Anak-anak yang berusia lebih muda dalam keluarga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami perisakan atau bullying dari anggota keluarga lainnya. Biasanya, anak yang paling tua yang menjadi pelaku perisakan. Hal ini tidak mengejutkan lagi bagi mereka yang tumbuh besar dalam keluarga dengan banyak anak.
Menurut sebuah studi di Inggris, semakin besar keluarga, semakin besar juga kemungkinan adanya perundungan dalam keluarga berdasarkan tingkatan umur.
Sebuah penelitian menemukan bahwa dalam keluarga yang lebih besar, anak yang lebih kecil akan sering diganggu sedangkan pelakunya kemungkinan adalah anak laki-laki dan mungkin anak tertua dalam rumah tangga. Tetapi di antara semua anak-anak yang terlibat dalam perisakan, mayoritas dari mereka menjadi pelaku sekaligus korban perisakan pada waktu yang berbeda.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko seorang anak untuk berada di kedua sisi dinamika perisakan tersebut dapat membantu dalam perumusan cara untuk mencegah perilaku perisakan, demikian kata para peneliti dalam Psikologi Perkembangan.
“Yang paling penting, perisakan antara sesama saudara tidak terkait dengan apakah ini keluarga dengan orang tua lengkap atau orang tua tunggal, pendapatan atau kelas sosial – itu terjadi pada keluarga miskin dan kaya,” kata salah satu penulis studi Dieter Wolke, seorang peneliti psikologis di Universitas Warwick di Coventry.
“Pertengkaran antar saudara soal perhatian orang tua atau makanan terjadi di kalangan keluarga menengah ke bawah dan persoalan telepon pintar baru terjadi di keluarga menengah atas,” kata Wolke lewat email. “Ini tentang dominasi relatif dalam keluarga!”
Sekitar 58 persen anak-anak tumbuh dengan setidaknya satu dua anak dalam keluarga, catat tim Wolke. Meskipun ini adalah bentuk hubungan dekat yang bertahan paling lama bagi sebagian orang, mereka juga dapat dicirikan dengan melihat meningkatnya konflik yang mengarah pada kesehatan fisik dan mental yang juga cenderung bertahan lama.
Untuk studi sekarang ini, para peneliti menganalisis data dari 6.838 anak-anak di Inggris yang lahir pada 1991 dan 1992, beserta para ibunya juga.
Ketika anak-anak berusia lima tahun, ibu mereka melaporkan bahwa beberapa anak sering menjadi korban atau pelaku perundungan dalam rumah tangga. Kemudian, ketika mereka mencapai usia 12, mereka melaporkan pengalaman mereka sendiri terkait perundungan dalam enam bulan sebelumnya serta usia ketika mereka pertama kali terlibat dalam perilaku ini baik sebagai korban atau pun pelaku.
Para peneliti mengartikan perundungan dalam keluarga sebagai pelecehan psikologis seperti mengatakan hal-hal buruk atau menyakitkan, pelecehan fisik seperti memukul atau menendang atau mendorong, atau pelecehan emosional seperti berbohong dan menyebarkan desas-desus yang menyakitkan.
Mereka menempatkan anak-anak dalam empat kategori berdasarkan pengalaman mereka: korban, pelaku, korban-pelaku yang mengalami perundungan sebagai target dan pelaku, serta mereka yang sama sekali tidak pernah terlibat dalam perilaku ini.
Mereka juga melihat karakteristik keluarga, orang tua dan anak secara individu seperti jumlah anak di dalam rumah, status pernikahan ibu, latar belakang sosial ekonomi keluarga, dan paparan kekerasan dalam rumah tangga maupun penyiksaan anak.
Secara keseluruhan, 28 persen anak-anak dalam penelitian ini terlibat dalam perisakan sebagai korban, pelaku, atau keduanya.
Penyiksaan secara psikologis adalah yang paling umum, mempengaruhi 41 persen korban dan dipraktikkan oleh 34 persen pelaku.
Kurang lebih sekitar 11 persen anak-anak itu adalah pelaku perisakan dan korban, demikian temuan studi tersebut. Sekitar 10 persen dilaporkan hanya korban dan tujuh persen hanya pelaku.
“Ada banyak cara perisakan yang dilakukan dalam keluarga,” kata Bonnie Leadbeater, seorang peneliti psikologis di Universitas Victoria di Kanada.
“Kadang-kadang yang korban menyembunyikan perisakan yang dialami karena takut sang pelaku mendapat masalah,” Leadbeater, yang tak tergabung dalam studi ini mengatakan lewat email. “Kadang-kadang ada jenis keluarga ‘yang sedikit berbeda’ dimana ketika satu anak diejek dan menjadi target perisakan oleh lainnya, yang berpikir mereka lucu atau sengaja menghukum sebagai upaya yang salah untuk mengubah apa yang mereka lihat sebagai masalah (misalnya anak yang nampak tidak bergaul , lemah, atau cengeng).”
Itu tidak berarti orang tua tidak berdaya untuk mengubah perilaku ini.
“Salah satu cara orang tua dapat mencegah perisakan dan posisi anak sebagai korban adalah dengan melatih anak-anak melalui strategi tentang bagaimana menangani situasi menantang (seperti perselisihan dengan saudara),” kata Stevie Grassetti, serang psikolog di West Chester University di Pennsylvania.
“Orang tua harus berbicara dengan anak-anak mereka tentang nilai-nilai dan harapan mereka dan membantu membimbing anak-anak berinteraksi dengan saudara kandung mereka dengan cara yang prososial. Untuk anak-anak yang hanya menjadi penonton perundungan di antara saudara, orang tua harus memperkuat intervensi atas nama korban,” Grassetti, yang tak tergabung dalam penelitian ini mengatakan lewat email. [er/ft]