Diperkirakan antara 10.000 sampai 30.000 orang - banyak di antara mereka warga sipil - tewas dalam konflik separatis berdarah di Aceh.
Hari Kamis, kelompok HAM Amnesty International yang berbasis di London, merilis sebuah studi tentang bagaimana pemerintah menanggapi pembunuhan dan hilangnya banyak orang selama konflik itu.
Delapan tahun kemudian, Amnesty mengatakan nasib ratusan orang hilang masih belum dipertanggungjawabkan dan banyak warga Aceh masih menunggu jawaban.
Isabelle Arradon adalah wakil direktur Asia Pasifik Amnesty International. Ia mengatakan, "Para keluarga dan korban pelanggaran HAM di masa lalu masih menunggu penegakkan kebenaran, keadilan dan perbaikan. Kurangnya keadilan, kebenaran dan perbaikan memicu kebencian dan ketegangan antar masyarakat. Sangat penting agar unsur keadilan dari proses perdamaian diimplementasikan sesegera mungkin untuk memastikan agar proses perdamaian didukung dan dipertahankan dalam jangka panjang."
Konflik berkepanjangan antara pejuang pro-kemerdekaan Aceh dan pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1976 dan terus berlanjut sampai kesepakatan damai Helsinki dimediasi pada tahun 2005.
Pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, pemerkosaan dan penyiksaan adalah pelanggaran HAM yang dialami warga sipil pada masa itu.
Amnesty mengatakan bahwa banyak pelanggaran HAM merupakan kejahatan di bawah hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Berdasarkan kesepakatan damai tahun 2005, pemerintah diamanatkan untuk membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Aceh.
Tapi pemerintah gagal untuk melakukan keduanya.
Ada juga kekhawatiran bahwa kekebalan hukum yang dioperasikan pasukan keamanan di masa lalu masih berlangsung di beberapa tempat hari ini.
Pemerintah Indonesia telah gagal untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu, termasuk penumpasan komunis tahun 1965, kerusuhan Mei tahun 1998, dan konflik di Aceh, Papua dan Timor Timur.
Dua mantan jenderal angkatan darat - Prabowo Subianto dan Wiranto – yang dituduh melakukan pelanggaran HAM pada masa lalu, kini menjadi tokoh politik berpengaruh dan ketua partai politik.
Menurut Amnesty, ada upaya terbatas oleh pemerintah Indonesia untuk menyelidiki konflik Aceh, tetapi hasilnya tidak pernah dipublikasikan.
Hari Kamis, kelompok HAM Amnesty International yang berbasis di London, merilis sebuah studi tentang bagaimana pemerintah menanggapi pembunuhan dan hilangnya banyak orang selama konflik itu.
Delapan tahun kemudian, Amnesty mengatakan nasib ratusan orang hilang masih belum dipertanggungjawabkan dan banyak warga Aceh masih menunggu jawaban.
Isabelle Arradon adalah wakil direktur Asia Pasifik Amnesty International. Ia mengatakan, "Para keluarga dan korban pelanggaran HAM di masa lalu masih menunggu penegakkan kebenaran, keadilan dan perbaikan. Kurangnya keadilan, kebenaran dan perbaikan memicu kebencian dan ketegangan antar masyarakat. Sangat penting agar unsur keadilan dari proses perdamaian diimplementasikan sesegera mungkin untuk memastikan agar proses perdamaian didukung dan dipertahankan dalam jangka panjang."
Konflik berkepanjangan antara pejuang pro-kemerdekaan Aceh dan pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1976 dan terus berlanjut sampai kesepakatan damai Helsinki dimediasi pada tahun 2005.
Pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, pemerkosaan dan penyiksaan adalah pelanggaran HAM yang dialami warga sipil pada masa itu.
Amnesty mengatakan bahwa banyak pelanggaran HAM merupakan kejahatan di bawah hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Berdasarkan kesepakatan damai tahun 2005, pemerintah diamanatkan untuk membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Aceh.
Tapi pemerintah gagal untuk melakukan keduanya.
Ada juga kekhawatiran bahwa kekebalan hukum yang dioperasikan pasukan keamanan di masa lalu masih berlangsung di beberapa tempat hari ini.
Pemerintah Indonesia telah gagal untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu, termasuk penumpasan komunis tahun 1965, kerusuhan Mei tahun 1998, dan konflik di Aceh, Papua dan Timor Timur.
Dua mantan jenderal angkatan darat - Prabowo Subianto dan Wiranto – yang dituduh melakukan pelanggaran HAM pada masa lalu, kini menjadi tokoh politik berpengaruh dan ketua partai politik.
Menurut Amnesty, ada upaya terbatas oleh pemerintah Indonesia untuk menyelidiki konflik Aceh, tetapi hasilnya tidak pernah dipublikasikan.