kata kelompok tersebut dalam suratnya kepada ombudsman kepatuhan Bank Dunia Janine Ferretti.
“Dampak buruk terhadap masyarakat lokal, termasuk penggusuran paksa terhadap mereka yang tinggal di lokasi proyek, sudah terjadi,” kata surat tersebut, yang dikirim atas nama Inclusive Development International, sebuah organisasi non-pemerintah di AS.
IFC, Bank Dunia dan Hana Bank Indonesia tidak segera menanggapi permintaan komentar.
IFC berjanji untuk berhenti berinvestasi di sektor batu bara pada 2020. Namun IFC tetap menjadi pemegang saham di lembaga-lembaga keuangan yang memiliki investasi di industri batu bara, seperti Hana Bank, selama mereka mempunyai rencana untuk menghentikan eksposur mereka secara bertahap.
Dalam peraturan IFC yang diperbarui tahun ini disebutkan bahwa klien keuangannya harus berkomitmen untuk tidak "memulai dan membiayai proyek batubara baru apa pun sejak IFC menjadi pemegang saham."
Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Helsinki mengatakan pada Selasa (12/9) bahwa kompleks PLTU Suralaya memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas udara di wilayah tersebut. Udara yang tercemar di area itu menyebabkan biaya kesehatan tahunan mencapai lebih dari $1 miliar.
CREA mengatakan hal tersebut juga berkontribusi terhadap kabut asap di Ibu Kota Jakarta, yang menduduki puncak daftar kota paling tercemar di dunia pada Agustus.
PT Indo Raya Tenaga, pengembang PLTU Suralaya, mengatakan pihaknya berencana untuk memasok sebagian pembangkit barunya dengan amonia, selain batu bara, untuk mengurangi emisi.
Perusahaan tidak segera menanggapi permintaan komentar melalui email.
Menurut lembaga kajian Global Energy Monitor, Indonesia adalah salah satu dari 11 negara yang mengoperasikan PLTU baru pada tahun lalu. Total kapasitas PLTU Indonesia mencapai 40,6 gigawatt pada 2022, naik 60 persen sejak 2015, dan 18,8 GW lainnya sedang dibangun, yang merupakan jumlah tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.
November lalu, Indonesia menjadi negara kedua yang menandatangani Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) yang akan menyalurkan dana sebesar $20 miliar untuk membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun pengumuman rencana investasinya tertunda.
JETP mengharuskan Indonesia memberlakukan moratorium terhadap pembangkit listrik tenaga batu bara baru, meskipun ada pengecualian untuk pembangkit listrik “captive” yang melayani fasilitas-fasilitas industri lainnya. Pembangkit listrik “captive” adalah istilah yang digunakan untuk fasilitas pembangkit listrik yang dikelola dan dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri. [ah/rs] [ab/lt]
Forum