Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak dapat menyembunyikan rasa lega di wajah mereka ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 8 Januari lalu menyatakan keduanya tidak bersalah atau tidak mencemarkan nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Seiring putusan itu, pengadilan memulihkan hak kedua penggiat HAM ini dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat sebagai warga negara. Haris dan Fatia menjalani sidang tuduhan pencemaran nama baik itu sejak 3 April 2023 setelah mengunggah video berisi diskusi keduanya tentang dugaan keterlibatan pejabat militer dalam bisnis tambang di Papua.
Keduanya merupakan kasus terbaru serangan terhadap pembela HAM, yang menurut Amnesty International Indonesia (AII) semakin menjadi-jadi. Direktur Eksekutif AII Usman Hamid mengatakan 2023 adalah tahun yang suram bagi perlindungan kebebasan sipil dan perlindungan pembela HAM karena setidaknya ada 268 korban serangan, termasuk kriminalisasi, serangan fisik dan intimidasi. Jumlah serangan mencapai 95 kasus, atau yang tertinggi sejak 2019 ketika jumlah korban mencapai 125 orang.
Aktivis HAM Papua adalah sasaran serangan terbanyak, yaitu 103 orang; disusul wartawan (89 serangan), petani (31 serangan) dan masyarakat adat (24 serangan).
“Ada banyak sekali kasus serangan kepada pembela HAM itu terkait dengan kritik masyarakat terhadap pembangunan. Jadi penolakan masyarakat adat terhadap proyek tambang atau proyek strategis nasional di Maluku, di Kalimantan, di Papua,” kata Usman Hamid dalam Konferensi Pers Refleksi dan Proyeksi Hak Asasi Manusia di Indonesia, Rabu (31/1).
Amnesty International Indonesia juga melaporkan kasus kriminalisasi terhadap 86 orang di Papua dan Maluku dengan tuduhan makar, pada 2020 – 2023. Sementara setahun terakhir ini sedikitnya tiga aktivis Papua dan satu aktivis Maluku dipenjara dengan tuduhan makar. Tiga akvitivis asal Papua itu ditangkap pada 9 Juni dan hingga kini masih menjalani sidang di Pengadilan Negeri Sorong. Sementara aktivis asal Maluku telah divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Masoho pada 11 Desember 2023
“Ini sebenarnya pasal yang merupakan warisan dari era kolonial Belanda dan digunakan untuk membungkam perbedaan pandangan politik di Timur, terutama mereka yang berekspresi dengan bendera atau dengan tuntutan kemerdekaan wilayahnya, entah itu Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan” jelas Usman Hamid.
Selain serangan fisik di dunia nyata, Amnesty mencatat serangan digital di dunia maya melalui peretasan atau doxing terhadap pembela HAM. Sepanjang 2023, Amnesty mencatat 16 serangan dengan peretasan media massa, atau naik delapan kasus.
Selain serangan digital, ada 49 serangan melalui penyalahgunaan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan jumlah korban 55 orang, termasuk yang berlatar belakang pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan akademisi, menjadi tersangka pencemaran nama baik.
Kekerasan terhadap Wartawan Melesat
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas melaporkan 89 kasus serangan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023, di mana yang terbanyak adalah yang dialami oleh jurnalis di daerah yang bekerja di isu akuntabilitas dan korupsi, sosial, lingkungan dan konflik agraria.
“Delapan puluh sembilan itu juga termasuk kekerasan yang paling tinggi selama periode kedua era Jokowi atau setelah 2019. Nah jadi kita menyaksikan bahwa serangan-serangan yang terjadi kepada pembela HAM itu juga salah satunya bagaimana memberikan tantangan yang cukup besar bagi jurnalis dan media di Indonesia,” papar Ika Ningtyas.
Menurut Ika, kebebasan pers di Indonesia dihadapkan pada situasi menurunnya indeks demokrasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Freedom House lembaga asal Amerika Serikat yang mengukur implementasi demokrasi menetapkan status demokrasi Indonesia sebagai belum sepenuhnya demokratis.
Dilansir dari Kompas.com, Freedom House menyatakan skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.
Permasalahan HAM di Papua
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi persoalan HAM di Papua yang sedianya menjadi prioritas karena berpotensi menyebabkan eskalasi jumlah kekerasan dan pelanggaran HAM di kemudian hari.
“Di luar itu ruang demokrasi, kebebasan berpendapat dan berkumpul di Papua masih sangat terbatas, terutama ruang-ruang ekspresi bagi masyarakat asli Papua, aktivis, mahasiswa yang memperjuangkan hak masyarakat adat,” kata Anis.
Permasalahan HAM lain di Papua adalah soal partisipasi masyarakat Papua dalam implementasi Otonomi Khusus Jilid II, yang memunculkan kasus sengketa agraria yang juga berisiko menyebabkan kerentanan konflik di Papua, khususnya masyarakat adat.
Sepanjang 2023, Komnas HAM menerima 2.753 pengaduan dugaan pelanggaran HAM, dengan rincian ketidakprofesionalan aparat (613), agraria (652), pengabaian kelompok rentan (227), ketenagakerjaan (171) dan lainnya (298). Pihak yang paling banyak diadukan adalah Polri (771), Korporasi (412) dan Pemerintah Daerah (301). [yl/em]
Forum