Sejumlah maskapai internasional telah mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi karyawan secara signifikan sebagai akibat dari berkurangnya penjualan tiket penerbangan. Dengan surutnya keinginan orang untuk bepergian di tengah pandemi, terutama untuk terbang secara internasional akibat berbagai peraturan yang berbeda di tiap negara, hampir seluruh maskapai di dunia terpaksa mengurangi rute dan frekuensi penerbangan mereka.
Menurut perkiraan Bloomberg yang dimuat dalam The Economic Times bulan lalu, jumlah pegawai maskapai penerbangan yang terdampak dapat mencapai 400 ribu menjelang akhir tahun nanti. Ini termasuk para pilot dan awak pesawat yang sebenarnya paling berisiko terpapar virus mematikan itu Sementara jumlah pekerjaan yang akan hilang dalam industri yang berhubungan erat dengan penerbangan juga diperkirakan akan bertambah.
Menurut The International Air Transport Association, pabrik pesawat dan mesin jet seperti Boeing dan Airbus, bandara udara, bahkan biro perjalanan serta perhotelan sekalipun, diperkirakan akan kehilangan sampai 25 juta pekerjaan. Sementara mereka yang luput dari pemutusan kerja akan menghadapi pemotongan gaji secara besar-besaran.
Sejumlah Pilot Banting Setir
Megah Putra Perkasa adalah seorang mantan penerbang militer yang bekerja untuk salah satu maskapai komersial Indonesia. Pada akhir April tahun ini ia terpaksa dirumahkan akibat dampak kebijakan lockdown – atau PSBB di Indonesia – terhadap penerbangan. Walaupun perusahaan tempat Megah bekerja telah kembali menjalankan rute penerbangan, namun rute dan frekuensi berkurang secara signifikan.
"Begitu lockdown itu kan kita otomatis tidak ada pemasukan, betul-betul krisis untuk dunia penerbangan, saya kroscek dengan teman-teman di luar negeri, mereka lockdown juga," kata Megah.
"Dan dampaknya yang paling banyak adalah mereka mengurangi (atau) melakukan pemotongan gaji, kemudian tidak ada uang insentif terbang, otomatis pemasukan juga berkurang," lanjutnya.
Hal yang lebih parah bahkan dialami oleh Andre Hermawan, yang sudah lebih dari 10 tahun menerbangkan Boeing 777 untuk sebuah maskapai internasional yang berbasis di Dubai.
"Jadinya maskapai saya ini salah satu yang terkena cukup parah juga dampaknya, mengurangi karyawan sampai 30 persen, itu translates to berapa ribu orang," kata Andre.
"Dan karena maskapai penerbang perusahaan saya ini seperti landmark negara ini, jadi begitu kita me-lay off (PHK.red) orang, sektor-sektor lain juga jadi ikut-ikutan, termasuk saya ya. Saya termasuk yang terdampak," imbuhnya.
Alhasil, Andre harus mengucapkan selamat tinggal kepada pekerjaannya.
Di sisi lain, para pilot yang masih beruntung dan dapat mempertahankan pekerjaannya, mereka menghadapi kekhawatiran yang berbeda.
Didit Haryanto, pilot pribadi spesialis pesawat Gulfstream di perusahaan swasta, ikut merasakan pemotongan jam penerbangan yang cukup signifikan. Kini jadwal terbangnya sangat bergantung kepada urusan kantor yang tergolong mendesak, dan itupun dibatasi hanya untuk penerbangan domestik.
Hal senada dirasakan oleh Trisna Virdian, seorang pilot pesawat sewaan di bawah grup perusahaan penerbangan komersial besar di Indonesia, yang juga mengalami pemotongan jam terbang drastis. Karena terdampak Covid-19, frekuensi penerbangan perusahaannya menyusut hingga tersisa 30 persen. Diwawancarai VOA, Trisna mengatakan ia khawatir selain dampak finansial, ketrampilan pilot pun akan menurun seiring semakin jarangnya mereka mengudara.
“Pilot ini kan kerjanya bergantung dengan skill ya, mas. Skill itu kan bisa diasah terus menerus apabila kita melakukan kegiatan kita, misalkan kita terbang, kita terbang terus, artinya skill kita akan tetap terjaga gitu," katanya.
Industri Kuliner Jadi Salah Satu Pilihan
Megah Putra Perkasa kini banting setir dan memulai pekerjaan baru. "Apa yang bisa saya dapat untuk menambah pemasukan keluarga karena anak-anak tetap sekolah, tidak ada diskon dari sekolah, kan," katanya.
Dengan anak empat dan tabungan terbatas yang hanya cukup untuk beberapa bulan ke depan, Megah Putra harus berpikir cepat mencari pemasukan. Berjualan makanan online menjadi pilihan."Kebetulan saja dan adik ipar bisa masak, istri juga masak, jadi kita bergabung jadi satu dengan aneka macam masakan," kata Megah.
Ditambahkannya, kegemarannya pada dunia kuliner sangat membantu. “Waktu saya di penerbangan otomatis saya tidak punya waktu untuk mencoba-coba seperti ini. Begitu lockdown pertama itu, betul-betul tidak ada penerbangan, saya bisa, sama istri bisa explore di dapur itu betul-betul banyak waktu," kata Megah.
Kapten Megah mengatakan bahwa ia benar-benar niat untuk mendalami bisnis makanan ini secara permanen, sehingga apabila kontrak di maskapai penerbangan berakhir, ia akan memiliki penghasilan tetap lain.
Demikian pula Andre Hermawan, yang akan kembali ke tanah air setelah pekerjaannya sebagai pilot yang berbasis di Dubai berakhir. Ia mengatakan ingin menggali peluang bisnis makanan atau usaha kafe di Indonesia.
“Tentunya selain opsinya gak terlalu banyak. Kita juga wait and see ya mudah-mudahan ada opsi untuk saya restart karir penerbangan, tapi sambil menunggu itu juga karena melihat di Indonesia itu tahun 98 krismon tapi orang ngafe jalan terus, ya kan? Kafe tenda itu kan awalnya dari krismon 98, jadi di Indonesia orang jiwa nongkrong dan jajannya itu tetap didepan," kata Andre.
"Yang benar-benar menarik adalah orang Indonesia sekarang, sudah berpaling, beralih dari tertarik sekali sama fast food sama western food, sekarang sudah mulai kembali ke makanan-makanan Indonesia, kopi-kopi Indonesia, kopi lokal, dan kayaknya ini cukup bisa digali, untuk orang-orang yang mau mencoba di bisnis ini," lanjut Andre.
Pandemi virus corona yang tampaknya tidak akan berakhir dalam waktu dekat ini memang memaksa banyak orang untuk menempuh jalan yang sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan. Termasuk langkah-langkah untuk bertahan hidup yang kini ditempuh para pilot dalam industri penerbangan di seluruh dunia. Namun sebagaimana penuturan mereka, dengan tekad yang kuat, niscaya apapun dapat terlaksana. [aa/em/ab]